Mengenal Sang Penyair
Chairil Anwar terkenal sebagai penyair yang hidup dan matinya tidak dapat dilepaskan dari puisi Indonesia modern sehingga ia menjadi pelopor Angkatan 45 dalam Sastra Indonesia. Dia lahir pada tanggal 22 Juli 1922 di Medan, Sumatra Utara. Chairil Anwar mengenyam pendidikan dasarnya di sekolah dasar pada masa Belanda, yaitu Neutrale Hollands Inlandsche School (HIS) di Medan. Setelah tamat dari HIS, Chairil Anwar meneruskan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Medan, sebuah sekolah setingkat dengan SLTP. Ia tidak menamatkan MULO Medan itu. Dia hanya sampai kelas satu. Selanjutnya, ia pindah ke Jakarta dan masuk kembali ke MULO di Jakarta. Walaupun ia masih bersekolah di MULO, buku-buku untuk tingkat HBS (Hogere Burger School) sudah dibacanya. Di Jakarta, Chairil Anwar hanya dapat mengikuti MULO sampai kelas dua. Setelah itu, Chairil Anwar belajar sendiri (autodidak). Dia giat belajar bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa Jerman, sehingga akhirnya ia dapat membaca dan mempelajari karya sastra dunia yang ditulis dalam bahasa-bahasa asing itu. Chairil Anwar hanya seorang penyair dan hidup dengan menyair. Dia mendapat uang dari hasil menulis sajak. Pada bulan Januari—Maret 1948, ia bekerja menjadi redaktur majalah Gema Suasana. Namun, karena merasa tidak puas, ia mengundurkan diri dari pekerjaan itu. Dia kemudian bekerja sebagai redaktur di majalah Siasat sebagai pengasuh rubrik kebudayaan "Gelanggang" bersama dengan Ida Nasution, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Ia merencanakan untuk mendirikan sebuah majalah kebudayaan yang bernama "Air Pasang" dan "Arena". Namun, rencana itu belum juga terwujud hingga Chairil Anwar meninggal dunia.
Pengalaman menulis Chairil Anwar dimulai pada tahun 1942 ketika ia mencipta sebuah sajak yang berjudul "Nisan". Dia menulis sampai dengan akhir hayatnya, yaitu pada tahun 1949. Pada tahun 1949 itu ia menghasilkan enam buah sajak, yaitu "Mirat Muda", "Chairil Muda", "Buat Nyonya N", "Aku Berkisar Antara Mereka", "Yang Terhempas dan Yang Luput", "Derai-Derai Cemara", dan "Aku Berada Kembali". Kesungguhan Chairil untuk mencipta didukung oleh kesungguhannya mempelajari sajak-sajak para pujangga terkenal dari luar negeri. Istrinya, Hapsah, mengatakan bahwa jika Chairil Anwar berada di rumah, tidak ada lain yang diperbuatnya kecuali membaca, sampai di meja makan pun ia membawa buku, menyuap nasi sambil membaca. Di tempat tidur juga begitu, ia selalu membaca sajak-sajak dan berusaha memberikan pengertian. Hal itu dapat dilihat dari hasil salinannya menerjemahkan sajak-sajak sastrawan asing. Dia menyalin sajak R.M. Rilke (Jerman), H. Marsman (Belanda), E. du Perron (Belanda), dan J. Slauerhoff (Belanda), serta Nietzsche (Jerman). Dia menerjemahkan sajak De Laatste Dag Der Hollanders op Jawa karya Multatuli dengan judul "Hari Akhir Olanda di Jawa". Dia juga menerjemahkan sajak The Raid karya John Steinbeck (Amerika) dengan judul "Kena Gempur". Sajak yang berjudul Le Retour de l'enfant prodigue karya Andre' Gide (Perancis) diterjemahkannya dengan judul "Pulanglah Dia Si Anak Hilang". Selain itu, Chairil Anwar juga telah menerjemahkan karya John Cornford (Inggris), Hsu Chih Mo (Cina), Conrad Aiken (Amerika), dan W.H. Auden (Amerika). Selama enam setengah tahun sejak tahun 1942--1949, Charil Anwar telah menghasilkan 71 buah sajak asli, 2 buah sajak saduran, 10 sajak terjemahan, enam prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Menurut pengakuan Chairil Anwar sendiri, menulis sebuah sajak tidak dapat sekali jadi. Setiap kata yang ditulis harus digali dan dikorek dengan sedalam-dalamnya. Semua kata harus dipertimbangkan, dipilih, dihapus, dan kadang-kadang dibuang, yang kemudian dikumpulkan lagi dengan wajah baru.
Dalam perjalanan kariernya sebagai penyair itu Chairil Anwar tidak sedikit mendapat tantangan. Dia mendapat tantangan dari Sutan Takdir Alisjahbana ketika Sutan Takdir Alisjahbana menolak penerbitan sajak Chairil di Pujangga Baru. Namun, Sutan Takdir Alisjahbana akhirnya mengakui kebesaran Chairil dan menyebut sajak-sajak Chairil sebagai "sambal pedas" yang "menikmatkan". Yang hendak menyingkirkannya adalah pengarang kelompok Lekra pada paruh kedua dasawarsa 1960-an. Kelompok Lekra itu menghujat Chairil Anwar sebagai penyebar sikap individualis dan wawasan humanisme universal yang dianggap menghambat revolusi dari visi kaum komunis. Selain itu, ada juga kelompok yang menyebut Chairil Anwar sebagai plagiator atas beberapa karya penyair Amerika, Belanda, dan Cina. Ihwal tindak plagiarisme yang dilakukan oleh Chairil pertama kali dikemukakan oleh Kumayas, kemudian dijadikan bahan kajian tesis oleh Surakhmad pada Fakultas Sastra UGM tahun 1960-an. Kajian Surakhmad menepis tuduhan plagiarisme atas Chairil. Pamusuk Eneste (1988) mengatakan bahwa ternyata STA, Klara Akustia, Bakri Siregar, dan lain-lain, tidak bisa membendung kebebasan Chairil Anwar. Sejarah telah membuktikan bahwa Chairil Anwar adalah penyair besar Indonesia. Mengenai hal ini sebenarnya Chairil sendiri telah pernah meramalkannya. Chairil pernah berkata, "Nantilah kalau aku sudah meninggal, mereka akan mengerti. Mereka akan memujaku. Mereka akan mematungkan diriku.
Dikutip dari detikNews, Chairil Anwar meninggal dunia pada tanggal 28 April 1949 pukul 14.30. Ia dimakamkan pada tanggal 29 April 1949 di Pemakaman Umum Karet, Jakarta Selatan.
Sejak tahun 1942-1949, Chairil sudah melahirkan 71 buah sajak asli, 2 buah sajak saduran, 10 sajak terjemahan, enam prosa asli, dan empat prosa terjemahan.
Beberapa karya Chairil Anwar antara lain :
- Sajak "Nisan" (1942)
- Sajak "Mirat Muda" (1949)
- Sajak "Chairil Muda" (1949)
- Sajak "Buat Nyonya N" (1949)
- Sajak "Aku Berkisar Antara Mereka" (1949)
- Sajak "Yang Terhempas dan Yang Luput" (1949)
- Sajak "Derai-Derai Cemara" (1949)
- Sajak "Aku Berada Kembali" (1949)
Selain itu sajak-sajaknya juga terkumpul dalam terbitan buku antara lain:
- Deru Campur Debu (1949)
- Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus (1949)
- Aku ini Binatang Jalang (1986)
SUmber :