Peringatan Terakhir (Part 1)

Cerpen Karangan: 
Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi)Cerpen Islami (Religi)Cerpen Ramadhan
Lolos moderasi pada: 9 July 2023

“Tuhan pasti telah mati! Kalau Tuhan itu ada, pasti hidupku tidak akan begini!” Pria paruh baya itu mengeluh di dalam hati, serempak dengan burung gagak yang mengakak. Mengitari jasad kawannya yang mati tercerai berai di tengah hutan akibat sabetan parang milik warga yang murka karena ia dan mendiang rekannya itu ketahuan hendak merampok sebuah toko kelontong.

Adalah Jahal namanya. Bandit itu tengah bersembunyi dalam perdu berduri dari amukan warga yang membawa pisau bergerigi. Sedangkan rekan dalam misinya itu sudah tergeletak tak bernyawa karena dihabisi warga di depan matanya sendiri. Jahal tadi mengintip dari balik persembunyiannya, melihat bagaimana rekannya mati dan barangkali ia juga menyusul sebentar lagi. Ia tengah ketakutan sekarang. Jika ketahuan, usai sudah segala kisahnya selama ini.

“Jika Tuhan itu betulan ada, pasti dunia tidak akan mempermainkan manusia seperti ini. Hidup dengan keadaan buruk bahkan hingga menjelang kematian? Apa-apaan ini!” Jahal masih bersumpah serapah dengan suara lirih, takut warga menemukannya. Ia mendengar ular yang mendesir di tepi mata air. Jahal menyusurinya berharap mata air itu menghantarkannya keluar dari hutan yang melingkarinya.

Jahal tak tahu lagi harus kemana agar bisa menyelamatkan diri padahal rembulan nyaris berganti dengan mentari. Masalahnya adalah apapun yang terjadi dia harus keluar dari wilayah ini hidup-hidup. Istri dan anaknya menunggu di rumah. Keluarganya perlu banyak uang untuk biaya pengobatan sang anak yang menderita busung lapar. Belum lagi ekonomi yang merosot selama pandemi, inflasi merajalela, serta kebutuhan untuk hari raya Idul Fitri yang meningkat. Bagi Jahal, jalan keluar atas semua permasalahannya adalah uang. Sayangnya, kini uangnya justru semakin tidak berwujud.

Pria itu terus berjalan menyusuri mata air, berharap dapat menemukan pemukiman dan diam-diam kabur agar bisa pulang ke rumah dengan selamat. Ia tidak peduli lagi kalau harus mendapat amukan istrinya karena tidak mendapat uang, atau ceramahan istrinya yang menuduh penyebab anak mereka busung lapar adalah karena Jahal memberi makan dengan uang haram. Meski istrinya itu suka mengamuk, setidaknya tidak sampai hati untuk membunuh Jahal. Berbeda dengan warga di tempat ini yang memang sedang memburunya untuk dihabisi.

“Wahai, manusia mungkar yang tidak tahu diri!” Muncul suara menggelegar yang Jahal tidak ketahui dari siapa. Ini masih fajar dan matahari belum terlalu terang, sulit menemukan sosok seseorang di balik keremangan.

“SIAPA ITU?” Jahal terkaget mendengar suara menggelegar. Pasalnya suaranya nampak seperti bukan suara manusia. Tidak ada pula sosok manusia yang nampak di pandangan mata dan suara itu menakutinya melebihi ketakutannya terhadap kemungkinan ia akan mati hari ini.

Tidak ada sahutan, Jahal kembali berteriak, “SIAPA KAU!”
“Wahai, engkau akan ketakutan bila melihatku, bahkan suaraku telah membuat badanmu gemetar,” suara itu muncul kembali.
“MAU APA KAU?” Teriakan Jahal ini bukan teriakan menantang, melainkan teriakan yang dipaksa keluar di tengah gemetar bibirnya yang kering diterpa hawa dingin.

Belum ada sahutan lagi. Tapi mendadak hawa berubah semakin dingin. Langit yang semula hendak berubah cerah karena matahari terbit tiba-tiba kembali kelam. Ada beberapa guntur bersahutan, kilatnya merah merekah di langit sana. Jahal terduduk di balik batu cadas besar di tepi mata air, bersembunyi dari sapuan angin yang hendak mengulitinya hidup-hidup.

“Kenapa tiba-tiba terjadi keanehan cuaca seperti ini?” Jahal bertanya-tanya sendiri.
“Wahai, di sudut manapun engkau mencoba melarikan diri, Yang Maha Adil akan dapat menghukummu, dengan cara yang tidak akan bisa engkau kira!” Suara itu muncul lagi.

Jahal meyakini bahwa sumber suara itu tengah memperhatikannya sekarang karena pemilik suara itu tahu bahwa dirinya tengah bersembunyi di balik cadas. Jahal lantas mengedarkan pandangannya ke segala penjuru, tapi yang ia temukan hanyalah hamparan hutan yang tiba-tiba terselimuti gelap yang mencekam.

“Siapa kau sebenarnya? Tampakkan sosokmu!” Jahal masih mencoba memberanikan diri menghadapi sosok pemilik suara itu. Ia adalah bandit dengan ilmu bela diri yang lumayan, kalau untuk menghajar satu sosok saja pasti ia bisa. Masalahnya adalah sosok itu tidak terlihat di manapun.

Jahal akui, suara sosok itu bahkan lebih menyeramkan daripada gelegar guntur yang berlomba-lomba menghampiri bumi. Maka dari itu, sembari suara asing itu muncul lagi, Jahal akan mencoba melarikan diri.
Sayangnya, baru satu langkah ia bergerak, tanah tiba-tiba terbelah memunculkan parit-parit dalam yang tak bisa ia sebrangi. Jahal terjebak, ia berada di tengah lokasi yang dikelilingi parit-parit dalam itu tanpa bisa berbuat apa-apa.

“Apa-apaan ini? Keanehan cuaca yang semakin tidak bisa dipercaya!” Jahal mengeluh, ketakutannya saat ini melebihi ketakutannya saat melihat warga mengacungkan parang ketika mengejar dirinya dan rekannya dini hari tadi.

Belum selesai sampai di situ, air yang ada di mata air sebelah tempat Jahal berdiri tiba-tiba bergerak aneh. Jahal memasang kuda-kuda, jaga-jaga jika ada hewan buas yang meloncat naik dari dalam mata air itu. Tapi bukannya hewan buas, justru air dari mata air itu yang membentuk ombak tinggi. Jahal pikir itu hanya halusinasi, mustahil ada ombak karena ini bukan lautan. Tapi belum selesai penyangkalan itu bersarang di otaknya, ombak itu berubah bentuk laksana tombak yang menghantam tubuh Jahal. Membenturkan tubuhnya dengan cadas besar di belakangnya.

“Apakah dunia bekerja sama untuk mengerjaiku hah?!” Jahal marah, rasanya keanehan di hutan ini semuanya bekerja sama menyerangnya.
“Wahai, dunia ini hanya memberimu sedikit gambaran dari hukuman yang akan diberikan Yang Maha Adil atas segala kejahatanmu!” Suara asing itu muncul lagi, masih bersamaan dengan gelegar guntur yang bersahutan.
“Sampaikan kepada Yang Maha Adil atau siapapun yang kau maksud itu, apakah layak diriku mendapat hukuman atas hal yang kulakukan untuk bertahan hidup?” Jahal mencoba bernegosiasi. Lancang sekali dia mencoba bernegosiasi dengan Yang Maha Adil.
“Wahai, tiada malu engkau berkata demikian. Sesungguhnya semua manusia memiliki kesulitannya masing-masing tetapi mereka tidak menjadi seperti dirimu. Engkau tersesat dalam jalan iblis.” Suara itu muncul semakin menggelegar, murka atas kelancangan Jahal.

Jahal terdiam, suara itu menyebut dirinya dengan ‘manusia’ seolah-olah pemilik suara itu bukanlah manusia. Seusai suara itu hening, tanah bergetar seperti hendak memunculkan parit-parit dalam lagi. Jahal berpegangan pada cadas, ia sempat menolehkan pandangannya ke atas pohon di sebelahnya. Ada ular bergelung tenang di pohon itu, bahkan pohon itu tidak bergerak sedikitpun padahal ada ribut angin yang rasanya sebentar lagi akan menjadi tornado. Jahal bertanya dalam hati, “Apakah hanya aku yang mengalami keanehan ini?”

“Siapa kau yang seolah tahu segalanya tentang manusia di muka bumi ini? Nampakkan wajahmu biar kuhajar kau sekarang juga!” Padahal Jahal sudah nyaris kehilangan tenaga, ia belum makan sejak kemarin sore, belum lagi ditambah serangan cuaca sedari tadi yang berkali-kali membuatnya limbung karena kedinginan.

“Wahai, aku hanya datang karena Yang Maha Adil mengutusku untuk memberi peringatan terhadapmu. Engkau terlalu banyak merugikan manusia yang lain. Bahkan anakmu pun engkau beri makan hasil curian hingga membuatnya terkena busung lapar akibat kejahatanmu itu!” Suara itu menyahuti Jahal, bersamaan dengan ribut angin yang bersatu dengan gemuruh guntur di atas cakrawala yang masih setia dengan kegelapannya.

Jahal terdiam sejenak. Ia meyakini dengan keyakinan yang sebesar-besarnya bahwa pemilik suara itu memang bukan manusia. Ada kekuatan berbeda dari setiap perkataan yang keluar, bahkan rasanya keanehan alam yang dialaminya ini juga dikendalikan oleh sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa Jahal prediksi dan tidak bisa Jahal temukan jawabannya.

“Memangnya peringatan yang kau bawa dari Yang Maha Adil itu bisa membuat hidupku bahagia?” Jahal meremehkan. “Lagipula siapa yang kau maksud Yang Maha Adil? Aku merasa tidak mendapat keadilan apapun di muka bumi ini!”
“Wahai, sungguh engkau manusia yang suka berdusta. Engkau lupa pada Tuhan ketika senang dan ketika engkau di ambang kesulitan, engkau menyalahkan Tuhan. Berkata bahwa tidak ada Tuhan Yang Maha Penolong yang bisa menolongmu!” Suara asing itu menggelegar lagi. Bersamaan dengan itu, muncul lebih banyak parit yang dalam di sekitar Jahal. Menyisakan sepetak tanah tempat Jahal berdiri. Tanah berguncang hebat.

Jahal mencengkeram cadas lebih erat ketika bumi bergetar. Ia mengintip sedikit apa yang ada dalam parit yang dalam itu, ia melihat secercah cahaya. Cahaya yang menghantarkan hawa panas yang tidak bisa ditahan kulit tubuhnya. Itu seperti cairan magma yang siap melumatnya seketika saat ia terjatuh ke dalam sana.

“Wahai, sesungguhnya dunia bukan hanya soal uang. Banyak nikmat yang diberikan Tuhan kepada manusia. Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan wahai manusia durjana?” Suara asing itu muncul lagi, bersamaan dengan bunyi letupan magma yang hendak naik ke atas parit, membuat Jahal berusaha naik ke atas cadas untuk menyelamatkan diri.

Ada sedikit ruang di hatinya yang membenarkan bahwa memang selama ini ia mementingkan uang bahkan sampai rela menjadi bandit selama bertahun-tahun demi mendapat banyak uang. Hari ini adalah bukti bahwa ia masih menjadi manusia yang mementingkan harta duniawi, ia rela berlarian di dalam hutan akibat ketahuan warga ketika hendak mencuri toko kelontong, bahkan ia sampai terjebak dalam anomali cuaca di hutan bersama dengan suara dari makhluk asing yang tidak dapat dilihat.

“Wahai, hadirnya diriku adalah satu bentuk kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan. Memberi peringatan agar engkau bisa bertaubat dan keluar dari jalan iblis yang kau tempuh. Bersyukurlah karena Tuhan memberikanmu kemurahan hati di bulan Ramadan yang penuh kemuliaan ini. Bertaubatlah!” Suara dari sosok tak terlihat itu kali ini terdengar lebih menuntut, seolah menyampaikan peringatan terakhir kepada Jahal.

“Bagaimana aku bisa mempercayai segala ocehanmu ketika kau sendiri tidak nampak dalam pandanganku. Dengan siapa aku berbicara? Apakah kau bisa dipercaya? Mana mungkin bisa ketika kau sendiri tidak berani menampakkan wajahmu!” Berani-beraninya Jahal meremehkan sosok tak terlihat itu.

“Wahai, engkau akan menyesal meremehkan peringatan ini. Ambillah hikmah atas kejadian yang kau alami saat ini agar menjadi manusia yang tidak merugi!” Suara itu seperti mengisyaratkan bahwa ini adalah akhir dari pembicaraan aneh ini.
Bersamaan dengan itu, angin ribut semakin kencang, kilat guntur merah merekah membelah langit. Langit di atas sana terlihat semakin turun hendak menimpa Jahal. Letupan magma semakin jelas seolah sebentar lagi sampai ke permukaan bumi. Debur ombak pada mata air di dekat Jahal semakin keras menghantamnya berkali-kali.

“Aku tetap tidak akan percaya pada bualanmu…” Belum selesai ucapan Jahal keluar dari mulutnya, ia yang tengah berdiri di atas cadas tiba-tiba melihat sosok berdiri mengambang di depannya. Itu bukan manusia, jelas sekali bukan. Tiada manusia yang dapat terbang mengambang tanpa bantuan alat apapun. Bukan wanita juga pria, tidak terdefinisikan. Tubuhnya memiliki empat wajah di muka, kepala, punggung, dan telapak kaki. Dari kepala hingga kedua telapak kaki diselimuti bulu dan setiap bulu memiliki satu juta muka lengkap dengan satu juta mata, mulut, dan tangan. Sosok itu memiliki empat ribu sayap dan tujuh puluh ribu kaki yang konon salah satu kaki ada di langit ketujuh dan satu kaki lainnya ada di jembatan pemisah antara surga dan neraka.

Jahal tidak bisa berkata apapun lagi. Apa yang ada di pandangannya membuat seluruh tubuhnya kaku karena ketakutan. Baru kali ini ia melihat sosok seperti itu. Ia pikir sosok itu adalah pencabut nyawanya hari ini. Demi apapun ia tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain terjatuh pingsan dari atas cadas setelah mengetahui rupa sosok yang sedari tadi memberinya peringatan itu. Yang jelas, terakhir kali yang ia lihat adalah sosok pembawa peringatan Tuhan itu mengambang di depannya dan seketika semuanya terasa gelap, pekat, dan kosong. Jahal tak sadarkan diri.

Sumber: https://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/peringatan-terakhir-part-1.html