Monster Cinta Itu Ialah Ibu

Karya: Tamsin Yoioga
Kasih bu itu memang tiada tara, sepanjang masa dan tidak akan pernah
tergantikan oleh apa pun dan sampai kapan pun. Teringat saat kecil, saya
merupakan anak yang sangat takut kepada ibu daripada bapak. Terdengar terlintas
suara sedikit saja yang memanggil nama saya, walaupun sedang asyik bermain
bersama teman-teman, saya pasti akan pulang agar tidak kena
pukulan rotan di pantat, atau bahkan cubitan pada telinga dan lengan.
Pendidikan yang diberikan ibu kepada kami memang keras, apalagi untuk wilayah
Timur Indonesia. Kami bahkan merasa kebal terhadap rotan dan cubitan.
Sampai-sampai yang terlintas jika bicara tentang ibu saat itu, ialah seorang
monster.
Dari rasa takut itu akhirnya jadi seperti tidak suka, bahkan terlintas rasa
benci kepada cara ibu mendidik saya. Bayangkan saja, saat masih pagi, tiba-tiba
sudah dibangunin padahal masih mengantuk. Kemudian dipaksa mandi dan harus
segera bergegas ke sekolah. Sepulang sekolah makan siang, terus langsung
disuruh tidur. Padahal saya ingin bermain bersama teman-teman di luar sana.
Bahkan saat datangnya malam, saya dipaksa belajar dan tidur tepat pada jam
22.00, walaupun saya masih ingin menonton televisi. Ada lagi seperti mengaji,
shalat dan belajar pun dipaksa, sampai-sampai yang tiga ini kalau tidak
dilaksanakan, maka bersiap-siaplah pantat kena rotan. Hehehe
Begitulah ibu, monster yang sangat saya cintai. Sampai saat ini, kisah-kisah
tersebut masih melekat kuat dalam ingatan saya. Sosok anak yang bandel ini tidak
pernah memikirkan beribu kebaikan dan kasih sayang seorang ibu yang tidak
pernah surut walau terkadang dirinya tidak terurus. Saya hanya memikirkan
didikan didikan yang keras itu, sehingga mengabaikan kelembutan hati dan
jiwanya. Dalam hal didikan keras ini, saya meyakini kita semua memiliki kisah
tersendiri dan pola pikir yang sama saat dahulu.
Kisah-kisah tersebut baru saya sadari bahwa sesungguhnya itulah cara ibu
menunjukkan kepada saya, kepada kita semua, kalau yang namanya manusia itu
harus berpendidikan. Tentu pendidikan saja tidaklah cukup, butuh dasar agama
dan etika untuk mengawal langkah kita. Pun begitu sikap disiplin dan
konsistensi diri juga diperlukan agar bisa menjadi manusia yang bertanggung
jawab terhadap tugas mulia (khalifah) di bumi yang fana ini. Dan semua itu baru
saya sadari ketika beranjak dewasa. Sulit dibayangkan bagaimana bisa saya
mempunyai pikiran seperti itu kepada ibu, padahal saya tidak pernah bisa pergi
jauh kalau tidak bersama ibu? Pernah suatu malam saya diajak sepupu untuk
bermalam di rumahnya. Spontan saya pun menyetujui tawarannya. Sampai saatnya
tidur, paman dan bibi saya ikut panik bersama sepupu, karena saya terus
menangis dan tidak kunjung tidur, karena terus teringat pada ibu. Padahal rumah
saya dengan sepupu itu hanya dibatasi oleh jalan raya.