Payung-Payung Impian

(Karya: Hadi Pranoto)
Ibu adalah pedagang payung. Bangunan
kecil dibuat di halaman rumah. Itulah warung Ibu. Di depannya dipasang spanduk
bertuliskan "Payung-payung Impian". Itulah nama warung payung Ibu.
Payung warna-warni bergantungan di
sekeliling tembok warung. Ada juga payung yang dibuka. Calon pembeli biasanya
bergaya memakai payung sambil bercermin. Ibu memang memasang cermin besar di
dinding.
Pulang sekolah, aku sering menemani
Ibu menjaga warung payung.
"Bu, kenapa warung kita dinamai
Payung-payung Impian?" tanyaku suatu hari.
"Kan, itu ide dari Kinan
sendiri," jawab Ibu.
Aku tersenyum mengingat pengalaman
setahun lalu.
Sudah 2 tahun Ibu membuka warung
payung. Awalnya karena Ayah meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.
Beberapa bulan setelah bersedih terus, Ibu memutuskan untuk membuka warung
payung.
Payung berbagai ukuran, berbagai
corak dan warna, dikirim dari pengrajin payung kenalan Ibu. Setiap hari Ibu
membuka warung dari pukul 8 pagi sampai pukul 5 sore. Walau tidak ada
pengunjung, Ibu selalu membuka warungnya. Aku sering bersedih bila sampai siang
saat aku pulang sekolah belum ada seorang pun calon pembeli yang datang.
Karenanya, setelah pulang sekolah
aku sering menemani Ibu menunggui warung. Sebenarnya sejak naik ke kelas 5 SD,
aku semakin sibuk. Ekstrakulikuler menggambar yang aku ikuti sejak kelas 2
membuatku semakin rajin ke sekolah. Ya, karena saat pemilihan ketua sebulan
yang lalu, aku terpilih menjadi wakil ketua. Aku dan Nina yang menjadi ketua
diminta Bu Erum untuk melatih anak-anak baru dalam menggambar sketsa.
"Kalau kamu ada kegiatan di
sekolah, tidak usah menemani Ibu." Ibu selalu berkata begitu bila melihat
aku ragu-ragu untuk pamit ke sekolah lagi.
"Tapi Kinan kasihan Ibu harus
bengong sendirian menunggui payung."
"Tidak apa. Ibu harus belajar
lebih bersabar."
Suatu malam Ibu masuk ke kamarku.
Buku yang sedang aku baca disimpan di kasur. Pikirku, ini tidak biasa. Kalau
Ibu menemani aku tidur, biasanya Ibu masuk setelah aku tertidur. Bukan saat
membaca seperti ini. Selepas makan malam Ibu biasanya menjahit kain untuk
payung dan memasangkannya ke rangka payung. Ya, selain berjualan, Ibu juga
belajar membuat payung sendiri.
"Besok Ibu mau berjualan di
pasar kaget Lembang. Biasanya hari Minggu suka ramai pengunjung," kata
Ibu.
"Kalau Kinan mau ikut, tidurnya
jangan terlalu malam."
"Wah, Kinan pasti ikut,
Bu."
Tentu yang ada di pikiranku adalah
jalan-jalan menyenangkan ke pasar kaget pada hari Minggu. Seperti dulu waktu
Ayah masih ada. Seperti bila Nenek datang berkunjung.
Tapi, perjalanan ke pasar kaget kali
ini tidak seperti dulu. Subuh-subuh Ibu sudah membangunkanku. Setelah shalat
subuh, kami berdoa semoga payung-payung itu laku. Setelah itu kami sarapan nasi
goreng, lalu berangkat dengan membawa 2 tas besar berisi payung-payung.
Tentu saja tidak ringan membawa 2
tas besar berisi payung-payung. Ibu menggendong tas yang satu dengan badan
sedikit membungkuk karena berat. Aku sendiri tidak mampu mengangkat tas
sendirian. Jadi, ibu menggendong satu tas di pundaknya, dan tangan kanannya
membantuku menggotong tas yang satu lagi.
Mencari tempat berjualan di pasar
kaget ternyata tidak gampang. Tempat-tempat yang nyaman untuk berjualan sudah
ada pemiliknya. Akhirnya Ibu mendapatkan tempat di ujung pasar, dekat lapangan
bola. Udara masih dingin, matahari baru tampak semburat merah, tapi kami sudah
berkeringat.
Payung-payung pun dipajang. Sebagian
dibuka. Semakin siang pengunjung semakin banyak. Tapi sampai pasar kaget
ditinggalkan pengunjung, tidak ada satu payung pun yang terjual. Setelah Ibu
membeli semangkuk bakso dan kami makan perbekalan nasi, Ibu mengajak pulang.
Sampai di rumah, hari sudah siang.
Meski saat ini awal musim hujan, biasanya dari pagi sampai tengah hari udara
masih cerah. Aku ke dapur mengambil air putih. Saat masuk lagi ke dalam rumah,
aku melihat Ibu menangis.
"Kenapa, Bu?" tanyaku
sambil menatap Ibu tidak mengerti. Ibu memeluk aku erat sekali.
"Maafkan Ibu, membawamu ikut
susah." Kata Ibu disela isaknya. "Payung-payung ini impian Ibu. Ibu
bermimpi bisa membiayai hidup kita, bisa menyekolahkanmu setinggi mungkin. Tapi
ternyata tidak gampang berjualan payung."
Karena hujan semakin sering, Ibu
memberi aku sebuah payung.
"Bu, boleh kalau payung ini
Kinan gambari?" tanyaku. "Sudah lama Kinan bermimpi punya payung yang
ada cerita bergambarnya."
"Boleh saja, payung itu sudah
jadi milik Kinan."
Aku pun menggambari payung dengan
cerita bergambar lucu. Siapa sangka, dua hari kemudian ada 3 orang teman yang
mau membeli payung, asal digambari seperti payungku. Ibu menyambut gembira
kabar itu. Dia segera sibuk membuat sketsa gambar. Aku membantu mewarnainya.
Oh iya, Ibuku itu pintar menggambar.
Sekolahnya dulu adalah Fakultas Seni Rupa Universitas Pendidikan Indonesia.
Pernah juga Ibu bekerja selama satu tahun di galeri lukisan. Tapi, setelah
menikah Ibu berhenti bekerja. Ibu kemudian mengajari aku menggambar sejak aku
usia 2 tahun.
Sejak itu, payung yang digambari
cergam lucu semakin banyak yang memesan. Teman-temanku berfoto selfie dengan
payung-payung itu di internet. Akibatnya, payung di toko semakin laku. Dan
pemesanan lewat internet membuat kami semakin sibuk.
"Kita namai saja warung kita
itu payung-payung impian," kata Ibu suatu waktu.
Aku mengacungkan jempol. Lalu kami
berpelukan. Kami bersyukur, warung Payung-payung Impian sekarang sudah banyak
pelanggannya.