Aku Rindu Ayah

Cerita
oleh: Santi Hendrawati.
Saudaraku
ada tujuh orang. Ditambah aku, Ayah, dan Ibu jumlahnyajadi sepuluh orang.
Banyak, ya? lya, makanya suasana rumah kami selalu riuh rendah. Gelak tawa,
rengek tangis, omelan, atau nyanyian, silih berganti. Suasana rumah tidak
pernah lengang, kecuali bila Ayah di rumah.
"Titi,
turunkan sikutmu dari meja!" perintah Ayah sewaktu makan bersama.
“Ya,
Ayah," jawab Titi, kakakku dengan manis.
"Jangan
bicara selagi makan, Oni!" tegur Ayah padaku.
"Baik,
Ayah!" jawabku dengan patuh.
Itu
sebagian aturan yang diberlakukan Ayah di meja makan. Aturan yang membuat
suasana saat makan bersama terasa hikmat seperti saat upacara bendera di
sekolah. Belum lagi aturan-aturan rumah lainnya. Duh, ampuuuunn, banyak sekali.
Makanya, kalau Ayah di rumah, rumah jadi lengang.
Ayah
punya seorang adik perempuan, kupanggil Tante Dita. Tante Dita tinggal di
Semarang. Suasana rumah Tante Dita sangat berbeda dengan suasana rumahku.
Soalnya, penghuni rumah Tante Dita tidak banyak. Anaknya cuma satu, sebaya
denganku, namanya Tati.
"Sabtu
ini ibumu mau ke Semarang, menengok Nenek di rumah Tante Dita. Kamu temani Ibu,
mau?" tanya Ayah padaku, seusai makan malam. Aku terkesiap.
Adikku
protes, "Kok Kak Oni boleh ke Semarang, aku tidak!"
"Kak
Oni ulangannya bagus-bagus minggu ini, jadi dia dapat hadiah," jawab Ayah
dengan tenang.
Adikku
Eti cemberut.
"Kamu
tidak mau, Oni?" tanya Ayah.
"Eh,
mau, mau, Ayah!" jawabku cepat-cepat.
Ah,
Ayah! Kalau aku tidak segera menjawab bukan karena aku menolak, tetapi aku
terlalu gembira. Sudah lama aku ingin berlibur ke Semarang, di rumah Tante
Dita. Ohoho, di sana tak ada macam-macam aturan ketat. Semula kami berencana
hanya tinggal dua hari di Semarang, hari Sabtu dan Minggu. Ternyata, Nenek
masih rindu padaku. Nenek meminta kami tinggal dua hari atau tiga hari lagi.
"Lo,
Oni harus sekolah, Bu!" Ibu memberi alasan.
"Aku
masih ingin bersama cucuku. Minta izin pada Bu Guru untuk bolos sehari lagi
saja," ujar Nenek, ringan.
Ibuku
kelihatan hendak membantah. Wah, apa kata Ayah nanti? Aku tak berani komentar.
Aku, sih, mau saja berapa lama pun tinggal di rumah Tante Dita. Soalnya,
segalanya serba menyenangkan. Tidak ada aturan begini, begitu! Mana mungkin Ibu
menolak permintaan nenekku yang sudah hampir delapan puluh tahun itu? Jadilah,
kami memperpanjang tinggal di rumah Tante Dita.
Ternyata,
perpanjangan tinggal bukan cuma satu dua hari seperti permintaan Nenek semula.
Sekarang ini sudah memasuki hari keempat!
Wah,
wah, bagaimana sekolahku? Ibu bolak-balik telepon ke rumah, tapi Ayah masih
dinas di luar kota. Duh, duh, aku mulai resah. Perlahan, kegembiraanku surut.
Tetapi aku tidak berani mengeluh pada Ibu. Sebab kulihat setiap hari Ibu
keletihan merawat Nenek. Hebatnya, Ibu tidak pernah mengeluh. Malah Ibu
berkata, "Begitulah kalau sudah tua. Kita harus maklum, makin tua orang
cenderung bertingkah seperti kanak-kanak."
Oh,
begitukah?
Perlahan
juga aku mulai merasakan ada sesuatu yang hilang dari keseharianku. Sebelum
makan, aku terpaksa berdoa sendiri. Padahal biasanya aku berdoa bersama adik
dan kakakku.
Tati
berdoa juga sebelum makan. Tetapi Tati lebih suka makan di kamar tidur, atau di
teras rumah, sendirian. Yang tidak enaknya lagi, sewaktu lidah menyentuh
makanan lezat...tak ada teman yang bisa diajak bertukar pandang girang.
Begitupun saat kecewa dengan makanan yang tidak enak rasanya. Tak ada teman
untuk saling bertoleh dan mencibirkan bibir. Belum lagi kerinduanku pada
teman-teman sekelas. Hoi, aku rindu bermain bersama mereka. Rinduuu
Ah,
ternyata Ibu tahu perasaanku. Siang itu, waktu aku duduk di bawah pohon mangga
di halaman depan rumah Tante Dita, Ibu mendekati.
“Tak
usah sedih, besok kita pulang!" kata Ibu sambil mengelus rambutku.
"Oh?"
aku menatap Ibu.
"Terima
kasih, kamu bersedia berkorban, Oni. Mau bersabar, ikut menunggui Nenek. Ayah
sudah memberi tahu wali kelasmu," kata Ibu.
Kudekap
Ibu lekat-lekat. Ibu membalas dekapanku dengan mesra. Dekapan yang menunjukkan
bahwa Ibu mengerti kegelisahan dan kerinduanku.
"Ya,
ya, di rumah selalu ramai dan gaduh," kata Ibu. "Kamu selalu punya
seseorang untuk bercanda dan tertawa, menangis atau saling menggoda. Di sini,
semua serba sendiri. Bagaimanapun, kalau ada banyak orang, harus ada aturan...
supaya segalanya berjalan tertib...." Ibu tersenyum manis.
Ah,
ya, ya, aku menarik napas. Lega. Begini rupanya perbedaan rumahku dengan rumah
Tante Dita, batinku. Tante Dita dan keluarganya memang baik padaku. Tetapi
sosok seperti Ayah? Yang disiplin dan tegas seperti tentara, yang bisa
menciptakan suasana rumah lengang atau gaduh tak terkira, hanya ada di rumahku.
"Oh,
aku ingin cepat pulang, Bu. Aku rindu Ayah," kataku sambil mendekap ibuku
sekali lagi.