Belajar dengan Gajah Mada

Minggu pagi yang cerah Ardi, Handi,
dan Dani berada di Candi Trowulan. Mereka merupakan siswa pilihan dari sebuah
SMP yang sedang melakukan tugas pengamatan untuk karya ilmiah remaja. Di tengah
keramaian orang yang sedang berwisata, mereka sibuk menyelesaikan laporannya.
“Tolooong,“ tiba-tiba terdengar suara Handi
berteriak minta tolong. Dani dan Ardi yang berada tidak jauh dari tempat itu
segera berlari menghampiri. Betapa kagetnya mereka berdua melihat Handi berada
di sebuah lubang dan hanya kelihatan tangannya. Dengan reflek Ardi dan Dani
menarik berusaha menolong Handi. Tapi “Aaahh…! terdengar teriakan keras dan
mereka bertiga terseret masuk ke lubang itu.
“Dimana kita??” Ardi bertanya sambil
menatap tembok sekelilingnya yang memancarkan kemilau keemasan.
“Tempat apa ini?” Handi dan Dani
bertanya hampir bersamaan.
Tiba-tiba, di hadapan mereka, muncul
laki-laki bertubuh kekar.
“Kalian bertiga saya panggil untuk
menemui leluhurmu!” laki-laki tegap itu berujar dengan penuh wibawa. Ketiga
anak itu terbelalak.
“Sii aa .. pa Bapak?” sambil gemetar
Handi memberanikan diri untuk bertanya.
“Aku yang berjanji tak akan makan
buah palapa sebelum Nusantara bersatu,” jawab laki-laki itu dengan mata tajam
menatap ke arah tiga anak yang masih ketakutan itu.
“Gaajah Maada …!” suara ketiganya
seperti tercekat.
“Ya benar akulah Gajah Mada yang
sejak muda berusaha keras berlatih untuk menjadi orang berguna,” suara
laki-laki itu dengan sangat berwibawa.
“Apa yang sudah kamu lakukan untuk
menyiapkan dirimu agar menjadi orang berguna,” mata laki-laki itu lekat menatap
Handi. Kemudian dia beralih memegang bahu Ardi dan Dani.
“Saya berusaha menjadi juara kelas
dengan belajar tiap hari,” Ardi menjawab agak terbata-bata.
“Saya belajar tiap malam sehingga
saya selalu rangking satu di sekolah,” Handi menyahut.
“Saya les semua mata pelajaran
sehingga selalu mendapat prestasi Matematika tertinggi di kelasku,” Dani
menimpali jawaban teman-temannya.
“Belum cukup, kalian semua harus
menambahkan jawaban lagi dengan benar untuk dapat dikembalikan ke tempat
semula,” laki-laki itu semakin mendekat. Ketiga anak itu berpikir keras untuk
mengungkapkan hal terbaik apa yang telah diperbuat selama ini. Setelah satu jam
berpikir keras Handi membuka pembicaraan.
“Saya selalu berusaha untuk tidak
terlambat datang ke sekolah dan menyelesaikan tugas tepat waktu,” Handi memulai
mengajukan ide.
“Saya berusaha bekerja keras dan
tidak mencontek waktu ujian,” kata-kata Ardi meluncur deras.
“Saya mendengarkan teman yang
berbeda pendapat dan meresponnya dengan santun,” Dani bertutur dengan lancar.
Selesai Dani menyelesaikan
kalimatnya, terdengar dentuman keras. Buuuum…! Seakan ada yang mengangkat
mereka bertiga tiba-tiba sudah kembali berada di area Candi Trowulan tempat
mereka melakukan pengamatan. Ketiganya mengusap mata. Seakan tidak percaya
mereka saling berangkulan.
“Benar kata Gajah Mada tadi…” Handi
berucap lirih.
“Iya kita tidak cukup hanya hanya
dengan pintar” Ardi berkata hampir tak terdengar.
“Ya kita harus memiliki perilaku
yang baik…” Dani berteriak lantang sambil menyeret kedua temannya menuju area
candi yang harus diamati. Mereka bertiga bertekad menyelesaikan tugasnya tepat
waktu. Seperti biasanya mereka bekerja keras untuk menghasilkan sebuah karya.