Bola-Bola Waktu

Karya: Rakhmana Subarna
Ivan menendang kerikil di jalan
dengan kasar hingga terpelanting berhamburan. Debu mengepul dari
kerikil-kerikil itu. Lagi-lagi ia dijadikan bahan tertawaan!
Ini semua gara-gara kue basah Ibu!
Setiap hari Ivan harus bangun pukul setengah empat pagi dan membantu Ibu
membuat aneka kue basah. Ivan juga harus pergi lebih pagi untuk mengantarkan
kue-kue itu ke beberapa warung menuju sekolah.
Hal yang paling memalukan, Ivan
menitipkan kue itu juga di kantin sekolah! Ketika Fiam, anak paling usil di
kelasnya tahu, ia segera mengejek Ivan. Dan begitu Fiam memulai, julukan
“tukang kue” untuknya pun langsung diikuti teman-teman sekelas.
Seolah belum cukup memalukan, bangun
pagi dan rasa lelah bekerja sejak subuh membuat Ivan sering tertidur saat
pelajaran.
“Wah, tukang kue mau alih profesi
jadi tukang tidur,” ejek Fiam yang memancing tawa sekelas.
Ivan masih menendang kerikil-kerikil
itu. “Aku tidak mau lagi!” teriak Ivan dalam hatinya.
“Aku tidak mau lagi berjualan kue.
Aku ingin menjadi anak SMP yang keren dan dikagumi oleh teman-temanku!”
Komplikasi:
“Kau yakin?”
Ivan menengok. Seorang pria
berkerudung hitam memandangnya. Bibir pria itu tersenyum ramah.
Di meja di hadapannya tergeletak
aneka bola warnawarni. Ivan memandang pria itu sambil mengerutkan alisnya.
Apakah dia peramal? tanya Ivan dalam hati.
“Kau ingin melihat apa yang terjadi
apabila kau berhenti berjualan kue?”
Ragu-ragu, Ivan mengangguk. Ia lalu
mengambil bola merah yang disodorkan pria itu. Seketika, tubuhnya terasa
ringan, dunia di sekitarnya berputar.
Ivan terkesiap. Ia terbangun di
sebuah kamar yang terasa asing. Dengan heran, ia menatap Nina dan Danu,
adiknya. Mengapa mereka tidur di sini? Ivan menatap sekeliling. Kamar itu
sempit, pengap, dan terutama sangat berantakan! Barang-barang miliknya tergeletak
di mana saja, sementara tumpukan buku koleksi Nina dan mainan Danu memenuhi
sudut-sudut kamar.
“Pukul 06.00? Aku terlambat untuk
membuat kue!” Ivan segera berdiri dan keluar kamar.
“Kamu sudah bangun, Van?” suara Ibu
menyapanya. Mata Ivan membelalak lebar melihat kerut-kerut yang bertambah di
wajah Ibu dan kelelahan yang tergambar jelas di sana.
“Syukurlah. Ibu pergi dahulu, ya.
Jangan lupa, antar adik-adikmu ke sekolah.”
Ivan termangu. Ia menatap sosok Ibu
yang membawa kotak-kotak berisi aneka kue basah. Jadi, tampaknya mereka masih
berjualan kue basah. Hanya, kali ini, Ibu tidak meminta bantuannya. Akhirnya,
Ivan terbebas dari tugasnya!
Lalu, di mana Ayah? Biasanya Ayah
yang mengantar Ibu untuk pergi berjualan. Ivan memandang ke sekeliling ruangan.
Saat itulah Ivan menatap sebuah foto berbingkai hitam di dekat meja makan. Di
dalamnya, wajah lelah ayahnya tersenyum ramah.
***
“Van, nanti siang jangan lupa
latihan basket, ya. Minggu depan kita lawan SMA Bina Bangsa.” Ivan hanya
mengangguk lesu.
Sekarang ia tahu, ia berada di tahun
2022. Tidak ada lagi teman-teman sekelas yang mengejeknya. Malah bisa
dikatakan, ia memiliki cukup banyak teman. Nilai-nilainya bukan yang terbaik,
tetapi bukan pula yang paling jelek. Ia berhasil masuk tim basket selama dua
tahun berturut-turut.
Semua tampak sempurna. Namun,
mengapa Ivan menyesal berada di tahun ini? Tadi pagi ia mengetahui bahwa
ayahnya tidak lagi bersama mereka. Ayah meninggal karena sakit. Kata Ibu, Ayah
sering mengabaikan sakit yang dideritanya dan berkeras membantu Ibu. Ayah
bahkan menolak tawaran Ibu untuk membayar seorang pekerja. Ayah ingin hasil
penjualan kue ditabung untuk biaya kuliah Ivan nanti.
“Hai, Van! Apakah Ibumu sudah
sembuh? Mamaku ingin pesan kue basah untuk arisan, tetapi Ibumu bilang ia
sedang tidak enak badan”. Perkataan Hario menyadarkan Ivan lagi dari
lamunannya.
Ivan menunduk. Ia teringat wajah
menua dan lelah ibunya tadi pagi, bahkan Ibunya tidak mengatakan kepadanya
bahwa ia sedang sakit. Ivan menelengkupkan kepala di atas meja. Andai saja
penyesalan bisa memutar kembali waktu, ia lebih memilih membantu kedua orang
tuanya berjualan kue. Matanya terasa panas. Kepalanya terasa berputar. Ivan
mengerjap.
“Van, kamu nggak apa-apa, Van?”
suara Hario terdengar cemas dan makin jauh. Lalu segalanya gelap.
***
Seseorang mengguncang tubuhnya
lembut. “Ivan, bangun, Nak.” Ivan memicingkan mata. Ia mengenal suara tegas
tetapi lembut itu.
“Ayah! Syukurlah!” Ivan segera
tersadar dan memeluk ayahnya erat.
“Wah, wah, wah…! Tadi kamu mimpi
buruk, ya?” Pagi masih gelap saat Ivan melihat ke luar jendela.
Ivan tahu ia harus bangun lebih pagi
karena mereka mendapat pesanan kue untuk acara pernikahan dan rapat di kantor
RW. Memikirkan pesanan kue itu, Ivan melompat dari tempat tidur dengan penuh
semangat.
“Ayah, Ibu, tahu nggak? Kue-kue
basah buatan Ibu ini banyak yang suka, loh!” cerita Ivan.
Untuk sesaat, Ayah dan Ibu saling
memandang dan menyimpan senyum geli. Mungkin mereka heran melihat Ivan yang tak
lagi menggerutu dan malas-malasan saat membantu.
“Eih, aku serius loh ini,” tambah
Ivan lagi melihat reaksi kedua orang tuanya.
Ayah tergelak. Ia mengusap kepala
Ivan dengan lembut, “Tentu saja kami tahu, ini kan resep warisan
turun-temurun!”
Tepat pukul 05.00, kue-kue basah nan
cantik telah siap. Harum manis kue memenuhi rumah. Meski lelah, Ivan merasa
bangga melihat kue-kue yang baru ditatanya. Rasanya ia makin mahir menata
kue-kue ini.
“Van, tolong masukkan setiap jenis
ke dalam kotak untuk pesanan kawinan dan Pak RW, ya. Biar Ayah yang menyiapkan
untuk dibawa ke pasar. Ibu mau membuat sarapan dahulu sebelum adik adikmu
bangun,” kata Ibu.
Ivan mengangguk. Saat memasukkan
kue-kue ke dalam setiap kotak, sebuah ide melintas dalam benaknya. Masih ada 30
menit sebelum ia harus bersiap ke sekolah. Ivan mengambil selembar kertas, lalu
segera menggambar sebuah kotak berisi aneka kue cantik.
“Camilan Cantik Akhir Minggu,”
begitu Ivan memberi judul gambar tersebut. Di bagian bawah gambar, Ivan
menulis, “Untuk pemesanan, hubungi Ivan – kelas VII B”.