Ruang Dimensi Alpha

Karya: Ratna Juwita
“Kau harus membawanya kembali!” Erza
berteriak kalang kabut. Aku gugup. Bingung. Tak tau apa yang harus kuperbuat,
sedangkan manusia dengan wajah setengah kera itu memandang sekeliling. Manusia
purba itu menemukanku ketika aku memasuki dimensi alpha. Tanpa kusadari ia
mengikutiku. Manusia purba itu akan mati jika tidak kembali dalam waktu 12 jam.
“Aku harus membawa dia kembali!”
teriakku.
Erza menghempaskan tubuhnya pada meja
kontrol laboratorium dengan kesal. Ardi berteriak lantang ”Jangan main-main
Don!” Ardi menatapku dengan tajam. “Padahal..,” Erza tercekat, “Aku tahu Er
kita tinggal punya waktu 8 jam”. Aku terus berusaha meyakinkan sahabat
sahabatku.
“Jika kamu mengembalikan manusia
purba melebihi 8 jam, berarti tamat riwayatmu.” Kembali Erza dan Ardi menatapku
tajam.
Aku mengotak-atik komputer Luminaku
dengan cepat. Aku memutuskan untuk tetap mengembalikan manusia purba itu.
“Sistem oke!”
Manusia purba itu harus hidup. Setiap
makhluk berhak untuk hidup. Aku yang membawanya, aku juga yang harus
mengembalikannya. Orang tuaku tak pernah mengajarkanku untuk melarikan diri
sesulit apapun masalah yang kuhadapi.
Ku klik tombol ‘run’ pada layar
monitor Lumina di depanku dan diikuti gelombang biru mirip Aurora memenuhi
ruangan. Pagar Asteroid terbuka lebar, memberikan ruang cukup untuk kulewati
bersama manusia purba itu. Ruangan penuh asap dengan pohon-pohon yang meranggas.
Hampir 8 jam, manusia purba tetap
memegang tanganku. Kurang 10 menit aku lepaskan tangan manusia purba. Kujabat
erat dan aku lari menuju lorong dimensi alpha. Kurang 10 menit lagi waktu yang
tersisa dan aku masih di lorong dimensi alpha. Aku berpikir ini takdir akhir
hidupku. Tiba-tiba kudengar teriakan keras dan goncangan hebat. Aku terlempar
kembali ke laboratoriumku.
Alarm berbunyi. Gelombang dimensi
alpha semakin mengecil.
Badanku lemas seakan rontok semua
sendiku. Aku menengadah dan kulihat sahabat-sahabatku mengelilingiku. Semua
alat di laboratorium ini pecah berantakan. Tinggal laptop Luminaku yang masih
menyala.
“Ardi maafkan aku! Maaf telah merusak
laboratorium untuk penelitian ini,” kataku mengiba.
“Gak apa-apa asalkan dirimu bisa
selamat,” Ardi memelukku dengan erat. Kulihat Erza membawa air minum untukku.
Tidak menyangka aku bisa berhasil dikembalikan dan hidup lagi secara biasa.
Manusia purba itu juga berhasil kembali ke habitatnya pada 500 tahun sebelum
masehi. Aku dapat melihatnya dengan jelas di layar laptop. Manusia purba itu
tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahku.