Bola Persahabatan

Lapangan ini adalah saksi bisu atas
apa yang terjadi sepuluh tahun lalu. Tahun di mana aku masih duduk si bangku
SMP dan tak kenal lelah untuk bermain bola di sini. Tentunya bersama
teman-temanku, teman yang menemukan tempat tersendiri di dalam hatiku. Bagaimana
pun aku akan melupakan masa naif itu, dimana kami dengan angkuhnya menantang
para murid SSB yang terkadang bermain di sini. Tak usah diceritakan lagi
bagaimana hasilnya.
Melawan anak-anak komplek yang
disebut-sebut lebih manja dari anak kampung saja kami tetap kalah. Tapi itu
bukan inti dari permainan ini. Permainan yang tak sengaja membawa kami pada
peristiwa langka itu. Peristiwa yang pada saat kami kecil saja kami tidak
memercayainya. Anak-anak se-halu kami saja tak sanggup mencernanya.
Kejadiannya bermula di saat kami
memutuskan untuk mencari lapangan baru. Tidak ada alasan khusus, kami hanya
ingin mencari suasana baru. Selain itu, salah satu teman kami berkata bahwa ia
menemukan tempat bagus untuk bermain bola. Tapi, lapangan itu berada di
seberang hutan belantara yang jarang dilewati warga. Tepatnya, lapang tersebut
merupakan lembah di antara dua gunung yang mengapit desa kami.
Setelah berjalan selama beberapa jam,
akhirnya kami tiba di sana. Lapangan ini memang tampak menjanjikan. Belum lagi
pandangan yang asri mengelilingi sekitar pula. Rumputnya mungkin agak sedikit
terlalu lebat, tapi tak jadi halangan bagi bola plastik yang kami bawa.
Namun di sana kami malah asyik
bereksplorasi karena kawasan tersebut masih asing bagi kami. Kemudian, bola
yang kami bawa tiba-tiba menggelinding dengan cepat. Aku pun mengejarnya, tapi
bola itu meluncur dengan kencang, sulit untuk menyamainya. Setelah beberapa
saat berlari, aku baru tersadar akan satu hal yang janggal. Area ini datar,
tidak mungkin bola itu dapat menggelinding sendiri. Akhirnya aku berhenti
berlari dan seketika, bola itu pun berhenti bergerak.
Keringat dingin menetes di dahiku.
Aku lantas menengok ke belakang dan tidak ada siapa-siapa di sana. Entah kemana
kawan-kawanku berada. Kali ini, hawa di sekitarku terasa berbeda. Angin
sepoi-sepoi yang berembus tenang berubah menjadi angin kering yang menusuk
dadaku. Aku kembali melihat bola itu dan tampak Dani, sedang berusaha mengambil
bola itu. Disusul oleh tepukan tangan di bahu sebelah kananku yang membuatku
terkejut.
“Den, tadi ga ada yg nendang bola
kan?” Tanya temanku.
“Nggak”, balasku singkat.
“Ketiup angin kali ya?” Katanya.
“Iya”, balasku singkat lagi sambil
menahan kengerian yang ku alami.
Ia pun lantas setengah menarikku
bersama dengan kawanku yang lain. Sementara itu, Dani juga sudah berhasil
mengambil bola dan bergabung bersama kami. “Mau ke mana dan?” tanyaku. Kali ini
Dani diam, dia hanya terus menarik tanganku sambil memboyongku ke arah timur,
arah kebalikan dari arah bola itu meluncur. Kami semua tak berhenti berlari
kecil hingga tiba di batas tepian hutan yang telah kami lewati sebelumnya.
Entah mengapa, bahkan suasana hutan belantara yang gelap ini terasa lebih
nyaman jika dibandingkan dengan lapang itu.
Setelah berjalan setengah perjalanan
menuju pulang, akhirnya Dani bergeming. “Bagus ya den tadi tempatnya”.
”Iya sih, tapi…”
“Tapi mistis? Hehe, ngga apa-apa kok
den, ga usah takut”
“Tapi kan kamu tadi liat sendiri, itu
bola meluncur sendiri”.
Lantas Dani sambil tersenyum berkata
“Selama kita bareng ga bakal ada kejadian apa-apa den, santai aja”.
Tanpa pikir panjang aku lalu membalas
perkataan itu dengan tawa kecil sambil bergumam “Mau jadi anime lu dan”. Sontak
semua kawanan kami pun tertawa mendengarnya.