Kegemaran Yang Langka

Oleh: Widya Suwarna
Ibu Mimi berjualan makanan di depan
rumahnya. Banyak pegawai kantor yang datang dan makan di kantin ibu Mimi.
Setiap hari, ibu Mimi membeli banyak kaki ayam. Karena ada satu makanan berkuah
yang lebih lezat bila dimasak dengan kaki ayam.
Nah, kaki ayam ini amat disukai
Mimi. Rasanya gurih, legit, dan … pokoknya nikmat. Waktu masih kecil Mimi
sering makan 2 buah kaki ayam. Sekarang, setelah kelas V, Mimi bisa
menghabiskan setengah lusin kaki ayam.
Tetapi, kegemaran Mimi ini nyaris
terhenti.
Suatu siang, Rita dan Agnes datang
saat Mimi sedang makan siang. Di hadapannya ada semangkuk kaki ayam, lengkap
dengan cekernya. “Hai, kalian mau makan? Ayo, kita makan.
Agnes dan Rita saling berpandangan,
lalu tertawa.
“Kenapa?” tanya Mimi heran.Tangannya
tetap memegang sepotong kaki ayam.
“Aku heran, kamu kok nikmat benar
makan kaki ayam. Aku tak pernah mau memakannya!” jawab Rita.
“Aku juga. Malah aku baru pernah
lihat ada orang suka makan kaki ayam!” tambah Agnes.
“Oh, ya? Aku kira banyak orang yang
suka makan kaki ayam. Lezat kok. Ah, mungkin kalian berdua saja tidak suka
karena belum pernah mencobanya. Cobalah satu!” Mimi menawarkan.
Rita dan Agnes menunjukkan wajah
jijik.
“Aku jadi ingin tahu berapa orang
anak di kelas kita yang suka makan kaki ayam!” tiba-tiba Rita berkata.
“Baik, besok aku akan menanyakan
pada teman-teman kita. Akan kubuktikan cukup banyak orang yang tahu lezatnya
kaki ayam!” kata Mimi bersemangat.
Esok harinya, Mimi membawa notes
kecil dan menuliskan nama-nama kawan sekelasnya yang 37 orang itu. Lalu, ia
menanyai mereka satu persatu. Pekerjaan itu tidak sulit. Ia melakukannya
sebelum bel masuk berbunyi, waktu istirahat pertama dan kedua. Namun, hasilnya
mengecewakan Mimi. Ternyata, tak seorang pun kawan sekelasnya suka makan kaki
ayam.
Sekarang Mimi mulai ragu-ragu.
Jangan-jangan ia yang aneh karena suka makan kaki ayam. Apakah sebaiknya mulai
sekarang ia tidak makan kaki ayam lagi? Tetapi, bisakah ia menghentikan
kegemarannya itu?
Masih tengiang-ngiang di telinganya
jawaban kawan-kawannya, “Ih, aku sih jijik.”
“Ayam biasanya mencakar di
tempat-tempat sampah,” kata Yuli.
“Ha, ha, ha, kamu suka makan kaki
ayam? Kamu juga suka buntut dan kepala ayam?” goda Dani.
“Ih, amit-amit seperti tak ada
makanan lain saja!” kata Ine.
Sepulang sekolah wajah Mimi murung.
la tak mengira kegemarannya itu merupakan kegemaran yang langka. “Sudah pulang,
Mi? Itu di panci ada kaki ayam,” ujar Ibu.
Mimi menggelengkan kepalanya.
“Lho, ada apa?” tanya Ibu heran.
Mimi menceritakan masalahnya, lalu berkata, “Ibu tak pernah bilang kalau banyak
orang tak mau makan kaki ayam!”
Ibu tertawa dan berkata, “Memangnya
kenapa? Nah, coba kamu jawab pertanyaan-pertanyaan ini. Lalu, kamu ambil
keputusan apakah kamu mau meneruskan atau menghentikan kegemaranmu!”
“Pertama, kalau kamu suka kaki ayam
apakah dirimu menjadi rugi?” tanya Ibu.
“Tidak!” jawab Mimi.
“Kedua, apakah sikap kawan-kawanmu
berubah setelah mereka tahu kamu suka makan kaki ayam?” tanya Ibu lagi.
“Tidak!” jawab Mimi.
“Ketiga, apakah kalau misalnya si
Rita suka makan daun pepaya yang pahit, semua anak di kelas harus mengikuti
kegemarannya?” Ibu mengajukan pertanyaan yang terakhir.
“Tidak!” jawab Mimi.
“Kalau begitu, ambillah keputusan
yang terbaik bagimu!” kata Ibu.
Mimi tersenyum. Hilanglah
keraguannya. la mengucapkan terima kasih pada Ibu, lalu mengambil mangkuk
kosong dan pergi ke dapur. Selanjutnya kamu tahu apa yang dikerjakan Mimi,
bukan?