Bendera

Oleh: Jelsyah Dauleng
Setiap tahun, Pak Lurah selalu
menyampaikan kepada penduduk untuk memasang bendera sebulan penuh, selama bulan
Agustus. Tapi hanya ada satu atau dua keluarga yang di depan rumahnya terpasang
tiang bendera. Sudah termasuk Pak Budi yang tidak pernah absen untuk menaikkan
bendera merah putih di tiang aluminium. Ia selalu merasa bangga di saat semua
orang lupa dengan tanda kemerdekaan itu, meski ia hanya rakyat biasa, ia tetap
mengingat.
Tapi tahun ini sepertinya agak
berbeda. Pak Budi mendapati seorang tetangga yang meminta tukang jahit di pasar
untuk dijahitkan bendera merah putih sekaligus bendera hias. Ia harusnya
senang, lebih banyak orang lagi yang akan merayakan hari ulang tahun Indonesia.
Hanya saja ada masalah lain. Hari ini—tanggal 1 Agustus—sesampai di rumah,
sepulang dari pasar untuk menjual sayur-mayur hasil panennya, ia memanggil
istrinya.
“Bu, bendera mana?” tanya Pak Budi.
Hanya saja Bu Tin, istri Pak Budi
tidak menjawab. Ia sedang ngambek, belum dikasih uang belanja. “Aku ini belum
makan,” katanya tak sesuai dengan pertanyaan Pak Budi.
“Memang kenapa tidak makan,” Pak
Budi jadi agak kesal. Padahal kemarin ia habis menjala di sungai dan ia yakin
di lemari pendingin masih ada ikan, bahkan ada udang. “Bendera mana bu?”
tanyanya lagi.
“Ada di lemari mungkin, Pak,”
putrinya, Ani, yang lalu menjawab. Remaja enam belas tahun itu keluar dari
kamar dan mendapati wajah masam kedua orang tuanya. “Memang sudah mau
dipasang?”
Melihat Ani yang tak sependapat
dengan kekesalannya, Bu Tin coba menenangkan diri. Ia lalu bergerak mencari
kain yang dimaksud suaminya.
Pak Budi menggerakkan kepala.
Menarik sudut bibirnya saat Bu Tin kembali ke ruang tengah dengan bendera di
tangan istrinya itu. Ia meraih, bendera hias berwarna kuning disingkirkannya
dan melihati bendera merah putih yang selalu bangga berkibar pada tiang di
depan rumahnya. Hening, untuk beberapa saat.
“Bu Tin,” teriak salah satu tetangga
dari luar, memecah keheningan. Ia dan lainnya mulai memasang bendera merah
putih dan bendera panjang berwarna warni pemberian pak lurah.
Bu Tin segera mengerti dan mencoba
meraih bendera merah putih dari tangan suaminya, ia terkesiap saat bendera itu
tidak terlepas dari Pak Budi.
Ani menoleh, seketika mendapati
wajah sedih ayahnya. Diingatnya kalimat yang selalu dikatakan ayahnya, “bagi
kita bendera ini pertanda kalau kita telah merdeka.” Ia menggigit bibir.
Meski mereka hanyalah keluarga sederhana yang kadang sehari dua hari tak ada
pemasukan, tapi ayahnya tak ingin berbeda dari warga Indonesia lainnya, selalu
ingin ditunjukkannya pada orang-orang bahwa ia juga telah merdeka.
Maka saat bendera tanda merdeka
ayahnya tak lagi berwarna merah-putih, ia tahu ada kemunduran yang terjadi di
keluarga mereka apabila bendera yang sekarang berwarna jingga-putih kekuningan
itu tetap berkibar di tiang.
“Kita beli yang baru, bu,” kata Pak
Budi, lebih pada dirinya sendiri.
“Apaan sih, pak? Uang makan saja
tidak cukup,” dengus istrinya. “Ini masih bagus, cuman warnanya saja yang agak
pudar. Pak Kur yang kaya saja, tahun lalu masang bendera yang jahitannya sudah
lepas-lepas. Sini pak,” Bu Tin masih mencoba menarik, tapi masih tak terlepas
dari tangan suaminya.
“Besok saja dipasangnya, bu,”
keputusan Pak Budi membuat Bu Tin mendengus dan keluar menginfokan pada
tetangga bahwa ia belum beli yang baru.
“Kudengar Pak lurah bagikan bendera hias,
katanya biar kompak dibanding kelurahan lainnya,” Ani melihat keluar jendela,
melihati bendera hias panjang yang bertuliskan nama kelurahan di ujung bawah.
Pak Budi duduk. Menghela nafas.
“Bukan bendera merah putih,” gumamnya. “Kalau pun ada, lebih baik bapak beli
sendiri. Nanti, habis acara tujuh belasan, pasti diambil lagi.”
“Kalau ada rezeki, besok bapak bisa
beli yang baru,” kata Ani memperbaiki posisi duduknya di kursi kayu di sebelah
ayahnya, bersiap mengerjakan tugas yang lebih banyak dari biasanya. “Kalau
tidak, pasang yang ada saja. Lagi pula, bendera ini lebih berkesan, sudah
bertahun-tahun berkibar.”
Pak Budi mencoba tersenyum. Ia yakin
sudah bekerja keras setiap tahunnya, tapi sekarang masih belum bisa ganti
bendera. Kalau saja ia tak pernah mengatakan pada orang-orang kalau bendera
adalah tanda merdeka seseorang, ia mungkin tak pernah merasa malu memasang
bendera warna jingga-putih kekuningan ini.
Pandangannya lalu tertuju pada cover
buku paket Sejarah putrinya di atas meja, dengan gambar candi, beberapa orang
berjas, dan juga bendera merah putih. Ah, ia harus bekerja lebih keras dan
mencoba menghargai dibanding memberi harga.