Buku-Buku Kirana

Oleh: Laras Sekar Seruni
Kumpulan kata yang tersusun rapih
merasakan sedikit getaran dari luar. Seseorang mengambil kumpulan kata tersebut
yang sudah dijilid menjadi berbentuk sebuah buku. Kemudian ia merasakan
tubuhnya berpindah tangan untuk kemudian diceritakan berapa harga yang harus
orang itu bayar.
Lamat-lamat dirinya menyentuh
sisi-sisi satu buah kantong berbahan kain. Katanya plastik semakin dilarang.
Tidak masalah sebenarnya. Yang penting dia punya pemilik sekarang.
Setelah diintip ternyata yang
membeli dirinya adalah seorang perempuan muda berusia sekitar dua puluh dua.
Wajahnya biasa-biasa saja. Terlihat suka membaca dari kacamata merah tua yang
tertahan di hidungnya.
Bukan hanya dirinya yang ada di
kantong kain itu. Tapi ada beberapa yang ditumpuk-tumpuk sehingga sedikit
sesak. Ia dan yang lain sudah biasa. Sejak tubuhnya rampung, ia sudah
diperlakukan untuk saling tindih menindih satu sama lain.
“Aku sebuah mahakarya. Isiku disukai
oleh seluruh orang di dunia. Tahukah kau, penciptaku mendapatkan nobel karena
aku diterjemahkan lebih dari lima puluh bahasa?” ungkap salah satu dari
tumpukan itu.
“Ya ya. Aku pernah mendengar
tentangmu. Selamat ya,” balas buku yang berada satu tumpuk di atasnya,
acuh tak acuh.
Ia hanya terdiam karena malas
menanggapi. Sebenarnya bisa saja ia membanggakan dirinya karena berhasil meraih
predikat best-seller sejak tiga hari setelah dirinya diterbitkan. Bangga benar
rasanya menjadi salah satu yang dipuja-puja oleh banyak kalangan. Di dalam
dirinya terungkap rahasia negara yang berhasil dikuak karena kebodohan si
narasumber yang mabuk ketika diwawancara. Orang mabuk memang selalu jujur
ketika berbicara meskipun agak melantur.
“Duh, Kirana. Kamu ini kerjanya
membeli buku saja. Memang semuanya kamu baca?” suaranya menunjukkan
orang itu sudah hidup sekitar setengah abad.
“Iya dong Bun. Aku lagi penelitian
untuk skripsi,” jawab Kirana santai.
“Harusnya kamu simpan uang kamu
untuk masa depan. Beli emas kek. Itu salah satu cara untuk berinvestasi,” Bunda
memprotes anak gadis pertamanya.
“Buku juga salah satu bentuk
investasi masa depan Bun,”
“Anak zaman sekarang itu kalau
dinasihati bukannya patuh malah menjawab terus. Terserah kamu lah,”
“Bunda mau baca novel karangan Ayu
Utami yang baru? Oh, aku juga beli bukunya Pramoedya yang sudah dicetak ulang.
Harganya jadi mahal sekali,” kata Kirana
“Kamu ini bagaimana sih? Katanya
sedang penelitian skripsi. Yang dibeli kok novel? Tidak ah. Bunda sedang
malas baca,”
Tanpa kata lebih jauh, Kirana
melengos di depan Bunda menuju kamarnya. Ternyata kamar Kirana
dipenuhi buku-buku. Hanya ada lemari baju dan ranjang kapuk yang terasa
sangat kecil di sudut ruangan. Buku-buku ini lebih banyak dari toko buku tempatnya
dipajang dalam rangka promosi.
Ia diletakkan di
antara buku-buku non fiksi. Tubuhnya terasa semakin sesak karena
diapit sekitar puluhan tubuh lain. Namun dirinya senang karena sudah
mendapatkan pemilik. Setelah ini ia akan menjadi sangat bermanfaat karena
dirinya menceritakan kebenaran.
Tidak beberapa lama, Kirana kembali
mengambil tubuhnya. Senangnya bukan kepalang. Ia merasa akan dijadikan yang
pertama untuk dibaca dari buku-buku yang beberapa jam lalu bersamanya
di kantong berbahan kain. Ternyata, ia bertemu kembali dengan buku yang
diterjemahkan lebih dari lima puluh bahasa dan novel karangan Pramoedya.
Rupanya Kirana akan membalut tubuhnya dengan sampul plastik agar lebih awet dan
sampulnya tidak cepat kotor.
Ia sedikit kecewa sebenarnya. Namun
tidak mungkin Kirana membelinya jika tidak dibaca. Maka ia akan setia menunggu
hingga tiba gilirannya untuk disesap lembarannya satu per satu menggunakan
jari-jari lentik Kirana.
Buku-buku Kirana hampir
semuanya sombong. Jika Kirana sedang pergi kuliah, mereka membanggakan dirinya
masing-masing. Ruangan terasa sangat riuh dan bising. Ia hanya diam saja karena
merasa menyombongkan diri tidaklah penting. Bukankah setiap buku memiliki
kelebihan dan kelemahan masing-masing?
Semakin
hari buku-buku Kirana bertambah. Awalnya Kirana
membeli buku seminggu sekali. Sekali membeli bisa sepuluh sampai dua
puluh buku. Buku tentang apa saja. Kedokteran, politik, hukum,
jurnalistik, novel, komik, bahkan majalah dan koran yang kabarnya merupakan
sumber ilmu pengetahuan teranyar. Padahal Kirana mengambil jurusan Filsafat.
Yang penting, Kirana merasa senang membeli buku-buku lain dari
berbagai macam bidang.
Kemudian, kebiasaan Kirana
membeli buku menjadi setiap hari. Lama-lama kamarnya semakin sesak.
Bahkan Kirana sekarang tidur di atas tumpukan buku-buku yang tersusun
setinggi kasur. Lemari bajunya pun sekarang diisi oleh buku-buku.
Sedangkan baju-baju miliknya sebagian besar disumbangkan ke anak-anak yatim
piatu. Kirana hanya memiliki tiga pasang baju yang ia kenakan untuk
sehari-hari.
Kirana sampai lupa beramal uang.
Uangnya sudah habis untuk beli buku. Padahal biasanya recehan di dompetnya
Kirana sumbangkan untuk pengamen atau anak jalanan. Sekarang recehnya dia
kumpulkan untuk membeli buku-buku obralan. Kirana juga keluar dari
perkumpulan pecinta lingkungan yang mewajibkan anggotanya membayar seratus ribu
per bulan. Kirana terkadang lupa makan. Uangnya habis untuk
membeli buku-buku.
“Kirana! Kamu sudah keterlaluan,
Nak! Uang kuliah itu untuk dibayarkan ke kampus kamu. Bukan untuk dibayarkan ke
para penjual buku!” Bunda ternyata sudah naik pitam. Padahal jarang sekali
Bunda marah-marah seperti ini.
“Kemarin ada diskon besar-besaran
Bun. Sayang jika tidak membeli. Lagipula kalau buku-buku itu tidak
laku, mereka akan dibakar karena akan memenuhi gudang. Jadi lebih baik aku beli
kan?” Kirana masih menjawab santai.
“Kemarin, kemarin, kemarin, dan
kemarinnya lagi maksudmu? Kamu kira Bunda tidak tahu kalau kamu
membeli buku setiap hari?!
“Diskonnya memang setiap hari selama
sebulan, Bun. Sudah ya. Kirana mau mandi dulu.”
Tidak lama Bunda meninggalkan kamar,
suhu kamar Kirana tiba-tiba berubah. Rasanya begitu gerah. Semakin panas dan
meluluhkan peluh di setiap buku-buku yang masih tersusun rapi.
Kemudian nyala merah dari ruangan
depan merambat perlahan tapi pasti. Pintu kamar Kirana
rubuh. Buku-buku itu berteriak panik minta diselamatkan. Namun tidak
ada yang mendengar. Bunda sudah berlari keluar menyelamatkan nyawanya sendiri.
“Tolong! Tolong! Kebakaran!”
terdengar lolongan Bunda di kejauhan.
Orang-orang ramai mengelilingi rumah
Kirana. Masing-masing membawa ember berisi air. Ada juga yang membawakan kain
basah. Mereka ramai-ramai membantu Bunda menyelamatkan rumah peninggalan
suaminya.
Bunda lupa mengecek regulator gas
elpiji. Ketika sedang memasak rendang, tiba-tiba gasnya meledak. Tentu saja
ledakkan itu menciptakan percikan-percikan api yang kian detik kian merambat
dan membesar. Bunda langsung menghambur keluar setelah menutup pintu kamar
Kirana. Ketika itu apinya sudah melahap meja makan mahoni kesukaan Kirana.
Sekarang api itu semakin
liar. Buku-buku Kirana meraung keras karena mulai merasakan tubuhnya
diselimuti api. Tinta-tinta yang menghambur pasrah dilumat si jago merah
bersama dengan kertas yang selama ini menjadi sandarannya.
Begitupun dengannya. Ia merasa
sampul plastik yang dilekatkan tubuhnya oleh Kirana tidak berguna banyak. Malah
sampul itu meleleh dan membuat kulitnya melepuh. Sia-sia saja ia berteriak
untuk memohon agar api itu berhenti. Satu demi satu lembarannya semakin
terkikis dan tubuhnya berubah menjadi abu.
Kepunahan terjadi dalam hitungan
menit. Buku-buku Kirana habis menjadi santapan penguasa neraka. Yang
ada tingal kenangan dan rentetan pengetahuan yang tercetak di kepala Kirana.
Ia bergeretak di tengah tumpukan
kayu hangus bekas rumah Kirana. Tubuhnya mati. Begitupun
dengan buku-buku lain di kamar Kirana yang sekarang tinggal puing.
Namun nyawanya masih ada, membumbung mencari-cari Kirana. Ia merindukan
perempuan itu.
Sedangkan Bunda dan dua anaknya yang
lain tinggal di rumah tetangga sambil menanti kepulangan Kirana. Kurang dari
sehari, Kirana tiba. Tubuhnya hampir ambruk ketika menemukan
tumpukan buku-bukunya sudah menjadi debu.
Kirana meraup sisa-sisa kertas yang
lapuk sebelum waktunya. Kirana menjerit dengan rintihan tertahan. Batinnya
terluka karena kehilangan barang-barang kesayangannya. Buku-bukunya habis
tak bersisa.
Ia menemukan Kirana. Arwahnya
membelai lembut rambut Kirana. Ia membisikkan kata-kata yang tidak berhasil
Kirana dengar. Setidaknya, ia sudah mengungkapkan perasaannya kepada Kirana.
“Aku mencintaimu, Kirana. Meskipun
banyak jenisku yang juga kamu cintai, namun aku merasa menyatu ketika
bersamamu,” ujarnya dibantu hembusan angin pagi.
Ternyata di antara deburan abu yang
bertumpuk sendu, tersembunyi satu buku yang tidak tersentuh api.
Kirana melihatnya dan terpana. Air matanya kembali tumpah karena merasa
bersalah lama melupakan buku berisi kumpulan ayat-ayat suci itu.
“Buku Kirana sekarang tinggal
ini,” kata Kirana lemah kepada Bundanya.
Bunda tersenyum simpul meski hatinya
tetap terluka, “Tidak apa-apa, Nak. Bunda rasa buku itu cukup untuk
membantumu menyelesaikan skripsi.”
Ia mendesah pasrah ketika Kirana
tidak membalas cintanya. Arwahnya kembali terbang terbawa angin menuju peraduan
yang entah berada dimana.***