Macan

Oleh: Seno Gumira Ajidarma
Malam berhujan di hutan baik
untuknya. Ini membuat manusia kurang waspada karena titik-titik hujan pada
setiap daun menimbulkan suara di mana-mana di dalam hutan sehingga pendengaran
mereka teralihkan. Apalagi jika manusia ini alih-alih memburu dirinya, malah
bercakap-cakap sendiri, mungkin untuk menghilangkan ketakutan dalam kegelapan
tanpa rembulan.
Ia merunduk di balik semak, antara
bersembunyi tetapi juga siap menerkam. Iring- iringan manusia berjalan
berurutan di jalan setapak di bawahnya. Di sisi lain jalan terdapatlah jurang
berdinding curam yang menggemakan arus sungai di dasarnya. Suara arus tentu
lebih mengalihkan perhatian. Gemanya bahkan membuat mereka harus berbicara
cukup keras.
”Hujan begini Simbah tidak ke
mana-mana kan?”
”Oooh kurasa hujan seperti ini tidak
banyak artinya untuk Simbah, justru ini saatnya keluar untuk mencari mangsa
yang menggigil kedinginan.”
”Berarti mangsanya itu kamu!”
”Huss!”
”Ha-ha-ha-ha!”
”Ha-ha-ha-ha!”
”Ha-ha-ha-ha!”
Baginya ini hanya suara-suara karena
ia memang tidak mengerti bahasa manusia. Namun, ia memang bisa memangsa salah
seorang di antaranya. Ada sebuah celah di antara dua pohon besar di ujung jalan
setapak ini, yang membuat mereka harus berhenti sejenak ketika satu per satu
melewatinya. Setelah melangkahi akar-akar yang besar, setiap orang akan
menghilang di baliknya. Akar- akar pohon sebesar itu memang tidak bisa
dilangkahi, akar-akar itu harus dipanjati, seperti memanjat pagar tinggi lantas
menghilang di baliknya dan tidak terlalu mudah untuk segera kembali lagi.
Itulah saat terbaik untuk menerkam
manusia yang paling belakang. Membuatnya terjatuh dan menggigit lehernya sampai
lemas dan mati. Itu tidak dilakukannya. Untuk sekadar membunuh ia cukup muncul
dan menggeram. Melihatnya menyeringai, manusia yang terkejut dan melangkah
mundur akan terperosok dan melayang jatuh ke dasar jurang tanpa jeritan.
Ini juga tidak dilakukannya. Ia
hanya merunduk dan mengintai. Ia tidak berminat membunuh manusia, bahkan tidak
satu makhluk pun, selain yang dibutuhkannya untuk menyambung kehidupan—dan saat
ini ia tidak kelaparan karena sudah memangsa seekor kancil tadi siang. Kancil
bodoh itu seperti lupa bau kencing pasangannya, bapak anaknya, yang pada setiap
sudut menandai wilayah mereka. Adalah wajar bagi mereka untuk memangsa makhluk
apa pun yang memasuki wilayahnya. Dengan hukum itulah, nasib sang kancil sudah
ditentukan.
Sebetulnya sudah lama bagaikan tiada
makhluk apa pun akan memasuki wilayah mereka itu. Tidak babi rusa, tidak
kijang, tidak pula burung-burung dan serangga. Pasangannya mesti mencari mangsa
ke luar wilayah, begitu jauhnya sampai keluar dari hutan.
”Kambing kita lama-lama bisa habis
dimakan Simbah,” kata salah seorang.
Namun bukanlah ketakutan atas
habisnya kambing, yang membuat orang-orang kampung masuk hutan mencarinya.
Pada suatu hari pasangannya muncul
dari dalam hutan di tepi ladang. Langsung didekatinya sesuatu di atas tikar,
sesuatu di balik kain yang bergerak-gerak. Bagi makhluk besar yang lapar,
makhluk kecil bisa terlihat sebagai santapan.
Lantas terlihat olehnya bayi manusia
itu. Menatapnya sambil tertawa-tawa. Hanya makhluk manusia yang bisa tertawa di
dunia ini, dan itu membuatnya tertegun.
Saat itulah dari tengah ladang
mendadak terdengar suara bernada tinggi yang disebut manusia sebagai jeritan.
Malam tanpa rembulan semakin kelam.
Hujan tidak menderas tetapi tidak juga mereda. Ia memperhatikan orang-orang itu
menjauh. Mereka semua, dua belas orang bercaping maupun berpayung daun pisang
membawa tombak dan parang serba tajam. Keriuhan mereka tidak akan menghasilkan
tangkapan apa pun karena tiada seorang jua dari mereka adalah pemburu.
Ia tahu bukan orang-orang itu yang
menjadi penyebab kematian pasangannya, melainkan pemburu yang masuk sendirian
ke dalam hutan tanpa suara meski tubuhnya penuh senjata. Tombak di tangan,
parang dalam sarung di punggung, pisau belati di pinggang kanan, dan umban di
pinggang kiri.
Pemburu itu bahkan tidak bergumam.
Membaca jejak di tanah, berjalan melawan arah angin, makan seperlunya dan tidak
memasak di dalam hutan. Jika mulutnya bergerak- gerak barangkali mendesiskan
rapalan.
Tentu pemburu itu telah melacak
jejak semalaman ketika dengan tiada terduga, tetapi penuh rencana, muncul di
depan gua batu tempat ia sedang menyusui anaknya. Ia segera menggeram dan
berdiri melindungi anak jantannya. Pasangannya bahkan melompat dan menerjang ke
arah pemburu itu, tetapi makhluk yang disebut manusia ternyata tidak hanya bisa
tertawa, tetapi pandai memainkan tipu daya.
Sangatlah mudah bagi pasangannya
untuk menyusul pemburu itu ke tepi hutan, menyeberangi ladang, dan siap
menerkamnya di tengah lapangan, tetapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain
menggeram-geram ketika ternyata muncul puluhan manusia mengepung sembari
mengacung-acungkan tombak bambu ke arahnya. Pasangannya mencari celah,
berputar-putar dalam kepungan yang semakin merapat, sampai hampir semua tombak
itu menembus kulit lorengnya.
”Akhirnya!”
Orang-orang berteriak lega atas nama
keselamatan anak manusia, kambing, sapi, ataupun kerbau mereka, meski dalam
kenyataannya kambing, sapi, dan kerbau di kampung itu lebih sering diambil,
dibantai, dan dikuliti di kandangnya sendiri oleh para bapa maling berkemahiran
tinggi. Kawanan bapa maling datang lewat tengah malam mengendarai mobil boks.
Dengan mantra dalam campuran bahasa asing dan bahasa daerah yang tidak pernah
digunakan lagi, mereka menyirep seisi rumah yang di kampung itu jaraknya saling
berjauhan. Pagi harinya hanya tinggal isi perut ternak berserakan dengan bau
anyir darah di mana-mana.
Kambing yang diterkam penghuni rimba
jumlahnya tidak seberapa dibanding pencurian ternak dengan mobil boks. Itu pun
bisa terjadi karena kelalaian pemiliknya, jika tidak pintu kandang terbuka,
sering diikat begitu saja di luar kandang, sehingga menjadi sasaran empuk
makhluk pemangsa dari masa ke masa.
Bahwa bayi manusia seperti akan
menjadi mangsa itulah yang mengubah segalanya.
”Akhirnya terbunuh Si Embah ini!”
”Selesai sudah!”
”Belum …”
Pemburu itu tidak berteriak, tetapi
pengaruhnya lebih besar dari segala teriakan.
”Belum? Kita baru saja merajamnya
begitu rupa sampai kulitnya tidak bisa kita jual.”
”Masih ada betinanya….”
Semuanya ternganga.
”…dan masih ada anaknya.”
Saat pasangannya itu tewas oleh
puluhan bambu tajam, ia yang ternyata mengikuti dari belakang dapat menyaksikan
dari kejauhan. Saat itu tidak ada satu pun di antara para manusia melihat ke
arahnya. Tanpa bisa memberi bantuan, ia hanya berjalan mondar- mandir dengan
gelisah.
Ia masih berada di sana ketika
menyaksikan betapa orang-orang kampung itu tetap menguliti pasangannya, dan
membawanya pergi dengan mempertahankan agar kepalanya tetap tersambung pada
kulit loreng tubuhnya. Katanya bisa menjadi hiasan dinding kantor kelurahan.
”Kita harus membunuh juga betinanya,
ia pasti juga akan mencari mangsa di kampung kita!”
”Anaknya juga harus kita bunuh,
kalau tidak tentu setelah dewasa membalas dendam!”
Ia memang tidak memahami bahasa
manusia, baginya itu hanya berarti suara-suara, tetapi nalurinya dapat
merasakan ancaman.
Kini dalam kelam berhujan, ia
mengawasi orang-orang yang memburu dirinya itu dari suatu jarak tertentu. Ia
telah memindahkan anaknya ke goa lain yang sama hangatnya pada malam hari, dan
karena itu ia tidak perlu khawatir mereka akan menemukannya. Pemburu itu
mungkin akan bisa, tetapi tidak malam ini, karena belum tahu bahwa goa yang
ditemukannya sudah kosong.
”Betinanya baru saja beranak, dan
anaknya masih terhuyung-huyung kalau berjalan….”
Pemburu itu memberi petunjuk ke mana
orang-orang kampung bisa menyergap makhluk pemangsa yang terandaikan bisa
membalas dendam.
”Anakku sakit panas,” katanya
memberi alasan. Dalam hatinya ia sudah bosan bekerja tanpa bayaran.
Demikianlah rombongan orang-orang
bertombak yang bercaping ataupun berpayung daun pisang muncul di ujung jalan
setapak di tepi jurang ketika ia berada dalam perjalanan memburu pemburu.
Ia merunduk di balik semak,
membiarkan mereka lewat, dan membuntutinya sejenak untuk memastikan arahnya. Ia
tidak membunuh seorang pun.
Setibanya di kampung yang gelap dan
sunyi di malam berhujan tanpa rembulan, sembari melangkah tanpa suara, terendus
olehnya aroma pemburu yang tengik itu dibawa angin dari sebuah rumah terpencil.
Sebuah rumah yang sengaja berjarak dan menjauhkan diri karena penghuninya yang
selalu berikat kepala kusam merasa berbeda dari para petani bercaping.
”Orang-orang dungu,” pikirnya
selalu.
Terdengar tangis bayi yang tak
kunjung berhenti.
”Panasnya belum juga turun, coba
ambilkan air yang lebih dingin dari sumur, handuk ini seperti baru tercelup air
rebusan,” ujar perempuan yang sedang menjaram anaknya itu.
Kemudian pintu rumah kayu itu
terbuka. Dari dalam membersit cahaya lentera. Seorang lelaki berikat kepala
dengan bau tubuh yang tengik berlari kecil ke arah sumur sambil membawa baskom.
Hujan belum berhenti ketika ia
meluncurkan ember pada tali timba ke bawah dan mengereknya kembali ke atas
secepat-cepatnya.
Dalam kesibukan seperti itu pun,
kepekaannya sebagai pemburu tidak pernah berkurang. Ia melepaskan tali timba
dan membalikkan badan secepatnya.
Namun, kali ini sudah terlambat.***