Kuda Terbang Maria Pinto

Oleh: Linda Christanty
Menjelang senja, Yosef Legiman
melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Angin tiba-tiba
menggeliat bangkit dan mendesis. Udara menjelma mantra ganjil yang berdengung
dalam bahasa sihir; wangi, membius segala yang bergerak dan keras kepala. Ia
tertegun, menengadah, mendekap senjata laras panjang otomatis, dan teringat
pesan komandannya, “Biarkan dia lewat, jangan menembak.”
Gaun lembut Maria Pinto membelah
anyir perang dengan kibaran putih yang menyilaukan. Dua pengawal menemani
perjalanan rutin ini, menjaga junjungan mereka dari atas kereta. Yosef
membiarkan iring-iringan itu berlalu. Lutut-lututnya lemas. Ia terduduk di tanah.
Angin pun berangsur tenang.
Alang-alang yang subur jangkung, semak-semak duri di tanah gersang, dan gunung
batu terjal di kejauhan kembali memenuhi penglihatannya bersama kenangan akan
gadis itu.
Kisah tentang Maria pertama kali
didengar Yosef dari teman yang lebih dulu dikirim ke pulau ini, “Makanya kita
sulit menang, karena para pemberontak itu punya pelindung. Perempuan lagi. Huh!
Menyebalkan.”
Maria Pinto semula hanya gadis
biasa, sempat kuliah di fakultas sastra sebuah universitas terkemuka di Jakarta
dan bertahan sampai semester tiga, sebelum kembali ke negeri jeruk dan kopi.
Para penghuni negeri tersebut bergegas mati, hilang, bunuh diri, menjadi gila,
atau masuk hutan bersatu dengan babi liar dan rusa. Malapetaka tengah melanda
negeri leluhurnya, sehingga Maria dipanggil pulang oleh para pemimpin suku agar
memenuhi takdirnya. Dukun-dukun suku menahbiskan Maria sebagai panglima dengan
senjata sihir tua dan kuda terbang, karena dialah yang terpilih oleh bisikan
gaib para leluhur. Sejak saat itu Maria Pinto menjadi pemimpin pasukan kabut
yang berbahaya, mengepung musuh di tiap zona, menciutkan nyali orang-orang yang
bersandar pada hal-hal nyata; golongan yang mencampakkan dongeng dan mimpi.
“Ketika kabut datang, bergulung-gulung
melewati medan pertempuran, anggota kami satu demi satu mendadak gugur dengan
luka tembak. Suatu hari kabut itu datang lagi, bergulung-gulung di atas kami
dan aku menembaknya, tanpa henti. Ketika kabut lenyap, aku saksikan tujuh orang
terkapar mati di tanah. Negeri itu memang ajaib,” kisah temannya, tersenyum
pahit.
Kini Yosef terkurung dalam kereta
yang melaju tengah malam dan gagal memejamkan mata. Rasa kantuknya telah
lenyap, bertukar rasa gusar. Kereta ini seperti melayang di tengah gelap.
Noktah-noktah cahaya dari perkampungan, seperti barisan kunang-kunang muncul di
jendela. Namun, selebihnya gelap pekat. Di sebelahnya duduk perempuan yang
asyik menyimak novel Stephen King—begitulah nama yang tertera di sampul
buku—dan sesekali tersenyum atau berseru takjub mendengar kisah-kisahnya.
“Tapi saya tidak pernah menembak
Maria Pinto dan kuda terbangnya, tidak akan …. Dia sangat sakti. Percuma saja,”
ujar Yosef pelan, nyaris bergumam.
Perempuan muda itu terusik sebentar,
lalu kembali menekuni halaman-halaman buku. Semula ia kurang berminat mendengar
ocehan prajurit cengeng ini. Alangkah ganjil menyaksikan penembak jitu
mempercayai hal-hal yang jauh dari hukum benda dan kasat mata. Namun ia
terkesiap ketika menatap wajah si prajurit. Barangkali, inilah wajah orang yang
hidup-mati dari perang.
Wajah lelaki itu mirip boneka kain
kanak-kanak yang terlalu disayang, meski sudah kumal dan koyak-moyak tak
dibuang ke tong sampah; wajah penuh luka jahitan. Sepasang matanya sayu berhias
bekas-bekas sayatan dekat alis, yang menyerupai sulaman bordir asal jadi dan
bermotif sulur di tangan pemula.
“Tadi pagi ibu saya menangis lagi.
Ini kepulangan terakhir saya sebelum kembali bertugas. Ibu saya trauma. Kasihan
sekali dia. Tapi ini sudah pilihan,” tutur Yosef, memandang lurus ke depan.
Enam bulan lalu adiknya meninggal
disiksa para pemberontak. Jenazah sang adik kembali tanpa jantung, usus, dan
kemaluan, terkunci rapat dalam peti mati kayu mahoni. Kini Yosef satu-satunya
anak lelaki dalam keluarga.
“Petinya berselubung bendera besar,
besar sekali!” Ada nada bangga bercampur haru.
Perempuan muda malah menggigil.
Betapa sunyi mayat yang berongga!
“Kami dari keluarga petani miskin.
Kamu enak bisa kuliah, punya uang untuk jalan-jalan. Kami makan saja susah.
Menjadi prajurit membuat kami merasa terhormat. Orang-orang kampung menjadi
segan.” Kali ini ia pandangi wajah teman duduknya, yang telah kembali menekuri
buku.
Ia merasa lega sudah membagi
kisah-kisahnya yang terdengar lemah dan pengecut pada perempuan ini. Seperti
ungkapan menjijikkan dalam roman, ia merasa tenang di sisinya, di sisi orang
asing yang bertemu di perjalanan. Apakah ini pertanda ia tengah bersiap
menyongsong maut, lalu membuat pengakuan dosa serta jadi amat perasa? Ah,
bisikan maut sama sekali belum sampai sempurna.
Kereta terus menembus ke pedalaman,
melintasi laut, ladang garam, hutan jati, kebun, sawah, dan perkampungan.
Noktah-noktah cahaya timbul-tenggelam di bidang jendela. Keniscayaan yang lain
memendarkan nyeri lagi pada ulu hati.
“Saya benar-benar mencintai kekasih
saya. Tapi sore ini saya benar-benar terpukul. Keluarganya tak merestui
hubungan kami. Kakak-kakaknya mengancam akan mencelakai saya bila kami nekad
juga. Salah seorang pamannya sangat dekat dengan penguasa. Mungkin, gaji saya
terlalu kecil dan hidup seperti ini membuat keluarganya khawatir. Mungkin …,”
tuturnya, lirih.
Ia meraih sepotong brownies dari
kotak penganan, mengunyah pelan. Lorong kereta begitu sunyi. Orang-orang lelap
dalam selimut flanel yang seragam, biru tua. Dengkur halus terkadang merayap
dari kursi-kursi yang berdekatan, menyerupai rangkaian olok-olok seorang kakek
pada cucu tercinta.
“Ya, mungkin tugas saya harus
ditunda. Lagipula di tengah masalah begini, saya jadi tidak cekatan dan malas.
Orang yang sedang bermasalah biasanya tidak diberangkatkan perang, bisa
terbunuh secara konyol.”
Tiba-tiba angin berembus kencang di
lorong itu. Ia berkawan dekat dengan angin, meresapi desirnya yang tajam atau
membuai, membaca tanda-tanda yang terkirim.
“Coba, coba rasakan angin ini,”
bisiknya, menyentuh pundak perempuan muda.
“Ini bukan angin, tapi udara sejuk
dari pendingin,” tukas perempuan itu.
“Bila kita berada di posisi yang
salah, bau tubuh kita akan tercium oleh musuh. Dengan mudah keberadaan kita
diketahui.”
Ia mulai cemas. Ia selalu waspada.
Hanya satu kali khilaf dan akibatnya, memalukan.
Suatu malam Yosef terpisah dari
pasukannya sesudah kontak senjata dengan anggota gerombolan. Ia berjalan
sendiri menyusuri sungai di bawah kerlip bintang, mencari perkampungan
terdekat.
Menjelang tengah malam, ia sudah
mengendap-endap di belakang sebuah gubuk berdinding alang-alang, bergerak
dengan moncong senapan terarah ke seluruh penjuru. Tak ada perkampungan, hanya
gubuk terpencil di tepi hutan. Yosef berusaha mencuri percakapan yang
barangkali terjalin antara penghuni gubuk. Kesenyapan dan kesabarannya saling
beradu. Bunyi gesekan sayap-sayap jangkrik semakin nyaring.
Yosef memberanikan diri mendorong
pintu gubuk itu dengan laras senapan, sambil bersiap menarik pelatuk bila
bahaya datang. Gubuk itu gelap-gulita. Ia menyalakan pemantik. Pemandangan yang
hadir membuat jantungnya berderak.
Seorang gadis terbaring di lantai
gubuk memeluk kuda kayu bersayap, mainan kanak-kanak. Ia mendekat, mengarahkan
senapan ke wajah gadis yang terlelap. Butir-butir keringat dingin mulai
mengembang pada pori-pori tubuhnya yang lelah. Nyala pemantik membuat Maria
Pinto menggeliat, menatapnya lembut dan membisu. Sang panglima dan prajurit
kini sama-sama sendirian, berhadap-hadapan. Maria Pinto bangkit perlahan,
menggerakkan tangan ke udara… dan ribuan kunang-kunang berkumpul memberi cahaya
dalam gubuk, menari dan berpesta.
Maria Pinto melepaskan gaun perinya
yang putih. Tubuh telanjang gadis itu semula menyerupai patung lilin para
santa, lalu berangsur bening dan transparan. Ia bisa melihat jantung, usus,
paru-paru, dan tulang-tulang tengkorak gadis itu dengan jelas. Kepala mungil
yang cantik berubah membesar dengan sepasang bola mata yang menonjol keluar
serta kulit wajah mengeriput. Sekilas ia teringat film tentang makhluk luar
angkasa yang pernah ditontonnya di barak dulu.
Keesokan hari saat embun masih
melekat pada pelepah-pelepah ilalang dan rumput, ia sudah tersandar di muka
pintu pos penjagaan setempat. Teman-temannya berlari mendekat, memandang heran.
Ia malah buru-buru bangun untuk memeriksa tanah sekitar, tanpa berkata-kata.
Teman-temannya bingung bercampur ngeri, mengira ia hilang ingatan. Yosef telah
raib berhari-hari.
Tak ada jejak-jejak larsaku di tanah
yang lunak, pikirnya. Mungkinkah sang panglima membawanya dengan kuda terbang
kayu setelah melihat prajurit tolol pingsan di hadapannya? Mengapa Maria Pinto
tak membunuhnya? Mengapa ia begitu bodoh tak membidikkan senapan ke ubun-ubun
gadis itu?
Ia mulai tertawa-tawa, makin lama
makin keras. Kuda kayu, kuda kayu, kuda kayu, kuda kayu.… Yosef terus mengucap
kata-kata itu seperti mantra. Perutnya yang kurus terguncang hebat, terasa
terpilin-pilin oleh rasa lucu tak tertahankan. Dokter menyatakan dia terserang
depresi berat, lalu mendesak komandan pasukan memulangkannya ke zona tenang
untuk istirahat sementara waktu. Namun, mustahil meyakini ada zona yang
benar-benar tenang di wilayah perang. Ia segera dikirim pulang. Pemulihannya
berlangsung cepat, tapi ia dialihtugaskan ke bagian lain.
“Ini rahasia saya, hanya antara
kita,” ujar Yosef, menyudahi kisahnya.
Perempuan muda menghela napas
panjang. Kisah cinta segitiga yang rumit dan tragis, pikirnya, sedih. Prajurit
ini terombang-ambing antara pacarnya dan panglima hantu. Dua-duanya sad ending.
Kereta sebentar lagi mengakhiri
perjalanan. Udara makin sejuk. Orang-orang mulai sibuk merapikan rambut, blus,
atau kemeja yang kusut, dan menggunakan lagi bahasa tutur mereka. Dua pelayan
pria mengumpulkan selimut-selimut penumpang dalam kantong hitam besar,
terseok-seok di sepanjang lorong.
“Apakah mau menemani saya malam
ini?” Yosef menatap perempuan itu, lurus-lurus.
“Saya ingin menyelesaikan novel
ini.”
“Saya ingin berjalan-jalan,
menenangkan pikiran.”
“Semoga Anda bisa bersenang-senang.”
Mereka berpisah, kembali menjadi
asing satu sama lain.
Suatu siang di bulan cerah. Yosef
Legiman mendaki anak-anak tangga gedung pencakar langit di jantung kota,
menenteng tas berisi senjata. Hampir sebulan ini ia mengintai seseorang. Ia
bersembunyi di lantai paling atas, mengawasi sekeliling dengan teropong,
kemudian membiarkan angin menerpa tubuhnya. Ia merasakan arah dan embusan
angin, membiarkan sayap-sayap angin menyapu kulitnya, lalu menetapkan posisi
membidik yang tepat. Kesalahan membaca angin bisa berakibat fatal. Musuh bisa
menyusuri jejak-jejaknya dari aroma tubuh atau amis darah luka yang mengelana
dalam partikel-partikel udara. Namun, hidup dan mati adalah bait-bait pantun
yang berdekatan, sampiran dan isi yang saling terikat. Ia siap menghadapi
keduanya.
Langit biru muda terlihat sepi.
Yosef memasang peredam suara pada laras senjata. Matahari bersinar lunak. Ia
kembali mengintai sasarannya. Tirai sebuah jendela di lantai tujuh gedung
seberang terbuka lebar. Seseorang terlihat mondar-mandir, berbicara pada dua
teman. Ia melihat targetnya bergerak. Matanya kini terfokus pada titik sasaran.
Ia membayangkan dirinya seekor elang. Perempuan itu sekarang berdiri
membelakangi jendela. Ia pelan-pelan menarik picu senapan, menuju titik merah
pada lingkaran, menyambar.
Kaca jendela pecah berkeping di
gedung seberang. Seseorang jatuh tersungkur di lantai. Ia sudah melaksanakan
tugas. Kini dinyalakannya telepon seluler dan melapor pada sang komandan.
Ketika pertama kali melihat potret
perempuan muda itu, Yosef sempat tercenung lama: pemimpin para teroris. Ia
teringat perempuan yang dijumpainya di kereta sebulan lalu. Pastilah dia, pikir
Yosef. Ya, dunia ini memang kejam pada serdadu. Ia telah membunuh perempuan
itu, melenyapkan nyawa orang yang menyimpan sebagian rahasia hidupnya.
Angin tiba-tiba bertiup kencang
lewat jendela. Tubuhnya menggigil. Ia melihat Maria Pinto mengarungi langit
dengan kuda terbang. Mengapa perempuan itu selalu mengikutinya ke mana pun?
Maria Pinto tersenyum, mengulurkan tangannya yang putih dan halus. Bagai
tersihir, Yosef menyambut jemari gadis yang menunggu. Ia merasa terbang di
antara awan, melayang, melihat sebuah dunia yang terus memudar di bawahnya. ***