Sesaat Sebelum Berangkat

Oleh: Puthut EA
Aku menutup kembali pintu lemari
pakaian. Isak tangis tertahan masih terdengar dari luar kamar. Tanganku meraih
daun pintu, menutup pintu kamar yang terbuka sejengkal. Suara tangisan tinggal
lamat-lamat.
Aku berjalan pelan menuju jendela,
membukanya, lalu duduk di atas kursi. Pagi ini, langit berwarna kelabu.
Sejujurnya, sempat melintas pertanyaan di kepalaku, kenapa aku tidak menangis?
Kemudian pikiranku mengembara, menyusuri tiap jengkal peristiwa yang terjadi
tiga pekan lalu.
”Kamu belum pernah punya anak.
Menikah pun belum. Kalaupun toh punya anak, kamu tidak akan pernah punya
pengalaman melahirkan. Kamu, laki-laki.”
Aku menatap wajah di depanku, wajah
perempuan yang sangat kukenal.
”Aku, ibunya. Aku yang mengandung
dan melahirkannya. Kelak kalau kamu punya anak, kamu akan tahu bagaimana
rasanya khawatir yang sesungguhnya.”
Pelayan datang. Ia meletakkan dua
buah poci, menuangkan poci berisi kopi di gelasku, beralih kemudian menuangkan
poci teh di gelas perempuan di depanku. Pelayan itu lalu pergi setelah
mempersilakan kami menikmati hidangannya.
”Apa yang dia lakukan selama
seminggu berada di tempatmu?”
”Kami banyak jalan-jalan berdua,
menonton film, ke toko buku, ke pantai. Kebetulan aku sedang tidak sibuk. Aku
pikir, ia sedang liburan sekolah.”
”Sekolah tidak sedang libur, dan ia
tidak pamit kepadaku.”
”Mana aku tahu?”
”Dan kamu tidak memberitahuku.”
”Aku pikir ia pergi dengan
seizinmu.”
”Kamu bohong. Kamu tahu kalau ia
minggat dari rumah.”
Aku diam. Tidak mau memperpanjang
urusan pada bagian ini. Aku datang tidak untuk berdebat. Tiga perempuan masuk
ke ruangan ini. Bau harum menebar ke seluruh penjuru ruangan.
Perempuan di depanku mendesah.
Tangannya meraih tas, mengeluarkan sebungkus rokok, menyulutnya.
”Ia kacau sekali…”
”Ia boleh kacau, tetapi tidak boleh
minggat. Ia masih duduk di bangku kelas satu SMA!”
Aku tertawa. ”Kamu tahu, aku minggat
pertama kali dari rumah saat kelas satu SMP…”
”Itu kamu. Setiap keluarga punya
tata tertib yang tidak boleh dilanggar.”
”Minggat itu memang melanggar tata
tertib keluarga. Dan itu pasti ada maksudnya. Tapi aku tidak mau bertengkar.
Aku datang jauh-jauh ke sini, hanya untuk mengatakan sesuatu yang kupikir
penting menyangkut dia.”
”Apa?”
”Jangan terlalu memaksanya untuk
melakukan hal-hal yang tidak disukainya.”
”Hey, kamu hanyalah pamannya. Aku,
ibunya!”
”Aku tahu, dan aku tidak sedang
ingin merebut apa pun darimu.”
”Tapi kamu seperti sedang
menceramahiku tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang baik!”
Suaranya terdengar memekik.
Orang-orang menoleh ke arah kami. Kami diam untuk beberapa saat. Sama-sama
merasa kikuk menjadi perhatian beberapa orang.
”Jendra, anak yang manis. Tidak
sepertimu…” desisnya kemudian.
Aku mulai merasa darahku naik.
”Ia penurut, dan tidak pernah
menyusahkan orangtua. Tidak sepertimu.”
Darahku semakin terasa naik.
”Aku tahu persis karena aku ini
ibunya, ibu kandungnya!”
Dengan suara menahan marah, aku
bertanya, ”Lalu kenapa dia minggat dari rumah?”
Perempuan di depanku diam. Ia
mematikan rokok di asbak dengan cara yang agak kasar. Aku gantian menyulut
rokok.
”Risa, aku akan membuka sedikit
rahasia yang kusimpan selama ini. Hanya sekali saja aku akan menceritakan ini
untukmu… Aku selalu bermimpi buruk, sampai sekarang. Dan mimpi buruk yang
paling sering kualami, aku tidak lulus sekolah. Kadang aku bermimpi tidak lulus
SMP, SMA dan tidak lulus kuliah.”
Ia tertawa. ”Wajar kalau kamu mimpi
seperti itu, kamu kan agak bodoh dalam hal sekolah…”
”Bukan itu poinnya!” suaraku,
mungkin terdengar marah. Risa seketika menghentikan tawanya.
”Aku tidak suka sekolah, dan aku
harus menjalani itu semua. Memakan hampir sebagian besar waktu yang kumiliki…
Aku masih bisa merasakan sampai sekarang, gedung-gedung kaku itu, lonceng
masuk, upacara bendera, tugas-tugas, seragam, suara tak tok tak tok sepatu para
guru…”
”Kamu memintaku agar Jendra tidak
sekolah?”
”Dengarkan dulu… Dan apa gunanya itu
semua bagiku sekarang ini? Tidak ada. Ini kehidupan yang gila, aku tersiksa
berbelas tahun melakoni sesuatu yang menyiksaku, yang kelak kemudian tidak
berguna.”
”Bagimu. Bagiku, sekolahku berguna.
Juga bagi Jendra.”
”Tapi kamu bukan aku.”
”Kamu juga bukan Jendra. Ingat itu!”
”Aku hanya sedang menceritakan
diriku!”
”Kupikir kamu datang jauh-jauh untuk
menceritakan soal Jendra yang minggat dari rumah dan tinggal di tempatmu! Bukan
untuk menceritakan sesuatu tentang dirimu yang jelas aku tahu…”
”Itulah kesalahanmu sejak dulu,
merasa tahu persoalan orang!” Aku menatap kakak perempuanku. Mungkin sudah
ratusan kali, sejak aku kecil untuk menempeleng wajahnya. Tapi belum pernah
kesampaian.
”Tahukah kamu, kalau sejak kecil
kamu selalu menyusahkan orangtua kita?”
Aku menarik napas panjang. Aku
memandang cangkir kopi di depanku, dan ingin sekali melemparkan benda itu di
mulut pedasnya.
”Dan tahukah kamu kalau sifat itu
bisa menular?”
Kali ini, kupikir Risa sudah
keterlaluan. ”Kamu pikir aku menularkan sifat burukku kepada Jendra?”
”Aku tidak bilang seperti itu. Kamu
yang mengatakannya sendiri. Yang aku tahu, semenjak ia minggat dan tinggal di
tempatmu, ia semakin berani kepadaku, semakin sering bolos sekolah dan tidak
mau lagi mengikuti berbagai kursus!”
”Jadi kamu menuduhku sebagai
biangnya!”
Risa hanya mengangkat bahunya. Dan
tersenyum sinis. Aku benar-benar nyaris kehilangan kontrol. Untuk meredakan
semua yang kurasakan, aku menuang kopi, menyeruput, dan menyulut lagi sebatang
rokok.
”Jadi menurutmu, kenapa dia bisa
minggat?”
”Mungkin dia ada masalah… Itu biasa
saja. Kesalahannya yang paling fatal adalah… Ia minggat ke tempatmu!”
Begitu mendengar kesimpulan itu, aku
merasa bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan buruk. Rasa marah sudah
benar-benar menjalar di dadaku. Tetapi aku sadar, sebelum keadaan ini bertambah
semakin buruk, aku ingin mengatakan sesuatu yang harus kukatakan berhubungan
dengan Jendra kepada Risa.
”Rif, kamu menikah saja belum.”
”Ris, tidak ada hubungannya hal itu
dengan obrolan kita hari ini!”
”Ada! Mengambil beban tanggung jawab
yang sesederhana itu saja kamu tidak sanggup, dan kamu ingin menceramahiku soal
bagaimana mendidik anak…”
”Aku datang hanya untuk menyampaikan
apa yang dikeluhkan Jendra kepada orang yang merasa bisa mendidiknya!”
”Apa yang dia katakan?”
”Dia ingin pindah sekolah.”
”Itu sekolah paling favorit.”
”Favorit menurutmu, tetapi tidak
menurutnya.”
”Dia masih anak-anak… Dia belum tahu
apa pentingnya ilmu.”
”Itu kesalahanmu…”
”Dia butuh jaringan untuk masa
depannya, dan itu ada di sekolahnya!”
”Itu menurutmu…”
”Ya jelas menurutku, karena aku
lebih banyak makan asam garam hidup ini. Dan punya tugas untuk memastikan dan
menjamin masa depannya!”
”Ia ingin kursus bahasa Perancis.”
”Boleh. Tetapi dia tidak boleh
meninggalkan kursus bahasa Mandarin.”
”Dia ingin kursus main drum.”
”Boleh! Tapi dia tidak boleh
meninggalkan kursus belajar piano.”
”Kenapa dia tidak boleh memilih?”
”Karena dia belum bisa memilih.”
”Dia terlalu capek dengan itu
semua…”
”Dia harus belajar bekerja keras
dari sejak kecil. Disiplin. Itu yang akan menyelamatkannya dari persaingan di
masa depan.”
”Kenapa kamu menyuruhnya memutuskan
pacarnya?”
”Dia masih kelas satu SMA!”
”Kamu dulu pacaran ketika masih
kelas tiga SMP.”
”Itu aku, bukan dia! Jendra itu,
makan saja kalau tidak disuruh, tidak makan!”
”Kamu merasa lebih baik dan lebih
hebat dari Jendra, hah?”
”Aku, ibunya! Rif, sudahlah… Kalau
kamu punya anak, kamu baru bisa merasakan apa arti anak bagi orangtua. Rif, aku
hanya minta, kalau dia datang lagi ke tempatmu, segera hubungi aku!”
”Ris, aku bawakan hasil penelitian
seorang psikolog tentang tingkat stres para pelajar di kota ini…”
”Aku tidak butuh informasi itu.”
Kali ini, darahku benar-benar
mendidih.
”Aku khawatir kelak kamu akan
menyesal…” ucapku dengan nada mengancam.
”Kamu urus saja kehidupanmu. Jendra
adalah urusan keluargaku.”
Pembicaraan terkunci. Dadaku
bergolak. Kemarahanku sudah sampai pada pangkal leher. Aku hanya menekan-nekan
dahi dengan tanganku. Aku ingin mengatakan apa yang sempat dikatakan Jendra
kepadaku. Tetapi jika mulutku terbuka, aku khawatir gelegak itu akan membeludak.
”Kamu langsung pulang atau
menginap?”
Aku diam.
”Aku masih ada urusan kantor.”
Aku memberi isyarat dengan kepalaku,
ia boleh pergi.
Ia bangkit, lalu melangkah pergi.
”Risa…”
Ia menoleh. ”Sudahlah, Rif. Aku bisa
mengurusnya.”
Ia kembali berjalan menuju pintu.
Aku bisa saja mengejarnya, dan
mengatakan apa yang seharusnya aku katakan. Tetapi aku sudah terlalu marah. Dan
aku juga membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar apa yang
seharusnya kukatakan. Ia mungkin hanya akan tertawa. Ia mungkin hanya akan
semakin membuatku marah.
Perasaanku kacau. Aku keluar,
menyetop taksi, pergi menuju ke bandara.
Aku bangkit, berjalan, membuka pintu
kamar. Kudapati, Mita masih menangis si atas sofa. Ia melihat ke arahku. Aku
berjalan, lalu duduk di sampingnya.
”Kenapa belum bersiap?” dalam isak,
Mita bertanya.
Aku hanya diam. Mita memegang
tanganku.
”Kita bisa ketinggalan pesawat…”
Aku hanya bisa menarik-narik
rambutku ke arah belakang. ”Kupikir kamu saja yang berangkat.”
”Kenapa bisa begitu?”
Aku menatap wajah pacarku. ”Aku
tidak sanggup datang.”
”Kamu tidak boleh begitu. Apa yang
harus kukatakan kepada keluargamu?”
”Mereka tahu sifatku, jadi tidak
usah khawatir.”
”Kamu yakin?”
Aku menganggukkan kepala.
Mita bangkit dari sofa, perlahan
menuju kamarku, merapikan diri. Sesaat kemudian dia keluar, meraih tasnya.
”Aku berangkat ya…”
Aku mengangguk.
”Rif… Kenapa Jendra bisa melakukan
ini semua?”
Aku diam. Lalu menggelengkan
kepalaku. ”Sudahlah, nanti kamu terlambat datang ke pemakamannya.”
Mita melangkah pergi keluar.
Beberapa saat kemudian, aku membuka
laptop di atas meja. Membuka berkas foto yang tersimpan di sana. Melihat
kembali gambar-gambar Jendra terakhir di pantai bersamaku, sebelum keesokan
harinya ia pulang kembali ke rumah orangtuanya.
Di malam sebelum pergi, sepulang
dari pantai, ia sempat mengatakan apa yang ingin dilakukannya. Omongan yang
seharusnya kusampaikan kepada Risa. Tetapi aku terlalu marah, dan takut semakin
marah membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar omonganku.
Kini, aku tidak berani membayangkan
bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, begitu aku sampaikan apa yang sempat
terlontar dari mulut Jendra kepadaku. Bagaimana jika kemudian Risa peduli pada
omongan itu dan mengubah sikapnya kepada Jendra?
Kini, aku menangis keras-keras di
dalam kamar. Sendirian.***