Ripin

Oleh: Ugoran Prasad
KETIKA kawan-kawannya berhamburan ke
jalan raya, Ripin sedang susah payah menghitung jumlah kelereng yang
dimenangkannya. Siang itu tidak sedikit pun terlintas dalam pikirannya bahwa
masa kecilnya akan segera berakhir. Dua puluh dua, mungkin lebih. Ia cepat-cepat
memasukkan kelereng-kelereng itu ke dalam saku celananya dan bergegas menyusul
kawanannya.
Penarik perhatian kawanan itu tak
lain adalah mobil pick up berpengeras suara dan digantungi poster besar
berwarna-warni. Mesin mobil itu bergerung seperti tak mau kalah ribut dengan
pengeras suara, membuat lagu Rhoma Irama terdengar lebih buruk dari yang
biasanya Ripin dengar dari radio Bapak. Ketika mobil itu melintas di depan
mereka, Ripin dikejutkan tatapan laki-laki di sebelah sopir yang sedang
memegang mikrofon. Laki-laki itu punya cambang dan janggut yang rapi seperti
Rhoma Irama. Rambut keritingnya pun seperti Rhoma Irama. Ripin sempat teringat
bapaknya Dikin yang juga punya cambang, janggut, dan rambut seperti Rhoma
Irama, tapi bapaknya Dikin sudah lama mati ditembak.
Entah siapa yang mulai, seluruh
kawanan itu tiba-tiba saja sudah berteriak-teriak girang dan berlarian di
belakang mobil. Berlari mengejar mobil yang lajunya tidak lebih cepat dari
sapi, Darka, kawannya yang bertubuh paling besar, berhasil melompat naik ke
bagian belakang mobil dan bertolak pinggang jumawa. Begitu beberapa yang lain
mencoba mengikuti Darka dan terjatuh, sorak-sorai kawanan itu terdengar semakin
riuh.
Ripin berlarian agak jauh di
belakang. Duapuluhan kelereng yang dimenangkannya dan belasan yang lain yang
merupakan modalnya, membuat kantung celananya sesak, dan kejadian semacam ini
bukannya tak pernah ia alami. Dulu, jahitan di celananya sobek dan kelerengnya
berhamburan. Kawan-kawannya berebutan mengambil kelereng-kelereng itu dan tak
seorang pun bersedia mengembalikannya. Kali ini ia harus hati-hati.
Semula, Ripin berencana untuk
mengikuti kemanapun kawanannya berlari, tapi pengumuman yang didengarnya dari
pengeras suara itu membuatnya berhenti. Di antara suara musik ketipung dan
mesin mobil, lamat-lamat didengarnya suara, seperti suara Rhoma Irama, sedang
mengumumkan pasar malam, tong setan, dan rumah hantu. Nanti malam, di
alun-alun. Ripin tercenung, lalu berbalik arah dan berlari pulang ke rumah.
Mak sedang duduk meniup tungku
ketika Ripin menerobos masuk ke dapur sambil terengah-engah. Tak bisa
ditangkapnya dengan jelas apa yang dikatakan mulut kecil anaknya. Ripin sibuk
berceloteh sembari memasukkan kelereng-kelerengnya ke dalam sebuah kaleng bekas
susu. Suaranya bertumpuk-tumpuk dengan bunyi kelereng yang satu per satu
membentur dinding dalam kaleng. Hanya sepotong-sepotong dari kalimat Ripin yang
bisa didengar Mak, tapi itu cukup. Tak ada pasar malam. Tak ada tong setan.
Ripin merajuk. Mengatakan setengah
berteriak tentang kedatangan Rhoma Irama dan berharap Mak terbujuk. Mak
berpikir, bagaimana mungkin Rhoma Irama mau datang ke kota busuk ini. Rhoma
Irama cuma mau datang ke Cirebon atau Semarang. Tegal mungkin saja, tapi tidak
kota kami. Begitupun, nama ini membuat raut muka Mak sempat berubah cerah
sebelum kemudian keningnya berkerut cemas.
Ripin tahu itu. Ripin tahu kalau Mak
diam-diam menangis setiap kali mendengar Rhoma bernyanyi di radio. Ripin bahkan
pernah melihat Mak mendekap dan menimang-nimang radio itu. Padahal Mak sudah
bersumpah tidak menangis. Sekeras apapun Bapak menghantam wajah Mak.
Ripin melihat cemas ke wajah Mak dan
berharap sekali ini Mak masih mau berbuat nekat. Harapan ini malah membuat
Ripin merasa berdosa. Terakhir kali Mak nekat, pulang nonton layer tancap
Satria Bergitar, Bapak menghajar Mak sampai dini hari. Kalau sudah begini Ripin
cuma bisa nyumput dibawah selimut dan menahan mulutnya yang menangis supaya
tidak bersuara.
“Mak beli duwe duit,” kata Mak
berbohong. Ripin tahu Mak menyimpan sedikit uang di kaleng biskuit tempat bumbu
dapur. Cukup buat ongkos dan beli es lilin. Ripin marah karena Mak berbohong.
Kemarahan membuatnya tidak lagi peduli pada ingatan atas bilur-bilur di wajah
Mak. Mak, bohong itu dosa.
Sekali lagi Ripin menyebut nama
Rhoma Irama, bersumpah demi Allah bahwa ia sudah melihatnya. Ganteng benar.
“Ganteng kien karo bapane Dikin.”
Mak tercenung. Ripin mengeluarkan
semua senjatanya. Dia tahu, Mak senang dengan bapaknya Dikin. Kalau bapaknya
Dikin lewat depan rumah, Mak suka mengintip dari belakang pintu. Suatu kali
bahkan ia pernah melihat bapaknya Dikin sembunyi-sembunyi keluar dari pintu
dapur rumahnya dan semakin bergegas begitu bersitatap dengan Ripin. Hari itu
Mak kasih duit jajan, Ripin malah tambah curiga. Tapi Ripin tidak pernah
menceritakan kejadian ini kepada siapapun.
Raut wajah Mak mengeras. Mak pasti
berpikir tentang Bapak. Mak takut. Ripin sempat berpikir untuk pergi sendiri ke
pasar malam. Sepertinya itu tidak sulit. Semua orang pasti tahu dimana tempat
pasar malam didirikan, ia tinggal tak perlu malu-malu bertanya. Sayangnya ia
masih takut. Nenek dulu pernah pesan agar Ripin tidak membantah Mak atau Bapak.
Jangan main kemalaman. Hukuman untuk anak durhaka adalah kehilangan jalan ke
rumahnya dan dikutuk untuk tersesat selamanya, begitu kata Nenek. Ripin
bergidik dan semakin cemas kalau Mak menolak ajakannya.
Dulu Mak dan Ripin bisa
bersenang-senang setiap malam, karena Bapak bisa dipastikan belum pulang
sebelum Subuh. Bapak tidur sepanjang siang, dan kelayapan sepanjang malam.
Memang Mak belum sempat mengajaknya ke kota, tapi setidaknya mereka tidak
pernah lewat tontonan apapun yang ada di kampung mereka. Mak bahkan menemaninya
nonton TVRI di kelurahan.
Itu dulu, waktu Bapak masih jagoan
yang paling hebat. Sekarang sudah ada jagoan yang lebih hebat dari Bapak. Kata
orang-orang, jagoan ini seperti setan. Tidak ada yang tahu siapa orangnya,
dimana rumahnya, seperti apa tampangnya. Bapaknya Dikin salah satu korbannya.
Suatu pagi ditemukan mayatnya mengambang di kali, luka tembak dua kali, di dada
dan di dahi. Jagoan-jagoan setempat banyak yang sudah duluan mati. Dari
namanya, Ripin menduga jagoan ini pastilah orang Kresten.
Semenjak jagoan setan ini
berkeliaran, Bapak sering pulang. Bahkan bisa berhari-hari tidak keluar rumah.
Mak dan Ripin jadi tidak bisa lihat tontonan dan Bapak jadi lebih sering
menghajar Mak. Semenjak itu pula Bapak memutuskan untuk mengajar Ripin mengaji.
Bosan menghajar Mak, diajar Bapak mengaji buat Ripin sama dengan bersiap-siap
di hajar rotan.
Baru seminggu terakhir ini, Bapak
rupanya sudah tidak tahan berdiam di rumah berlama-lama. Ia mulai sering keluar
malam, tapi jadwalnya semakin sulit dipastikan. Tidak ada yang tahu untuk
berapa lama ia pergi dan kapan ia pulang.
Sampai sore, Mak kelihatan gelisah,
mondar-mandir di dapur. Ripin tahu kalau Mak gelisah artinya Mak sudah tidak
tahan untuk dolan dan bersenang-senang. Mak sudah bosan dengar radio. Kalau
sudah begini, Ripin tidak akan mendesak Mak lagi. Keputusannya sudah hampir
bisa dipastikan, Ripin tinggal menunggu Mak menemukan jalan keluar. Sampai sore
pula, Ripin ketiduran di kursi depan. Mimpi naik komidi putar.
Bapak masuk dan menendang kursi yang
diduduki Ripin. Ripin terkejut, terjaga dan mendapati tangan kekar Bapak
memuntir daun telinga kanannya. Dengan kasar, Bapak menyeretnya ke arah sumur,
dan perintah Bapak kemudian tidak perlu dikatakan lagi. Ripin mengambil air
wudhu dan bergegas shalat ashar.
Sehabis shalat, Bapak sudah menunggu
di meja makan. Rotan panjang disiapkan di sisi kirinya dan Ripin mengeja huruf
Arab di depannya dengan terbata-bata. Bapak sepertinya mabuk. Dari mulutnya
keluar bau asam yang menusuk-nusuk hidung Ripin. Kalau mabuk, biasanya pukulan
rotannya lebih keras. Belum dipukul Ripin sudah merasa tubuhnya nyeri.
Baru 10 ayat, Ripin melihat Bapak
sudah menempelkan kepalanya ke meja. Di ayat ke-12, Ripin ragu-ragu bahwa yang
didengarnya adalah dengkur halus Bapak. Di ayat ke-16 Ripin berhenti, Bapak
sudah benar-benar tertidur. Dengkurnya keras sekali.
Ripin tak bisa memutuskan apakah
sebaiknya ia pergi. Ripin tak bisa membayangkan kemarahan macam apa yang akan
menimpanya jika Bapak tiba-tiba terjaga dan ia tak ada dihadapan Bapak. Pasrah,
ia duduk dihadapan Bapak, dalam diam. Ia pikir, meneruskan mengaji pastilah
percuma. Lebih baik diam. Sial, tiba-tiba Ripin kepingin kencing. Mak masih
mondar-mandir di dapur. Ripin duduk tegang dan yang terlintas di kepalanya
adalah wahana rumah hantu di pasar malam.
Menjelang maghrib barulah Bapak
terjaga. Ripin masih duduk diam, menahan kencingnya, di depan Bapak. Keadaan
menahan kencing membuat Ripin tidak terlalu siaga. Terjaga dan mendapati Ripin
sedang mematung, membuat rotan di sisi kiri Bapak melayang ke arah tangan
kanannya dengan keras. Ripin tersentak dan langsung memasang wajah pucat, tidak
sepenuhnya karena perasaan sakit ditangannya. Ripin kencing.
Bapak mendengar bunyi gemericik itu
dengan tatapan terpana. Ia melihat ke bawah meja lalu berdiri tegak
menyambarkan rotan di tangannya ke wajah Ripin, sembari dari mulutnya tersembur
sumpah serapah. Ripin menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan Bapak terus
memukulinya. Ripin tak bisa menahan diri untuk tidak menangis dan menjerit
kesakitan. Dalam kesakitannya ia merasa menonton Tong Setan jadi semakin tidak
mungkin, sehingga ia menjerit lebih keras lagi. Mak bergegas datang dari arah
dapur, memegangi tangan Bapak dan memohon padanya untuk menghentikan
perbuatannya.
Bapak memang berhenti memukuli
Ripin, tapi hasrat memukulnya sudah terlanjur tinggi. Bapak menyabetkan
rotannya beberapa kali ke tubuh Mak. Mak terduduk di lantai, dan bergerak
mundur hingga punggungnya menyentuh dinding, dan Bapak belum selesai. Mak tidak
menjerit atau menangis. Mak diam. Tubuhnya seperti patung. Ripin berpikir bahwa
kejadiannya akan sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Mak akan menutupi
wajahnya, dan Bapak akan berhenti karena kelelahan.
Sore itu, ternyata tidak sama. Ripin
tidak mengerti apa yang terjadi. Setelah beberapa lama sabetan rotan itu
mengenai tubuhnya, Mak tiba-tiba mendongak, lalu menatap Bapak lekat-lekat.
Ripin tahu apa artinya tatapan itu. Tatapan itu pernah ia tujukan pada Darka,
sesaat sebelum perkelahian mereka dulu. Sebelumnya Ripin takut pada Darka, tapi
saat ia menatap tajam-tajam itu, ia sudah tidak akan takut lagi. Mak sudah
tidak takut lagi.
Hampir bersamaan, terdengar azan
maghrib dari surau. Entah mana, azan maghrib atau tatapan Mak yang menghentikan
Bapak. Bapak menoleh ke arah Ripin dan mengancam akan memukul Ripin lagi jika
saat shalat nanti Ripin tak ada di surau. Bapak mengambil sarungnya dan berlalu
membanting pintu.
Ripin tiba-tiba melihat Mak
mempunyai kekuatan yang luar biasa. Bangkit dengan sigap, lalu bertanya
padanya, “Sira arep melu Mak apa Bapak?” Ripin menyebut, “Mak,” dengan gemetar.
Mak masuk ke kamar, lalu tergesa-gesa memasukkan pakaian-pakaiannya dan Ripin
ke dalam tas. Di depan lemari Mak sempat berhenti dan berpikir apa lagi yang
perlu dibawanya. Tak jelas alasan Mak memasukkan kotak berisi perhiasan imitasi
yang tidak ada harganya ke dalam tas itu.
Sebentar kemudian Mak sudah
menggandeng tangan Ripin menyusuri jalan yang semakin gelap ke arah kota. Mak
berjalan dengan langkah-langkah cepat dan lebar, dan Ripin kepayahan
mengimbanginya. Tidak ada sepatah katapun diucapkan Mak dan Ripin melangkah dengan
penuh perasaan takut. Jalan raya sudah dekat, kurang dari seratus meter.
Tiba-tiba Mak berhenti. Terlihat berpikir keras, lalu berbalik arah. Setengah
bergumam Mak bilang bahwa dia lupa bawa uang. Tergesa-gesa, Mak menyuruh Ripin
menunggu. Tidak menunggu jawaban, Mak berlari ke arah rumah, meninggalkan Ripin
sendirian.
Mulanya Ripin berdiri di jalan
kampung yang lengang itu dan bermaksud menuruti Mak, namun kemudian kecemasan
bergumul dan meningkat cepat. Ripin memutuskan berlari sekencang-kencangnya ke
arah rumah. Tas besar yang dibawa Mak ditinggalkannya tergolek di atas jalan.
Terengah-engah, di depan rumahnya,
ia mendapati pintu depan terbuka dan di dalam ruang tengah, ia dapat melihat
Bapak sedang menjambak rambut Mak dan sedang menghantamkan kepala Mak yang
kecil itu ke arah dinding.
Pintu masuk Tong Setan sudah dibuka.
Orang-orang berebut membeli karcis. Ripin melangkah masuk dengan perasaan
takjub. Orang-orang berebut menaiki tangga yang berdiri di samping tong yang
sangat besar, dan Sam terdorong-dorong. Di bagian atas, Sam meniru beberapa
anak yang menaiki undakan yang rupanya disediakan untuk anak-anak seukurannya.
Orang-orang berebut melongok ke dalam tong.
Tong itu, Ripin teringat sumur di
belakang rumahnya. Di dalam tong itu dua orang sudah mulai menjalankan trail.
Lalu perlahan, seperti sihir, kedua motor itu mulai merambat di dinding tong
dan semakin lama berputar semakin cepat. Ripin terkesima dengan apa yang
dilihatnya sekaligus menyesal. Seandainya Mak bisa ikut. Ripin terus melihat ke
arah kedua motor yang kemudian saling melompat-lompat satu sama lain. Ripin
semakin terkesima begitu kedua motor itu menyusuri dinding tong sampai hampir
sampai di ujungnya, begitu dekat dengan tempatnya berdiri. Tangan kecilnya bisa
meraih motor-motor itu.
Tong Setan berakhir. Ripin ingin
bertahan sebentar di sana, untuk menyaksikan lebih banyak lagi, tapi petugas
tiket menemukannya dan mengusirnya pergi. Di luar, sebenarnya ada banyak yang
belum disaksikan Ripin. Dia belum naik Komidi Putar, belum masuk Rumah Hantu,
tapi tak ada uang sepeserpun tersisa dikantungnya. Kaleng tempat Mak menyimpan
uang sudah dibuangnya dari tadi. Kaleng yang sekarang di genggamnya hanya
berisi kelereng. Tidak ada yang mau menukar karcis masuk dengan kelereng.
Di luar, kompleks pasar malam begitu
ramai. Kemanapun Ripin melangkah ia hanya melihat kegembiraan. Mak tentu akan
senang, jika bisa ada di sini. Begitu ia ingat Mak, ia ingat Rhoma Irama yang
mengumumkan pasar malam dengan mobil siang tadi.
Ripin mengikuti firasatnya untuk
mencari arah sumber pengeras suara. Benar. Di depan sebuah meja berisi berbagai
jenis jenggot dan cambang palsu, si Rhoma Irama berdiri, tetap dengan mikrofon
dan suaranya yang merdu. Ia memakai pakaian yang gemerlap, persis yang pernah
dilihatnya di sebuah poster Rhoma Irama. Ripin mendekat untuk memastikan sekali
lagi. Jika benar ini Rhoma Irama, ia akan bisa menceritakannya pada Mak, biar
Mak ikut senang. Harusnya ia berusaha lebih keras membangunkan Mak, tapi Ripin
tidak tega. Tidur Mak pulas sekali.
Ripin sudah begitu dekat, dirinya
dan laki-laki berpakaian gemerlap itu hanya dipisahkan meja, tapi laki-laki
tidak sedikitpun memicingkan mata pada Ripin. Ripin mencoba menarik perhatian
laki-laki itu, tapi rupanya ia sedang sibuk dengan berbagai pengumumannya.
Iseng, Ripin mengambil satu ikat cambang dan jenggot palsu lalu menyelipkannya
ke dalam kantong celananya. Laki-laki berpakaian gemerlap itu tidak
menggubrisnya.
Ripin memutuskan untuk berseru
padanya. “Hey, Rhoma Irama!” teriaknya lantang. Orang-orang di sekitarnya
menoleh dan tertawa tercekikik. Laki-laki berpakaian gemerlap itu terkejut,
lalu menoleh ke arahnya. Sadar bahwa teriakan bocah ini telah membuat lebih
banyak orang memperhatikannya, laki-laki, dengan mikrofon di depan mulutnya,
berkata. “Bukan. Bukan Rhoma.” Laki-laki lalu mengubah posisi berdirinya,
seperti sedang berjoget. “Namaku Ruslan. Ruslan Irama,” katanya dengan suara
yang berat dan basah. Orang-orang tertawa.
Ripin menatapnya dengan pandangan
kecewa. “Hey, Bocah,” tegur Ruslan Irama. Ripin mendongak, gagal menutupi
matanya yang mulai berkaca-kaca.
“Siapa namamu?”
Ripin menyebut namanya dengan
gemetar dan malu.
“Ah, bagus sekali. Ripin. Ripin dari
Arifin.”
Lalu Ruslan Irama tiba-tiba bersuara
lantang. “Semua orang bisa menjadi seperti bang haji Rhoma Irama. Siapapun
juga. Pengunjung pasar malam yang kami hormati, sambut calon artis besar kita,
Arifin Irama,” kata Ruslan Irama. Orang-orang yang berkumpul di sekitar meja
Ruslan Irama bertepuk tangan ke arah Ripin. Lalu Ruslan Irama mengambil
gitarnya. “Mulanya adalah akhlak. Lalu musik.” Lalu Ruslan Irama memetik
gitarnya. Belum pernah Ripin melihat gitar yang begitu indah. Berwarna hitam
mengkilat, dengan motif dengan warna emas. Suaranya nyaring dan halus.
Gitar yang indah itu masih
terkenang-kenang ketika pasar malam bubar dan lampu-lampu mulai dimatikan.
Persis di depan jalan masuk pasar malam, barulah Ripin sadar ia tak tahu kemana
pulang. Neneknya benar. Rumahnya hilang.
Kebingungan, Ripin malah kembali
melangkah masuk ke dalam komplek pasar malam. Langkah kakinya membawanya ke
dekat meja Ruslan Irama. Ia terkejut melihat tidak ada siapapun di sekitar meja
itu. Hanya ada sebuah gitar hitam mengkilat, tidak ada Ruslan Irama. Dengan
hati-hati ia menyentuh gitar itu, lalu mengangkatnya. Ia semakin terkejut
melihat betapa gitar itu begitu ringan.
Beberapa puluh menit kemudian ia
menyusuri trotoar yang entah menuju kemana. Ia menyandang gitar yang dicurinya
dengan keberanian yang entah datang dari mana. Ia ingat Mak. Ia tersenyum.
Satu-satunya yang tidak entah adalah bahwa Mak akan selalu mencintai Rhoma
Irama. Itulah yang akan diraihnya. Ia akan menjadi Rhoma Irama, bukan sekadar
Ripin Irama. Setiap kali Mak akan memeluk dan menimangnya.
Sampai puluhan tahun kemudian, satu
kenyataan gelap yang luput dimengertinya adalah bahwa malam itu, setelah kepala
Mak menghantam dinding, Mak mati. Kenyataan lain yang tidak diketahuinya:
beberapa hari setelah kematian Mak, mayat Bapak ditemukan mengambang di kali,
dengan lubang di dada dan di dahi, di tembak jagoan seram bernama Petrus.
Ripin tidak pernah kembali. ***