TAROM

Oleh: Budi Darma
Agen
saya tahu, setiap kali saya pergi ke Frankfurt, Jerman, saya tidak mau transit
di bandara mana pun, selain bandara Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Ada dua teman
di bandara ini, yaitu Manfred pemilik restoran dan Gertrude, pramugari darat.
Pada
waktu saya berkunjung ke restoran Manfred untuk pertama kali beberapa tahun
lalu, dia mengajak saya bersalaman erat, lalu berbisik: ”Ibu kamu pasti orang
Jerman. Ayah kamu pasti orang Asia Tenggara.”
Laki-laki anak ibu Jerman dan ayah
Asia Tenggara pasti mirip ibunya, sedangkan anak perempuan pasti mirip ayahnya.
Dan memang, kulit saya putih, mata saya biru, dan setiap kali saya ke Jerman,
kebanyakan orang menganggap saya orang Jerman.
Karena saya tidak membantah, maka
setiap kali saya singgah di restorannya, pasti dia memberi sauerkraut,
salad khas Jerman, gratis. Setelah mengetahui nama saya Tarom Wibowo, wajahnya
berbinar-binar, lalu mengajak saya masuk ke ruang kecil di bagian belakang
restoran.
”Lihat, Tarom, saya punya buku
kamu.”
Dia mengambil buku New
Paradigm of Psycho-Hatred, buku saya mengenai lika-liku kejiwaan
tokoh-tokoh besar, dengan data dari berbagai negara, termasuk Jerman.
”Buku
hebat,” katanya. ”Maaf, saya belum pernah membaca novel kamu.”
Setelah mengobrol sebentar, dia
berbisik: ”Di sini ada gadis Jerman, Gertrude namanya. Pramugari darat. Kalau
mau dia bisa menjadi pramugari udara. Terbang ke mana-mana. Seperti saya, dia
malu jadi orang Jerman.”
Dia berbisik lagi: ”Kamu pasti suka
Gertrude. Cantik. Dan ingat, dia pengagum penulis hebat bernama Tarom Wibowo.
Dia tahu kamu bukan psikolog. Tapi, insting psikologimu benar-benar hebat.”
Begitu dipertemukan dengan Gertrude,
saya agak gemetar, agak bingung, karena itu memilih untuk diam, dan tampaknya
perasaan Gertrude sama. Kami berjabat tangan sampai lama, telapak tangan dia
dan telapak tangan saya sama-sama berkeringat dan sama-sama malas untuk saling
melepaskan pegangan. Tapi, perasaan aneh merambat perlahan-lahan dari tangan
dia, menyusupi tangan saya. Hawa panas bercampur hawa dingin. Dan begitu saya
menatap wajahnya, saya agak merinding, lalu dia menunduk, tampak malu.
Perasaan saya tidak enak, dan saya
putuskan untuk tidak bertemu dengan dia lagi. Ternyata, begitu saya masuk ke
ruang tunggu penumpang, pesan dia melalui WA masuk. Begitu membuka telepon
genggam setelah saya mendarat di Frankfurt, pesan dia masuk lagi, bukan hanya
satu, tapi beberapa. Selama beberapa hari saya di Frankfurt untuk mengurus jual
beli hak cipta sekian banyak pengarang dari berbagai negara, pesan Gertrude
datang bagaikan banjir.
Dan ketika pesawat saya transit lagi
di Abu Dhabi untuk kemudian disambung penerbangan ke Surabaya, Gertrude sudah
menunggu, lalu mengajak saya ke ruang tunggu khusus.Perhatian dia lebih
tertarik pada Berlin sebagaimana yang saya gambarkan dalam beberapa buku saya
dibanding dengan cerita saya mengenai Frankfurt.
”Kalau kamu ke Berlin, ajaklah saya.
Tunjukkanlah tempat-tempat yang kamu tulis dalam buku-buku kamu. Dan kalau kamu
pulang, saya ikut ke Surabaya.”
Selanjutnya pesan demi pesan
berdatangan terus, disertai kutipan lirik lagu ”Imagine” The Beatles, ”You
may say I’m a dreamer, but I’m not the only one.”
Seperti biasa, ketika akan ke
Frankfurt lagi, agen saya tidak pernah bertanya saya ingin naik pesawat
maskapai apa asalkan singgah di Abu Dhabi.
Agen saya memilih Angel Air, sebuah
maskapai penerbangan baru, berdiri sekitar tiga tahun lalu. Semua orang penting
di Angel Air perempuan, sisanya, pekerjaan kasar, diserahkan kepada laki-laki.
Mungkin Angel Air percaya, perempuan punya otak dan modal laki-laki hanyalah
otot.
Nama pilot dan kopilot sudah
beberapa kali saya simak melalui berbagai media. Saya belum pernah bertemu
mereka, tapi andaikata bertemu, pasti saya mengenal mereka. Pilot bernama
Awilia, ayahnya dokter umum dan ibunya dokter mata terkenal, kopilot bernama
Azanil, ayahnya dokter umum dan ibunya dokter jantung terkenal. Sejak zaman
mahasiswa, empat calon dokter ini sudah bersahabat, dan ketika sudah menjadi
dokter mereka bekerja di rumah sakit yang sama.
Awilia lahir jam 10:15, Azanil lahir
pada hari dan tanggal sama, jam 10:18, di rumah sakit yang sama pula. Umur
mereka terpaut tiga menit, dan setelah besar Awilia memperlakukan Azanil
sebagai sahabat muda, dan Azanil selalu ingin dijadikan nomor dua. Sejak TK
sampai dengan SMA mereka selalu bersama-sama, dan setelah lulus SMA mereka
sama-sama menentang keinginan orangtua mereka untuk menjadi dokter. Alasan
mereka sama: pada zaman dahulu kala, terceritalah ada dua sahabat karib, yang
laki-laki genius tapi homo bernama Leonardo da Vinci, dan yang perempuan luar
biasa cantik, Monalisa namanya. Sambil melihat burung-burung beterbangan,
berkatalah Leonardo: ”Monalisa, lihatlah burung-burung itu. Pada suatu saat,
manusia pasti bisa terbang seperti burung.” Monalisa tidak percaya, tersenyum,
tanpa berkata apa-apa.
Awilia dan Azanil sama-sama mengirim
lamaran ke Akademi Penerbangan Airbus di Toulouse, Perancis, sama-sama
diterima, dan lulus juga bersama-sama, masing-masing dengan nilai tinggi.
Setiap terbang mereka tidak mau dipisah, dan meskipun Awilia ingin gantian
menjadi kopilot, Azanil selalu menolak. ”Yang muda harus menghargai yang tua,”
katanya bergurau.
Setelah pesawat mencapai 15.000
kaki, seorang pramugari memberi saya kertas kecil.
”Selamat terbang bersama kami
pengarang Tarom Wibowo. Kita nanti bertemu di Abu Dhabi.”
Saya tidak tahan menahan kantuk. Ada
banyak kontrak dan jual beli hak cipta dari sekian banyak pengarang dan
penerbit yang harus saya urus di Frankfurt nanti, dan ada banyak pula buku yang
harus saya baca, khususnya buku Rochus Misch, bekas pengawal pribadi Hitler,
mengenai kematian Hitler. Saya tertidur.
Buah tidur adalah mimpi: ibu saya
bercerita mengenai bangsa Jerman dan bangsa Jepang, dua bangsa besar dan
sama-sama tololnya. Bangsa Jerman sangat setia kepada manusia bernama Hitler,
dan bangsa Jepang sangat patuh pada keturunan Dewi Matahari, yaitu Kaisar
Hirohito. Karena ketololannya, atas hasutan Hitler, bangsa Jerman dengan penuh
semangat merusak dunia, demikian pula bangsa Jepang, bukan oleh hasutan
manusia.
Ingat, kata ibu saya, dalam PD I
Jerman dikalahkan oleh Jepang, dan semua tawanan perang Jerman diperlakukan
dengan sangat baik oleh Jepang, bahkan lebih baik daripada serdadu Jepang
sendiri.
Perang antara Jerman dan Jepang
dalam PD I mirip dengan perang antara Indonesia dan Malaysia di perbatasan dua
negara di Kalimantan setelah Bung Karno menyatakan perang melawan Malaysia
dengan semboyan ”Ganyang Malaysia”. Serdadu Indonesia dan serdadu Malaysia
pura-pura saling tembak, kemudian lari-lari menuju musuh, berangkulan erat,
bertukar rokok, kemudian bergurau. Karena hanya pura-pura, perang ini dengan
mudah diakhiri dengan perdamaian. Jepang dan Jerman pura-pura bertempur, tidak
lain karena mereka bersiap-siap bersekutu untuk menghancurkan dunia dalam PD
II.
Karena bangsa Jerman setia kepada
manusia dan bangsa Jepang setia bukan kepada manusia, kesetiaan mereka berbeda.
Dalam mimpi ini pula ibu saya membanggakan kesetiaannya kepada keluarganya,
lalu meminta saya membaca majalah Femina tahun 1980-an,
mengenai kesetiaan istri Jepang terhadap suami orang Indonesia. Istri Jepang
sangat setia kepada suami, dan begitu anak dia sudah bisa dibawa lari, dia akan
lari bersama anaknya, kembali ke Jepang, disembunyikan oleh keluarganya di Jepang.
Ibu saya berbicara mengenai dua bangsa ini karena dia tahu saya pernah jatuh
cinta kepada gadis Jepang dan sekarang mungkin kepada gadis Jerman.
Setelah terbangun, saya ingat cerita
ibu saya mengenai pertemuan antara orangtua saya sebelum menikah. Hati ibu saya
berkata, ayah saya mempunyai kemampuan terpendam, dan ternyata benar: begitu
tahu ada pabrik akan bangkrut, ayah saya membelinya, memperbaikinya, kemudian
menjualnya. Terakhir dia membeli pabrik smelting yang hampir
bangkrut di Gresik, selama satu tahun memperbaikinya, kemudian menjualnya
kepada orang India.
Sebelum menikah, ayah saya juga
yakin, ibu saya mempunyai kekuatan terpendam: lidahnya tajam, begitu ada
makanan masuk ke mulutnya, dia tahu rahasia pembuatannya. Buku masakan ibu saya
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dan dia sering diundang ke mana-mana,
termasuk luar negeri, untuk berbicara mengenai masakan.
Ketika iseng mengambil majalah, saya
terkejut: foto Gertrude terpampang di kulit sebuah majalah, dan di berbagai
halaman di majalah-majalah lain. Dia dinobatkan sebagai pramugari darat terbaik
di Negara-negara Teluk setelah juri dari berbagai negara menyimak bandara di
Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, dan Qatar. Gertrude pemalu,
pemilihan pramugari terbaik dan pemasangan fotonya pasti di luar kemauan dia.
Setelah menyimak fotonya, hati saya
berkata, Gertrude pasti mempunyai rahasia terpendam, dan ada kesamaan antara
Mandred dan Gertude. Menurut Gertude, Manfred keturunan serdadu Jerman yang
suka menyiksa, merampok, dan memerkosa di negara-negara jajahan Hitler selama
PD II. Dia malu menjadi orang Jerman, tapi kadang-kadang harus kembali ke
Jerman karena ibunya di Jerman sering sakit.
Begitu turun dari pesawat, Amilia
dan Azanil menemui saya, minta tanda tangan buku-buku saya, buku yang, kata
mereka, menemani mereka dari bandara satu ke bandara lain. Dengan membaca
novel-novel saya, terasa mereka bisa mengamat-amati lika-liku jiwa mereka
sendiri.
Mereka mengajak saya ke ruang tunggu
khusus, dan di sana Gertrude sudah menunggu. Dengan nada bercanda mereka
mengatakan, sebagai pengarang hebat, pasti saya mampu mengangkat gejolak jiwa
Gertrude dalam novel.
Setelah mereka pergi, dengan sangat
hati-hati saya berkata kepada Gertrude mengenai kisah kematian Hitler. Setelah
Hitler yakin kalah, dia dan banyak pengikut setianya bertekad bunuh diri
bersama Hitler. Pada saat itulah, salah satu arsitek holocaust yang
sangat keji dan seharusnya ikut bunuh diri bersama keluarganya melarikan diri.
Gertrude menunduk, lalu berkata:
”Saya tahu siapa dia. Martin Bormann namanya. Darah saya kotor. Saya keturunan
Bormann.”
Pikiran saya melayang ke ibu saya.
***