Semangkuk Perpisahan di Meja Makan

Oleh: Miranda Seftiana
Ibu saya bilang perempuan harus bisa
memasak. Setidaknya satu menu sepanjang hidupnya. Saya merasa tidak setuju,
terlebih ketika hidup sudah nyaris-nyaris mirip di surga urusan lapar dan
makan.
Betul. Semasa kecil, saya sering
didongengi ibu. Katanya hidup di surga itu nyaman sekali, tinggal tunjuk
langsung jadi. Mau anggur akan diantar ke hadapan. Mau minum dan makan juga
demikian. Bukankah sekarang zaman juga sudah begini? Haus dan lapar tinggal
buka ponsel. Hanya perlu satu jari untuk mcmbuatnya ada di depan mata. Lalu,
mengapa harus susah payah memasak segala?
Bukan. Bukan saya tidak pernah
memasak sama sekali. Saya pernah merebus mi instan, menggoreng telur, atau
beberapa hal lain untuk bertahan hidup. Lebih-lebih ketika masih mahasiswa
dulu. Tapi ini berbeda. Memasak yang dimaksud ibu saya bukan sekadar bisa,
melainkan memang lihai sebab akan memengaruhi rasa.
Sekali lidah harus langsung enak
terasa sehingga sampai sajian tandas di piring kenangan baiklah yang terbawa.
Maka, demi memenuhi angan-angan punya anak perempuan yang bisa menyajikan
penganan enak itu, ibu kemudian mendesak saya datang ke rumahnya.
“Ambil libur dua hari apa tidak bisa
sama sekali?” desaknya di ujung telepon.
Saya menjepit ponsel di antara
kepala dan bahu sementara sepasang tangan masih berusaha melepaskan sarung
karet berwarna pucat. Saya memang baru keluar dari ruang operasi ketika ibu
menelepon lagi untuk kesekian kali.
“Susah, Ibu. Saya punya jadwal bedah
sesar setidaknya sampai akhir tahun ini. Apalagi menjelang hari raya, selain
musim hujan, juga musim orang melahirkan.”
Saya dapat mendengar embusan napas
ibu di sana. Suaranya terlalu kentara untuk ruang operasi yang hening dan sepi.
“Apa yang bisa memastikan nyawa anak
manusia sampai dengan baik ke dunia hanya kamu?” sindir Ibu terkesan tajam.
“Ya tidak,” jawab saya sembari
membuka penutup sampah dan melempar sarung tangan karet itu ke dalamnya.
“Berapa dokter kandungan di rumah
sakitmu?”
“Tiga.”
“Kalau begitu tukar jaga kan bisa,
kecuali memang kamu tidak menginginkannya!” sentak Ibu sebelum mengakhiri
panggilan.
Saya mengusap wajah dengan sebelah
tangan. Tidak mengerti dengan sikap ibu barusan. Seolah-olah jika saya tidak
bisa memasak, maka akan berbuah kiamat. Padahal, suami saya saja mengerti. Kami
sudah sering memesan makanan yang diinginkan dari berbagai penyedia layanan
katering rumahan.
Dari yang enak sampai yang sehat.
Dari yang dikelola ibu rumah tangga sampai ahli gizi juga ada. Anak-anak juga
tidak jauh berbeda. Pagi terbiasa sarapan roti atau sereal dengan susu. Siang
makan katering sekolah, malam bisa pesan dari aplikasi ponsel. Begitu mudah
hidup sekarang, mengapa harus kembali mengakrabi wajan dan api?
***
Setelah berdiskusi dengan suami dan
membujuk rekan bertukar jaga, di sinilah saya sekarang, rumah ibu yang rindang.
Halaman rumahnya dihiasi hamparan rumput dengan dinding dirambati bunga putih
berdaun lebar. Ibu masih senang selera lama. Tanamannya adalah bugenvil aneka
warna, telinga gajah, dan lidah mertua.
Begitu membuka pintu, ia segera
memeluk dengan erat.
“Saya hanya bisa sampai besok di
sini.”
“Tidak bisa diperpanjang?”
Saya menggeleng. Ibu mendesah. Andai
ibu tahu untuk dua hari ini saja saya harus dinas dari pagi bertemu pagi.
Merapel jadwal hingga membuat lutut rasanya sulit berdiri.
“Ya sudah, kau istirahat dulu. Esok
subuh kita belanja bahan membuat gangan ke pasar.”
***
Lantai dapur mendadak penuh oleh
jagung, ubi kayu, kacang panjang, waluh, aneka bumbu, dan umbut kelapa. Bahan
terakhir ini yang paling mahal di antara lainnya. Mungkin karena demi
mendapatkannya harus menumbangkan sebatang kepala. Merelakan mayang tak berkembang
menjadi puluhan buah.
Sementara ibu mempersiapkan sayuran,
saya dimintanya mengolah bumbu. Namun, belum apa-apa sudah terdengar suaranya
menyela.
“Bukan begitu cara memecah kemiri,
nanti hancur!”
“Memang apa bedanya, Bu? Toh,
sama-sama akan dihaluskan juga.” Saya menyanggah. Ibu menggeleng.
“Kau tahu setiap manusia ini
akhirnya akan mati dan hancur dalam tanah kan?”
Saya mengangguk lantas berucap,
“Lalu, apa hubungannya dengan cara memecah kemiri?”
“Kalau sudah tahu akan mati dan
hancur, apa sembarangan juga perlakuanmu saat mengeluarkan bayi dari perut
ibunya?”
Saya diam. Tanpa menyanggah saya
saksikan ibu memecah kemiri. Gerakannya hati-hati sekali. Persis seperti
menolong bayi memecah gelap rahim menuju bumi. Mula-mula ibu menjepit kemiri
dengan telunjuk dan jempol, lalu ulekan ia ketukkan sehingga terdengar suara
kulit keras yang rekah. Ibu kemudian melebarkan rekahan dengan ujung pisau
hingga terpisah.
Hasilnya sebiji kemiri yang utuh dan
bersih. Saya menerimanya dari tangan ibu dengan takjub. Bagai sekolah lagi,
saya dituntun melalui satu per satu proses memasak sayur ini. Proses mengolah
bumbu menjadi terpenting menurut ibu, terlihat dari caranya menerangkan satu
demi satu.
“Kalau membuat gangan bersantan,
bawang merahnya mesti lebih banyak,” beri tahu Ibu seusai merajang bawang di
atas cobek langsung.
“Kenapa begitu?”
“Entahlah. Nenekmu yang mengajari
Ibu. Mungkin supaya lebih gurih.”
Saya tersenyum kecil. Sebuah
penjelasan asal ada. Berbeda semasa kuliah dulu. Segalanya dituntut sumber,
dikutip dari penelitian mana, juga tahunnya berapa. Tidak terkecuali urusan
bawang-bawangan. Seperti yang pernah tidak sengaja saya baca saat mencari
sumber referensi tentang antibiotik alami. Konon bawang merah dan bawang putih
bisa digunakan sebagai antibiotik, antiperadangan, bahkan melawan kanker.
Itu sebabnya dulu saya sempat
mengira urusan domestik rumah tangga tidak lebih sulit daripada mengeluarkan
diri dengan kepala tegak dari fakultas kedokteran. Tidak lebih sulit dari
berjuang lulus dari semua ujian dengan nilai memuaskan. Karena dulu teman-teman
saya sering berkata ingin nikah saja jika diterpa ujian macam-macam ditambah
tugas beragam. Nyatanya tidak sepenuhnya betul juga. Banyak hal yang saya tak
tahu, termasuk urusan bumbu.
“Haluskanlah,” ujar Ibu setelah
selesai menaruh dan merajang bawang, kunyit, jahe, kencur. lengkuas, juga
lainnya di cobek. “Setelah itu kau tumis bumbunya dengan sedikit minyak dan api
kecil.”
Ibu kemudian beranjak menuju panci.
Ia tampak mengaduk sebentar, mengangkat bergantian potongan ubi kayu, waluh,
jagung. Setelah dipastikan agak lunak, ibu kemudian memasukkan potongan kacang
panjang. Saya sendiri baru saja selesai mengulek bumbu dan bersiap menumisnya
di tungku sebelah kiri ibu.
“Kalau sayurnya sudah lunak. kau
masukkan dulu santan encer.”
Saya memperhatikan instruksi ibu
dengan saksama. Memberi catatan kecil di buku yang saya bawa. Sekarang tulisan
saya lebih parah dari cakar ayam. Ibu banyak memberi instruksi dan cepat
sekali. Tidak akan ada salinan materi dari file presentasi. Semua mesti disimak
dan dicatat bersamaan.
Setelah letupan pertama, ibu
kemudian memasukkan potongan garih, ikan gabus asin yang biasa dijadikan lauk
makan. Disusul bumbu yang telah saya tumis tadi.
“Kau mesti tahu, Hen, perempuan itu seperti
sekotak bumbu dapur. Dia yang menentukan seperti apa rasa sajian, rasa
kehidupan. Manis, asin, asam, pedas. Kalau dia pandai menakar, setiap rasa akan
seimbang, hasilnya gurih dan terkenang,” ujar Ibu sembari menambahkan gula dan
garam.
Aku kemudian dimintanya mengaduk dan
menambahkan santan kental. Perlahan- lahan gangan berubah warna dari yang
kuning pekat menjadi sedikit lebih terang. Menjelang api dimatikan, ibu menabur
rajangan cabai merah besar.
“Ambil mangkuk di rak. Hen.”
***
“Ibu menanak beras usang ya?” Saya
mengernyitkan dahi begitu menyendok nasi. Beras usang itu beras lama. Nasinya
lebih pera.
“Iya,” jawabnya singkat.
“Kok yang usang, Bu? Kita kan tidak
sedang hajatan.”
“Kau tahu mengapa orang hajatan
pantang memakai beras baru?”
“Karena cenderung lebih lembek.
Kalau dimasak jadinya sedikit, bisa-bisa tidak mencukupi jamuan tamu yang
datang.”
“Begitulah hakikat orang yang lebih
tua. Dia mesti seperti beras usang, mencukupi banyak orang. Ibu berharap kau
juga bisa begitu. Kalau Ibu sudah tidak ada, kaulah yang tertua di keluarga
kita, cukupilah siapa-siapa yang perlu dibantu.”
“Bu,” rajuk saya lirih. Sejak Bapak
wafat, percakapan tentang kematian memang membuat saya tak nyaman. “Bicara apa
Ibu ini. Ibu masih sehat, pasti panjang umur.”
Ibu mengulas senyum tipis. “Nak,
manusia itu seperti sayur dalam semangkuk gangan umbut. Usia yang paling tua
serupa ubi kayu, keras, hambar. Usia sepertimu mirip dengan potongan waluh.
Tidak terlalu keras dengan sedikit rasa manis. Paling muda ya tidak ubahnya
umbut. Lembut dan manis. Semua sama akan lunak juga setelah dimasak. tidak
peduli ia yang paling keras atau lembut. Kita pun sama, akan wafat juga. Tidak
peduli sudah baya atau masih muda.”
Melihat raut wajah putrinya yang
berubah muram, lekas-lekas ibu menyendokkan gangan ke piring saya seraya
berujar, “Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Mari kita makan.”
***
Selepas Subuh saya berniat pamit
pulang pada Ibu. Libur telah usai dan saya harus kembali ke rumah sakit segera.
Satu kali ketuk, ibu tidak menyahut. Juga ketukan-ketukan berikutnya. Mungkin
ibu tertidur selepas berzikir pikir saya.
Namun, perkiraan saya meleset saat
mendapati ibu lunglai menyandar di pintu lemari. Tubuhnya masih terbalut mukena
dengan tasbih di tangan. Lekas-lekas saya raba pergelangan tangan dan lehernya.
Nihil, ibu telah tiada sebelum saya sempat berpamitan padanya.
Suami dan anak-anak saya menyusul
pagi harinya. Pengeras suara di masjid lantang mengabarkan kepergian ibu pada
orang-orang. Sanak saudara dan handai taulan kami berdatangan. Proses pemakaman
dipersiapkan. Tidak terkecuali sajian pada prosesi turun tanah; hari pertama
kematian dimulai sejak jenazah turun dari rumah dan dibawa menuju liang lahat.
“Kau yakin tidak mau pesan jamuan
dari katering saja?” Suami saya memandang ragu.
Saya melepas napas. “Saya hanya mau
Ibu bahagia karena putrinya bisa memasak. Walaupun cuma satu, itu juga sajian
untuk kematiannya.” ***