Musyawarah Ngengat

Oleh: Geger Riyanto
Banyak hal yang tak diketahui
manusia dari kami.Yang terutama, manusia tak tahu bahwa kami mewariskan ingatan
ke anak-anak kami.Bukan sekadar memaktubkan ingatan badani tentang bagaimana
menggunakan senjatasenjata yang tersedia di tubuh kami,tapi adalah ingatan
tentang pengalaman hidup kami.
Ingatan akan betapa kami membenci
manusia. Hanya karena anak-anak kami menggerogoti setitik–dua titik kain yang
dikenakannya—karena kodratnya untuk bertahan hidup—mereka membantai jutaan dari
kami dengan cara-cara yang mengenaskan.
Pernah aku lolos dari maut hanya
untuk melihat bagaimana kawan-kawanku terbujur kaku dengan wajah yang membiru.
Maut yang berwujud gumpalan awan—yang anehnya terbang jauh lebih rendah dari
ketinggian langit itu—ternyata berasal dari tongkat ajaib yang dipegang seorang
manusia.
Namun, di antara kawan-kawanku yang
berhamburan bagai dedaunan yang akan menyerah kepada terpaan angin,
kekasihku—kekasih pertamaku itu—mengangkat kepalanya melawan kematian.Kemudian,
sayapnya berangsur meninggi dan bergerakgerak, berusaha mengepak.
Jikalau kau ada di situ,
menyandarkan daun telingamu ke keheningan yang mengikuti rombongan kematian
itu, kau akan mendengar jantungku kembali berderap segiat kepak sayap di
saatsaat aku menjalin kasih dengannya: aku gembira. Hatiku yang remuk kembali
utuh.
Namun, saat ia hendak mendongak,
sepertinya untuk membalas tatapanku— dan tentunya menyempurnakan
kebahagiaanku—seorang manusia merenggutnya. Dan dengan wajah yang sediam batang
pohon, ia merobek kekasihku seperti merobek daun, seperti merobek jantungku di
saat yang sama.
Lalu dilepasnya kekasihku ke
rengkuhan angin yang menerpa. Kekasihku, dalam kepingankepingan, hanyut ke
samudra kematian untuk selamanya. Seandainya aku bisa memilih, aku tak ingin
mewariskan ingatan getir ini kepada anak-anakku.Namun,aku tak bisa menentang
ketetapan Sang Pemberi, entah apa maksudnya,namun kurasa baik.
Lagi pula, ingatan ini akan mengajar
anak-anakku kewaspadaan akan betapa bengisnya manusia. Maka, suatu hari kami
semua bermusyawarah, merundingkan bagaimana caranya membalas manusia, mamalia
pemegang gelar pembantai terbesar selama abad-abad yang berjalan.
”Apakah kita harus menyerang mereka
secara bergerombol seperti yang dilakukan para belalang dahulu, waktu
diperintahkan oleh Tuhan untuk menelanjangi kebobrokan Firaun?” usul salah
seekor saudara kami. ”Tidak, saudaraku. Senjata yang manusia gunakan sudah
berbeda dengan zaman Firaun.
Seandainya pun belalang-belalang itu
menyerbu Firaun hari ini, mereka akan segera dilumat dengan awan maut manusia,”
jawab tetua kami. ”Tapi,bukankah ada Tuhan?”
”Percuma saja tanpa manusia nabi.
Sebab,bila Tuhan datang sendiri tanpa melalui perantaraan manusia nabi, dunia
yang terbatas ini dapat luluh lantak dalam sekejap.”
”Lantas,mengapa tak ada ngengat
nabi,tetua?” ”Sudahlah.
Sudah sepanjang sejarah, bangsa
ngengat merenungkan pertanyaan itu.Tentu musyawarah yang bagai setitik embun
dalam sejarah bangsa ngengat ini tak muat untuk merenungkan pertanyaan
tersebut.” ”Baik, tetua. Lagi pula,kita sedang mau bertindak,bukan mengeluh.”
Tiba-tiba aku ingat, suatu waktu aku
pernah melihat seorang manusia dewasa meronta-ronta, meraungraung selayaknya
manusia anak, dan menampar manusia-manusia dewasa lainnya yang, entah mengapa,
tertunduk diam di hadapannya. Lantas, dengan tangannya yang gemulai ia
menunjuk-nunjuk ke lubang di bahu baju yang dipakaikan pada sesosok patung
manusia.
Mengapa sebegitu gegarnya?
Kutelusuri dengan waspada pakaian itu,namun tak kutemukan sesuatu yang berbeda
kecuali di bagian leher pakaian itu tertempel tulisan ”Guess”. Mengapa manusia
dapat kembali menjadi kera hanya karena itu? Sama sekali aku tak mampu
mencernanya.
Namun, menyenangkan sekali melihat
manusia derajatnya merosot jauh, bahkan di bawah bangsa lintah yang berbangga
walau menyeret alat reproduksinya di atas lumpur. Saling menyakiti satu sama
lain hanya karena sepotong benda tak bernyawa— yang bahkan tak bisa meruang
dalam perut yang lapar.
Dan menurut ingatan nenek moyangku,
hanya karena itu pun mereka tega saling mencincang dan mengeluarkan isi perut
sesamanya. Kalau begini, nampaknya kami para ngengat pun bisa memicu perang
dunia manusia ketiga. ”Kurasa aku tahu apa yang bisa kita lakukan,
saudara-saudariku,” ujarku dengan tenang.
Akhirnya kami semua menetapkan bahwa
siapa pun yang dapat mendaratkan telurnya di pakaian manusia yang berbubuh
tulisan ”Guess”, ”Gucci”, ”Etienne Aigner”,”Marks & Spencer”, ”Boss”,
”Giorgio Armani”, dan lain-lain yang sejenisnya, akan kami angkat sebagai
seekor pahlawan dalam ingatan kami.
Itu adalah penghargaan tertinggi
yang bisa diterima seekor ngengat. Kata manusia, hidup kami sangat
Shakespearian karena harus memilih antara bercinta atau bertahan hidup. Benar
bahwa lelaki kami mati setelah bercinta dan wanita kami meninggalkan hidup setelah
mendaratkan telur.
Tapi mereka,manusia, sungguh tolol
dalam mengartikannya.Apakah yang ada di benak mereka hanya bercinta? Kendati
pun tak bercinta, darah dan daging kami hanya seusia sekali pergantian
musim.Namun, dalam almari kelabu kepala anak-anak kami— manusia menyebutnya
otak, tak berselera sekali?—kami menjadi abadi.
Dan dia, yang diangkat sebagai
pahlawan dalam ingatan kami,akan terus hidup dalam palungan ingatan semua
ngengat sepanjang jutaan tahun yang melintang.Kendati tongkat kekuasaan bumi
telah berpindah-pindah tangan.
***
Ingatan yang diwariskan oleh seluruh
nenek moyang kami menyatakan diri secara sekaligus dalam benak kami seperti
pasar. Dalam lorong ingatan yang berjejalan itu, kami menyaksikan masa-masa
surga bagi para ngengat yang datang setelah dinosaurus tiba-tiba punah dari
muka bumi.
Dunia benar-benar menjadi milik para
ngengat seutuhnya. Betapa indahnya kehidupan saat itu. Namun,masa-masa surga
itu dalam sekejap pula musnah karena mamalia tiba-tiba muncul dan tak lama
kemudian menjadi penguasa dunia. Dalam sekejap berikutnya, ingatan kami
tersambung ke ingatan terakhir yang diwariskan kepada kami: bagaimana ibu kami
meninggal.
Ia dilumat dengan sapu oleh mamalia
yang menjadi penguasa dunia hari ini. Untunglah, sekilas, sebelum dipukul oleh
makhluk yang lebih dingin dari zaman es itu,ibu berhasil mendaratkan kami
sebagai telur-telur di atas gaun yang membungkus rapat tubuh patung manusia dan
bertuliskan ”Marks & Spencer” di lehernya.
Saat itu kami langsung tahu bahwa
ibu kami menjadi pahlawan bagi para ngengat. Ingatan-ingatan nenek moyang kami
terus berjejalan, membuat perasaan kami terbuai di satu waktu, namun terbanting
hingga remuk di detik berikut yang menjalin ingatan getir.Kami ingin bisa
mengendalikannya, tapi tak bisa, sebab kami sendiri tak mempunyai ingatan.
Di antara litani ingatan nenek
moyang yang riuh menyesaki benak kami, kami tak memiliki ingatan yang berasal
dari pengalaman kami sendiri. Sejak kami menetas dari telur, kami tak menyapa
apa pun, kecuali kegelapan. Tapi, di sekeliling kami tersedia banyak sekali
makanan dan semuanya melelehkan wewangian dunia dalam mulut kami: wol, katun,
sutra, kasmir, bahkan bulu beruang.
Maka, kerja kami hanyalah makan atau
mendengarkan suara kami sendiri mengunyah dan mencerna, memecah kesunyian
sepanjang hayat ini. Kesenangan kecil itu harus berakhir, sebab mulut kami
dengan sendirinya tiba-tiba memuncratkan berhelai- helai serabut yang memintal
tubuh kami,lalu membungkusnya rapatrapat.
Rupanya kami masuk ke masa
kepompong, masa yang membunuh kami dengan kebosanan. Dan kalau bukan kebosanan
yang menambatkan belenggunya di pikiran kami,tentu tak lain adalah ingatan
nenek moyang yang merobek-robek hati kami, namun kemudian menjahitnya kembali,
namun lantas merobeknya lagi.
Namun, akan tiba saatnya untuk
mengakhiri semua ini. Saat di mana sayap kami tumbuh,membelah udara hening yang
sedari awal menyelimuti punggung kami.Saat bagi kami untuk melawan gaya tarik
bumi yang menindih kami dalam ketidakberdayaan, dan kemudian terbang membelah
kesunyian. Menerabas kegelapan ini. Merayakan keabadian ibu kami bersama
saudara-saudari ngengat yang menanti kami di luar kegelapan ini. ***
Seandainya usia ngengat-ngengat itu
mencapai satu tahun, barulah mereka akan menyapa cahaya, kebisingan, dan dunia
luar—barulah mereka akan mengalami hidupnya sendiri sebagaimana yang mereka
impi-impikan sepanjang hayat. Namun tidak. Ngengat terakhir mati pada hari
keseratus sepuluh.
Menyisakan sekitar dua ratus empat
puluhan hari lagi sebelum Natal selanjutnya, sebelum lemari kayu oak yang kokoh
dan bergaya khas Yunani itu dibuka untuk menyimpan gaun-gaun baru bertuliskan
”Gucci”dan ”Giorgio Armani”. Dan cahaya yang akhirnya menyelisik masuk ke
lemari yang rapat itu, menyapa ngengat-ngengat yang sudah berhamburan bagaikan
daun.
Menyapa busana-busana berkelas yang
sudah berlubang dan compangcamping tak karuan bagaikan medan perang. Menyapa
kesunyian yang sejenak pernah diisi oleh kepak sayap para ngengat yang bernafsu
membelah kegelapan, tapi tak bisa: apa daya makhluk setipis daun dan tiga senti
melawan kayu oak raksasa nan kokoh?
Namun, apa yang direncanakan dalam
musyawarah ngengat tak pernah berhasil—kendati martir telah berguguran.Sebab
sang nyonya besar melemparkan gaun barunya ke dalam almarinya dan langsung
menutupnya, tanpa sepintas pun menoleh ke gaungaun lamanya yang sudah dibabat
oleh sepasukan ngengat muda yang semusim lalu menetas di atasnya.
Lantas,ia melanjutkan hidupnya yang
ganjil, tanpa kekurangan sesuatu apa pun. Para ngengat yang bertugas
mematamatai istana sang nyonya besar kian tidak mampu memahami perilaku makhluk
bernama manusia ini. Mereka pun berpikir, siapa pula ngengat yang mampu.
Maka, peristiwa ini sepatutnya
menjadi persoalan baru untuk dipecahkan dalam musyawarah besar ngengat
selanjutnya. Dan mungkin ngengat yang dapat benar-benar memecahkannya kali ini
patut diganjar Nobel Perdamaian Ngengat. ***