Reinkarnasi Ibu

Oleh: Dian Hartati
Akhirnya mobil itu meninggalkan
lapangan parkir yang basah. Hujan sedari pagi membasahi jalan-jalan kota yang
dipenuhi guguran daun. Di dalam mobil terlihat seorang perempuan menangis
dengan hening. Tak ada yang ditatapnya selain jalanan yang sepi. Tangannya
sibuk di belakang kemudi. Sesekali dia mengusap air mata. Tak ada yang abadi,
pikirnya. Tak ada yang abadi selain perubahan.
Dia ingat ketika tiba-tiba saja
ayahnya mengabarkan kematian seorang ibu. Kenangan yang berlompatan muncul di
tidur malamnya. Ibu yang disayangi harus pergi tanpa dimengerti. Perempuan itu
bertambah dewasa dan selalu riuh dengan keseharian. Akhirnya dia berusaha
melupakan siapa ibunya, bagaimana rupa wajah, dan berusaha melupakan siapa yang
melahirkannya. Waktu telah mengubah dia dengan segala fisiknya.
Tapi, pagi ini perempuan muda itu
menemukan kembali bayangan ibu kandungnya. Di tempat dia bekerja: sebagai
tukang sapu. Kenyataan tak diterima perempuan itu, ibu yang dia lupakan hadir
kembali dengan status yang lebih rendah.
Kelebat waktu yang berloncatan
menimbulkan lelatu pada bayangan masa lalu. Ditemuinya tukang sapu yang sedang
sibuk mengelap kaca-kaca jendela di dalam ruangan ber-AC itu, ditatapnya
lekat-lekat. Mulutnya tiba-tiba saja kaku tak dapat berucap apa pun. Kata-kata
yang sudah diaturnya tiba-tiba saja tertahan di pita suara. Perhatiannya tak
lepas dari wajah yang mulai memunculkan keriput-keriput. Ira tak mau kalah
seperti kemarin yang langsung pulang untuk menghilangkan ketidakpercayaan.
Jalinan masa lalu membawa Ira pada ibu di tahun 80-an. Pada penderitaan sebuah
hati yang harus pergi bersama waktu untuk berubah.
***
Tapi mencapai reinkarnasi itu
membutuhkan waktu ratusan tahun di alam sana. Perputaran lahir dan mati bukan
waktu yang sekejap. Ada proses yang rumit, dan aku sendiri tak mengerti. Tak
semudah membalikkan keadaan. Sekarang ini baru beberapa tahun berlalu. Dia
muncul dengan keadaan yang begitu istimewa di kantor ini. Tukang sapu! Sosok
yang aneh muncul setelah proses yang rumit. Aku pikir akan hadir seorang sosok
yang lebih baik. Ternyata…. Tak kubayangkan dia harus menjadi ibu kedua dalam
hidupku. Ibu yang tak pernah aku sangka dan pernah aku lupa. Kubayangkan ibu
baruku seorang tathagata, tapi bukan. Dia hanya seorang yang mungkin kusesali
kehadirannya.
Begitu saja lelatu itu menyulut
kerinduan akan sosok ibu yang tak pernah aku ungkit selama ini. Di mana duniaku
bersatu bersama keriuhan kota yang menjelma menjadi kesibukan-kesibukan. Ah…
kusingkirkan sosok itu, tak kubiarkan pusat perhatian beralih pada perempuan
yang belum kukenal. Entah siapa dia, dan dari mana datangnya aku tidak tahu.
Kembali aku sibuk, membiarkan perempuan itu bekerja sampai meninggalkan ruang
kerjaku.
Pada titik-titik kejenuhanku, muncul
keinginan untuk mengenang masa lalu. Kembali ke desa sejenak, mengunjungi
keluarga ayah di sana. Tapi kuhentikan keanehan ini, mungkin ini timbul karena
hadirnya perempuan itu. Tak aneh jika itu yang terjadi, karena selalu
saja tanpa diperintah tukang sapu itu selalu mencuri perhatianku. Seolah tahu
bahwa aku pernah memiliki seorang ibu yang mirip dengan dia.
Kuangkat telepon dan terdengar
seorang yang berusaha meyakinkan aku bahwa tukang sapu itu ibuku yang kembali
setelah bereinkarnasi. Kutanyakan siapa penelepon itu tapi seseorang di sana
tak menjawab dan menutup sambungan telepon. Aku tak memedulikan semua itu, aku
kembali sibuk dengan pekerjaanku.
Satu sore ketika hendak meninggalkan
kantor, aku dan tukang sapu itu berada dalam satu lift. Turun lalu menuju luar
gedung. Aku tunjukkan sikap sebagai pimpinan tapi apa yang terjadi tukang sapu
itu sengaja mendendangkan sebuah lagu. Lagu yang tak asing lagi bagiku, lagu
yang sering mengantarkan aku ke dunia mimpi. Ya, lagu yang aku hafal bahwa itu
adalah lagu yang Ibu buat untukku karena aku sulit tidur ketika kecil.
Setelah melihat gugusan bintang dan
sabit malam, aku segera mendorong Ibu ke kamarku untuk menunggui aku tidur.
Karena juga tak terlelap, Ibu menyanyikan lagu pengantar tidur untukku. Lagu
yang menceritakan hujan, angkasa, bidadari, dan istana langit. Mendengar lagu
Ibu, aku semakin tak dapat tidur. Aku meminta Ibu bercerita tentang hujan,
angkasa, bidadari, dan istana langit. Aku ingin ke sana ke istana langit,
tempat kakek dan nenek yang tak pernah aku jumpai dan selalu mendoakan aku yang
ada di bumi. Tapi Ibu berkata bahwa yang akan bersama kakek adalah Ibu terlebih
dahulu dan kemudian Ayah. Aku hanya merengut tanpa mengerti apa yang Ibu maksud
dengan kata-katanya. Aku pun terlelap setelah lelah mendengar dongeng Ibu.
Lagu yang saat ini digumamkan oleh
tukang sapu itu adalah lagu pengantar tidurku. Aku tak mengerti mengapa dia
tahu tentang lagu itu. Aku tak jadi bersikap pongah terhadap tukang sapu itu.
Tapi aku tak mau ia masuk ke dalam kehidupanku sebagai ibu yang sekian lama aku
tunggu kehadirannya.
Memang setelah kepergian Ibu,
beberapa tahun kemudian Ayah turut menyusulnya. Aku dititipkan pada salah satu
keluarga di Jakarta, sampai akhirnya Jakarta menjadi tempat hidupku sampai
kini. Kejadian yang Ibu pesankan lewat lagu pengantar tidur itu baru saja aku
sadari setelah keberadaan tukang sapu dalam lift tadi sore.
Kembali aku ke kantor pagi hari. Aku
temukan surat tak bernama.
Ira, aku ibumu yang telah kembali
Mengapa tak kau akui aku sebagai ibumu
Ira, Ibu tahu kau selalu rindu akan sebuah kasih sayang
Bersama surat tak bernama itu, aku
temukan setangkai bunga sedap malam. Sedap malam yang masih kuncup hijau. Sedap
malam yang kemudian aku hirup wanginya dalam-dalam. Belum begitu harum, tapi
aku suka sedap malam yang tak mekar dan yang mengetahui ini hanyalah Ibu. Aku
cari tukang sapu itu, tapi aku mendengar dia tak masuk kerja hari ini dan tak
ada yang melihatnya sejak pagi. Jadi, siapa yang membawa bingkisan masa lalu
bersama surat tak bernama itu?
Telepon berdering dan aku mendengar
seseorang berkata. Aku kenal suara itu, suara Ibu tengah menyuapi aku waktu
pulang bermain.
Ira kau suka ini, Sayang. Bacem tempe asam manis, kau suka, bukan? Ayo makan
yang banyak, nanti main lagi. Cepatlah Ira, Ibu sedang menunggu kedatangan Ayah
siang ini.
Siapa? Aku tanya dan telepon
langsung diputus. Setelah itu aku tak pernah menjumpai tukang sapu itu. Dia
pergi seperti lelatu yang hilang terkena oksigen. Aku pastikan dia bukan ibuku,
tapi apa yang dikatakan hatiku bukan itu. Apalagi aku mulai merindukan
kehadiran tukang sapu itu.
***
Ibu
tahu kau akan merindukan kasih sayang, Ira
Kau
tak boleh merendahkan aku sebagai tukang sapu
Ira,
aku ibumu tapi kau tak mau mengerti
Ibu mau kau menghargai waktu, tukang
sapu, dan perubahan
Secarik kertas kembali aku temukan
di meja kerja. Bersama kuncup sedap malam yang cantik. Kini aku tahu bahwa
tukang sapu itu ibuku, tapi semuanya terlambat.
“Ibu,
aku belum siap engkau bereinkarnasi lagi!”
***
Sebuah
mobil mewah meninggalkan lapangan parkir yang basah. Di dalamnya seorang
perempuan menangis memanggil sebuah nama.
“Ira,
Ibu takkan bereinkarnasi lagi!”***