Ziarah

Oleh: Dewi Kharisma Michellia
21 APRIL 1978.
Begitu tertera pada dua kayu nisan
yang tertancap di puncak bukit pagi itu. Dengan cuaca yang sama, dua puluh
tahun lalu, aku ingat betul, aku hampir tak mengenali separuh orang yang
berdiri mengelilingiku di bawah payung-payung gelap mereka.
Melintasi sepanjang jalan setapak
kembali ke rumah, aku ingat bagaimana aku dibawa pergi oleh mobil-mobil panjang
besar, oleh orang-orang yang belum genap sehari kukenal. Tengah malam di waktu
sebelumnya, keluarga bibi yang tinggal di sebelah rumah—satu-satunya tetangga
yang ketika itu dekat dengan keluargaku—mengantarkan mereka kepadaku. Masih
separuh terjaga di sebelah peti mati kedua orang tuaku, aku mendengar
percakapan mereka, namun tidak kuteruskan.
Mereka menghampiriku dan
memperkenalkan diri sebagai kerabat dari pihak ayah, tempatku berlindung
setelah segala prosesi pemakaman orangtuaku berakhir. Saat itu aku sungguh
takut.
Masih kuingat betul apa yang
menyebabkan kedua orangtuaku berpulang. Saat mendapat kabar, sepulang dari
berburu kelinci bersama teman-teman sebaya, aku berlari menyusuri jalan setapak
berkilo-kilometer jauhnya, hanya untuk memastikan aku masih bisa menyelamatkan
kedua orangtuaku.
Saat aku datang, api telah melahap
gudang tempat ayahku biasa bekerja. Aku berkeliling ke dalam rumah, mencari
ibu. Kudapati, para tetanggaku berusaha memadamkan api dengan baskom-baskom
kayu berisi air. Beberapa dari mereka bilang ibuku juga terperangkap di dalam
rumah.
Segala upayaku untuk dapat mencapai
gudang digagalkan. Mereka berbondong-bondong memelukku dan menghentikan niatku
menerobos api. Mereka menghentikan segala teriakanku dan mendekapku seerat
mungkin.
Api akhirnya padam berjam-jam
kemudian, dan yang kudapati sesudahnya hanyalah tengkorak ayah dan ibuku dengan
sedikit sisa daging dan kulit yang terbakar, mereka terikat saling memunggungi
pada tiang besi yang sebelumnya tak pernah kulihat. Satu yang kutahu. Pastilah
Tuhan tidak dengan sengaja meletakkan besi di sana dan memanggang kedua orang
tuaku di gudang itu. Pasti ada orang lain yang melakukannya.
Kurasa pekerjaan ayahkulah yang
menyebabkan hal itu terjadi. Hingga kini, aku tak mengerti apa yang dilakukan
ayah di ruang kerjanya, padahal dulu ibu pernah bilang suatu saat aku akan
tahu.
Hari ini, memasuki ruang tengah,
sepenjuru rumah kayu itu telah dipenuhi tumbuhan merambat. Padahal dulu di sana
aku pernah duduk, menantang dengan dada membusung, berhadapan dengan
orang-orang yang tak kukenali siapa.
“Kami akan mengajakmu kembali.”
Masih kuingat seorang pria jangkung berkulit bersih dengan kacamata bergagang
bulat duduk di tengah-tengah, berhadap-hadapan denganku. “Di sana kakek dan
nenekmu menunggu. Keluarga besar akan menghidupimu.”
Aku tak pernah tahu kakek-nenekku
masih hidup. Ayah dan ibu tidak pernah menceritakan apa pun tentang masa lalu
mereka, selama belasan tahun di awal hidupku, aku menerima kenyataan itu begitu
saja; seolah orangtuaku benar terlahir dari batu.
“Saya adik ayahmu.”
“Saya tidak percaya.”
“Kami tahu kamu perlu bukti. Ayahmu
dan istrinya mengasingkan diri mereka kemari segera setelah ayahmu menamatkan
kuliah di Belanda. Dalam dokumen ini kamu bisa menemukan segala hal
tentangnya.”
Saat itu ia menjetikkan jari dan
beberapa orang pesuruh masuk ke dalam ruangan dengan mengangkat peti-peti besi
di pundak mereka. Semuanya kemudian diletakkan di hadapanku.
Pria itu sedikit memundurkan
badannya dan membukakan gembok yang mengunci peti dengan kunci kecil dari dalam
sakunya, menunjukkan semua dokumen tentang kehidupan ayahku.
Aku terkesima. Ayahku bukan orang
biasa.
Aku membaca beberapa potongan
kliping koran yang bercampur dengan dokumen pribadi ayahku, aku membaca
pemberitaan mengenai orang tuaku. Tentang hilangnya dua tokoh penting dalam
sejarah kemerdekaan. Mereka. Mereka mengasingkan diri ke tengah hutan segera
setelah peristiwa gestapo terjadi. Dua tahun setelahnya, aku lahir. Bahkan
ketika itu aku bisa mengerti, mulai bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya
dikerjakan ayah? Ibu seperti apa yang melahirkanku dari rahimnya? Mereka
melakukan…. Hal-hal yang, aku tak tahu apa dasarnya.
Segalanya seolah benar-benar menjadi
mimpi ketika pria itu berkata, “Kami rasa kamu tidak akan punya pilihan lain,
selain ikut bersama kami.”
***
Mulailah aku didandani
selayaknya perempuan pada umumnya. Gaun berpita, sepatu balet warna hitam, dan
kalung mutiara. Rambutku yang biasanya kugelung lantas disisir dan diikat pita.
Aku dibedaki dan bibirku diberi gincu, pipiku merona merah akibat sapuan
pewarna pipi, dan alisku dibentuk.
Setiap hari aku mendapatkan materi
tambahan di rumah. Diajari cara memanah, bertata krama, dan ekonomi serta
politik negara. Terkadang, aku juga bermain-main dengan tabung dan botol-botol
berisi zat kimia. Sesuatu yang orang-orang pikir pastilah dapat saja menurun
dari kedua orang tuaku. Baru kutahu, kedua orang tuaku adalah Kimiawan.
Senyatanya, hingga berminggu-minggu setelah mereka memberikan pendidikan itu
padaku, aku tetap tak menunjukkan bakat apa pun.
Selain pendidikan yang diberikan di
rumah, aku tidak lagi bersekolah di HIS, di mana para bumiputera biasa duduk
belajar bersama keturunan Belanda, kali ini aku pergi ke ELS, tempat di mana
peranakan Cina sepertiku, menurut keluargaku—aku tak lagi asing terhadap
mereka, patut pergi menapasi ilmu. Di depan cermin kuamini pernyataan mereka,
kulitku memang kuning langsat dan mataku sipit, baru kusadari setelah aku
tinggal bersama mereka.***