Kelelawar di Atas Kepala Mama

Oleh: Erna Surya
Mama tak pernah marah padaku.
Ia selalu muncul sebagai peri nan cantik. Rambut panjang mama tergerai indah,
itu yang selalu kulihat. Selebihnya, suara lembut yang kudengar bila ia
dekat-dekat denganku. Mama tak pernah meninggalkanku di malam hari. Pernah aku
tersedak ketika tengah makan malam. Ia menepuk-nepuk punggungku seraya berkata,
’’Tak apa-apa.’’ Ah, mama yang baik.
’’Kau sudah besar.’’
’’Belum, Ma.’’
’’Ini tinggimu sudah sebahu Mama.’’
’’Mama yang terlalu pendek.’’
Lalu kami berdekapan. Pelukan Mama
menjadi sesuatu yang menenangkanku. Juga saat sekelompok kelelawar datang
padaku di tengah malam. Aku bangun. Kaget. Keringat dingin mengucur. Aku
bilang, aku takut Ma. Kelelawar itu banyak sekali. Awalnya mereka hanya terbang
di dekat jendela. Aku diam. Lalusatu kelelawar masuk lewat lubang celahudara.
Aku mulai takut. Dan akhirnya semua kelelawar itu terbang di atas kepalaku.
’’Mama!’’ pekikku.
Kelelawar jatuh di atas kepalaku.
Tak hanya satu. Tapi segerombolan. Seekormenutupi mulutku. Lalu mataku. Lalu
telingaku. Hingga seluruh kepalaku terbenam. Mama datang, kelelawar pun pergi.
Wajah mama merah. Baru sekali ini aku melihat Mama seperti itu. Biasanya wajah
Mama putih bersih. Mengapa sekarang merah?
’’Jangan teriak-teriak!’’
’’Aku takut kelelawar.’’
Mama menuju ke jendela, membuka
sebentar, lalu menutupnya kembali.
’’Sudah pergi semua.’’
Aku diam.
Pagi harinya, Mama masih dengan
wajah merah. Aku menunduk, tak berani tanya. Sudahlah, yang penting Mama tak
apa-apa, pikirku. Merah di pipi Mama tak hilang juga. Padahal sudah
berbulan-bulan terlewat. Aku masih melihat semburat merah pipi Mama walau tipis.
Awalnya aku takut. Namum lama-lama terbiasa juga.
Kelelawar dan merah pipi Mama kini
tak asing lagi. Mama lebih sering menemaniku. Sebenarnya, aku tak terlalu butuh
ditemani. Kelelawar tak membuatku takut lagi.
’’Mama yang butuh ditemani,
Sayang,’’ katanya.
Mama jadi sering tidur di bersamaku.
***
PIPI mama semakin memerah bila usai
menelepon. Entah dengan siapa. Setidaknya itu yang kulihat.
Kriiinnggg….
Mama segera beranjak bila mendengar
bunyi telepon. Ia tak jadi menyuapiku. Aku melongo saja saat melihat langkahnya
menghampiri gagang telepon, dan mendengarnya tertawa cekikikan. Aku harus makan
sendiri, tak ingin merepotkan Mama lagi. Maka kubiarkan Mama asyik dengan
teleponnya, dan aku asyik dengan makananku.
’’Apa Papa mau pulang, Ma?’’
’’Masih lama, Sayang,’’
’’Mama tampak senang sekali.’’
’’Ya, memang. Mama sedang bahagia.’’
Lalu pipi Mama memerah lagi. Jujur,
aku suka Mama yang seperti ini. Tak murung lagi. Dulu, Mama lebih sering
terlihat sedih. Pipinya tak semerah ini. Aku sering melihatnya menangis di tepi
kolam. Waktu itu ia duduk di tepi kolam sembari kakinya menjulur masuk ke dalam
air. Aku tak berani mendekat, hanya melihat dari kejauhan saja. Meski jauh, aku
dapat melihat Mama tengah mengusap pipinya, tak merah seperti ini.
Biasanya, pipi merah Mama akan
tampak setelah kepulangan Papa. Satu atau dua hari setelah Papa pergi lagi,
merah pipinya luntur kembali. Papa hanya pulang sesekali saja. Ia masuk
kamarku, mengecup keningku, lalu segera menuju kamarnya. Itu yang sering ia
lakukan. Aku sampai tak hafal bau keringat Papa. Yang aku tahu, perut Papa
gendut dan bulat. Wajahnya lucu. Hanya itu saja. Hanya satu atau dua hari saja
perjumpaanku dengan Papa. Lalu ia pergi lagi.
’’Papa kerja dulu, Sayang.’’
Dan Papa pun pergi lagi sampai
berminggu-minggu.
Namun kini merah pipi Mama tak surut
juga. Padahal sudah berminggu-minggu yang lalu Papa pergi. Aneh.
***
’’Kita harus pergi, Sayang. Ini
darurat.’’
Aku kaget. Pagi masih buta sekali.
Dan aku masih ingin tidur.
’’Mau ziarah ke kota tua, Ma?’’
’’Tidak.’’
Lalu Mama menggandengku, setengah
paksa. Aku menuruti langkahnya. Kami menuruni tangga, menuju mobil, keluar
gerbang, semua serba terburu-buru.
’’Iya sayang, aku akan menyusulmu,’’
Mama bersuara dengan teleponnya.
Mobil dipacu Mama dengan cepat
sekali. Aku sampai takut. Kami melaju di tengah kota yang masih lengang. Mobil
keluar dari perkotaan dan melewati jalanan yang sepi. Aku tak tahu kemana Mama
akan membawaku. Aku berpegangan erat pada jok mobil. Mama menyuruhku duduk di
belakang, dan ia mengemudikan mobil.
Jalanan masih lengang. Ketika aku
tanya hendak ke mana, Mama malah membentakku. Aku mengangis. Lalu Mama
menyuruhku diam. Aku sedikit takut. Mama tak pernah membentakku seperti ini.
Bahkan ketika aku buang air di celana pun, ia tak pernah marah. Namun mengapa
Mama sekarang jadi seperti ini?
Dari kaca, aku melihat wajah Mama.
Cantik dan merah. Namun merahnya bukan seperti yang kemarin. Kini merah padam.
Mama kini lebih terlihat seperti iblis. Menyeramkan.
Mobil berhenti. Aku melihat ke luar.
Mama menyuruhku untuk tetap tinggal di mobil. Ia keluar lalu masuk ke dalam
sebuah rumah kecil. Aku takut. Aku ingin ikut, namun Mama melarang. Aku
menunggu dengan cemas. Mungkin inilah kali pertama aku merasakan kecemasan
dalam hidupku. Mama tak penah meninggalkanku sendirian seperti ini.
Aku kaget ketika pintu mobil dibuka.
Mama duduk di depan. Seorang lelaki dengan tato di lengan kiri tengah duduk di
belakang kemudi. Aku takut. Badanku menggigil. Aku meraih jaket Mama,
menutupkannya di wajahku. Lelaki itu tak pernah kulihat sebelumnya. Sepanjang
hidup, aku hanya mengenal tiga lelaki, Papa, Pak Sopir, dan tukang kebun rumah
kami.
’’Kamu bawa anak ini?’’
’’Iya. Kenapa?’’
’’Dia akan menyusahkan.’’
’’Tapi dia anakku.’’
’’Ah, terserah kau saja. Tapi aku
tak mau dipusingkan dengan anak idiot.’’
’’Jaga mulutmu.’’
Lalu semua diam. Jalanan mulai
lengang. Aku masih diam dengan wajah tertutup jaket. Hanya sesekali aku mencuri
pandang lewat celah jaket yang sengaja kubuka. Mama menutup mata, entah tidur
atau hanya pura-pura tidur. Tiba-tiba jalanan gelap. Aku membelalakkan mata,
jaket kuletakkan, mencari seberkas cahaya. Sekawanan kelelawar menutupi mobil
yang kami tumpangi. Aku semakin takut. Aku sudah terbiasa dengan puluhan ekor
kelelawar. Namun mungkin ini ribuan.
’’Mama!’’ pekikku.
’’Nah kan, anak idiot ini
merepotkanmu.’’
’’Diam, Sayang.’’
’’Mama, aku takut kelelawar.’’
’’Tak ada kelelawar, Sayang.’’
’’Itu,’’ aku menunjuk kepala Mama,
seekor kelelawar besar berada di atasnya.
Aku melihat lelaki itu tersenyum.
Wajahnya seperti kelelawar.
’’Mama, kelelawar itu menarik rambut
Mama.’’
’’Suruh anak itu diam!’’
’’Diamlah, Sayang.’’
’’Mama, aku takut.’’
’’Diaammmmm!’’
Aku menutup wajah rapat-rapat.
Teriakan lelaki itu membuatku takut. Mobil kami melaju semakin kencang. Mama
berteriak-teriak. Aku masih menutup mata. Aku takut dengan kelelawar di atas
kepala Mama. Lelaki itu sepertinya memukul Mama. Aku takut. Mama menangis.
’’Brengsek kamu ternyata….’’
’’Diam!’’
’’Aku mau pulang. Kembalikan
semuanya!’’
Lalu semuanya hening. Mama luka di
bagian kepala. Aku membuka mata dan melihat lelaki itu pergi.
’’Mama, kelelawarnya sudah pergi
semua.’’
Aku menyeka kepala Mama. Darah
menempel di jariku. Lelaki itu tak kembali juga. Aku kasihan dengan Mama. Namun
semua gelap ketika lelaki itu muncul dengan tiba-tiba.
’’Mama.’’
Dan semua benar-benar gelap.
***
’’Untunglah anak ini selamat.’’
’’Iya, syukurlah.’’
Aku membuka mata. Beberapa kelelawar
yang menutup mataku tadi telah pergi.
’’Mama,’’ aku memanggil Mama. Apakah
kelelawar di atas kepalanya telah pergi?
’’Ini ada Papa, Sayang.’’
’’Mama.’’
Aku melihat Papa dengan wajah
lucunya, tak seperti kelelawar. Segera kuraih pipinya, mencari kelembutan
sisa-sisa belaian Mama di sana. Tak ada kelelawar di atas kepala Papa, tak
seperti kepala Mama waktu itu.
’’Pak, ada dokumen yang harus diisi.
Pihak kepolisian sudah menunggu.’’ Seseorang mengagetkan Papa.
’’Jadi siapa nama Anak ini?’’
’’Sean.’’
’’Umur?’’
’’10 tahun.’’
’’Jadi apa saja yang dirampok,
Pak?’’
’’Mobil, perhiasan, dan anehnya,
sertifikat tanah kok bisa ikut dibawa di mobil, itu yang sedang saya
pikirkan.’’
’’Baik Pak, untuk kasus perampokan
ini, kami akan menindaklanjuti lebih jauh.’’
Aku melihat lelaki dengan baju
cokelat dan topi yang lucu. Lalu Papa berlalu bersamanya.
’’Papa.’’
Papa menoleh ke arahku.
’’Ada Mama. Di situ. Dengan
kelelawar,’’ aku menunjuk pojok ruangan. Mama tersenyum dengan wajah merah dan
kelelawar di atasnya.
Papa tersenyum. Seseorang di
sampingnya kaget.
’’Dia belum tahu bahwa mamanya sudah
meninggal.’’
Lalu Papa melangkah pergi.
Benar-benar pergi. Dan Mama masih berdiri dengan wajah merah dan kelelawar di
atas kepalanya.
’’Mama, kelelawar itu menarik-narik
rambut Mama.’’ Namun Mama hanya tersenyum. Papa telah hilang di balik pintu.
Dan kini Mama lenyap ke dalam tembok.
’’Sean, jangan nakal ya!’’ seorang
wanita mendekatiku. Ia bukan Mama.
’’Ada kelelawar di atas kepala Mama.
Mereka menarik-narik rambut Mama,’’ aku mengucapkannya berkali-kali.