Sayup Tifa Mengepung Humia

Oleh: Massha Guissen
Kelak setelah dimiliki Bone, Waita
akan menempati humia baru. Tidak lagi bersama Mama Aname. Waita akan menjadi
mama baru di humia barunya, seperti seekor cendrawasih membuat sarang baru di
dahang laingliu. Bone menegakkan humia dengan tiang utama dari batang bohon
soang yang berbulan-bulan direndam dalam aliran sungai warsor. Deras sungai
warsor akan menguatkan batang soang. Waita akan segera dinikahkan di depan para
tetua dan dukun Hobone, kemudian menuju Soroani, dusun Bone.
Mama Aname telah menerima banyak mas
kawin dan harta adat dari Bone; lima ekor wam, tiga tali ijebasik,
lima buah wanggokme yang harus diasah oleh mempelai laki-laki,
dan tiga ikat ebekanem. Mas kawin dan harta adat begitu besar
dirasa sepadan dengan Waita, penari hunuke paling sintal di
Hobone. Betisnya sepenuh paruh kasuari, lambang kebanggaan orang-orang Hobone.
Dadanya ranum, kencang, dan tidak terlalu besar. Yang lebih menjadikan Waita
harta berharga adalah beberapa hari sebelum Bone melamar, Waita melakukan upacara
muruwal bagi perempuan Hobone. Upacara pengenalan tugas perempuan, setelah
darah kali pertama menetes dari selangkangan. Darah itu kelak akan menandakan
ketangguhan perempuan Hobone. Yang siap membahagiakan suami, memelihara babi
dan kebun sagu, serta melahirkan banyak anak lelaki.
“Mama, apa perempuan tak boleh menikah dengan
lelaki yang dicintai?” tanya Waita kepada Mama Aname yang sedang mewarnai tubuh
Waita. Aroma babi bakar masuk ke dalam humia mereka.
“Tentu boleh, Waita.”
“Apa Waita bisa menolak pernikahan
bila tidak suka dengan calon suami?”
Mama Aname terdiam. Tangannya yang
belepotan cairan kapur dan jelaga pembakaan kayu kasuari berhenti. “Kamu sudah
menjadi yomine, Waita.”
Waita diharapkan mampu meredam
konflik antara Hobone dan Soroani. Bibit permusuhan sudah lama terperam. Hanya
lantaran dua dusun itu berbeda nasib. Hobone yang berada di soli, daerah lebih
tinggi dan lebih subur. Tidak pernah merasakan kelaparan, betatas dan ubi
tersedia sepanjang tahun. Adapun Soroani berada lebih bawah, olobok, yang tidak
sesubur Hobone.
Permusuhan itu kembali tumbuh,
ketika suatu hari seorang perempuan Soroani tertimpa batang sagu yang
dirobohkan seorang laki-laki Hobone. Kepalanya pecah dan mati di tempat.
Padahal sudah terpasang seiye, tanda larangan untuk melewati lahan orang Hobone
karena sedang masa penebangan pohon sagu. Kelalaian perempuan itu membangkitkan
amarah yang terperam di dada-dada orang Soroani. Perang tak terhindarkan.
Terjadilah saling serang. Busur dan panah beracun, kapak, dan parang
beterbangan di tengah rimbun. Setiap hari banyak lelaki Hobone dan Soroani
mati. Banyak nyawa terbawa ke langit, dimuliakan, mati di medan perang bagi
laki-laki adalah kebanggaan.
“Waita, Bone sudah menghendakimu.
Ini untuk mereda peperangan dan sudah jadi kesepakatan para dukun di rumah
yowi.”
“Apa Waita harus ditukar dengan
perdamaian?”
“Lebih baik membuat persaudaraan
daripada mencipta permusuhan, Waita. Akahi paekahi yae ewelende, wah
onomi honomi eungekende. Ingat itu, Waita!” Mama Aname bersikeras.
“Mama, tapi Waita tidak pernah tahu
apa yang perempuan kerjakan di Soroani.”
“Suamimu dan Mama Ibo akan
mengajarimu menjadi perempuan Soroani.”
Mata Waita mengerjap-ngerjap. Baru
beberapa hari lalu dia merasakan perayaan menjadi wanita seutuhnya. Waita masih
bergantung pada Mama Aname dan sekarang dia harus bersiap untuk dibawa Bone ke
humia baru di Soroani. Seperti seekor burung bermigrasi dari sarang satu ke
sarang baru, bila telur-telurnya sudah menetaskan riuh kasuari baru.
Setiap memikirkan aneka hal baru
yang akan mengubahnya, ada keganjilan yang tumbuh di kepalanya. Waita mengingat
bagaimana sosok Ewoyop. Sosok lelaki Hobone yang memainkan tifa begitu merdu.
***
Kayu-kayu kasuari dibelah dengan kapak. Kayu-kayu itu akan dibakar dan
menghasilkan bara api konstan. Anak-anak kecil laki-laki perempuan menyunggi
bebatuan yang diambil dari sungai. Beberapa laki-laki memanggul babi di pundak.
Para mama membawa betatas dan buah pandan merah di dalam tas hakone yang
dikaitkan di kepala mereka. Beberapa masih digelatuti balita di bagian dada dan
menggandeng seorang lagi. Semua wajah begitu ceria.
Tetua adat dan para dukun di rumah
yowimemutuskan akan mengadakan upacara persembahan untuk alam di tengah Hobone,
di sebuah tanah lapang yang bersih dari semak belukar. Beberapa hari lalu
longsor mengubur empat desa di lereng gunung. Hobone diselamatkan. Sebagai ucap
syukur upacara persembahan digelar, banyak tamu diundang, tari-tarian dan musik
dipentaskan.
“Waita, kau menari hari ini?” tanya
seorang mama, bibirnya merah karena sirih. Seorang bayi, mungkin lima bulan,
tidak hendak lepas dari puting kanannya.
“Ya, Mama,” jawab Waita. Mukanya
sedang dirias dengan dominan hitam-putih.
Keriuhan merasuki sela-sela pohon
sagu sekitar Hobone. Lubang untuk tungku sudah selesai digali. Beberapa
laki-laki gegas membuat api, dari seutas sumbu yang digesek dengan batu. Kayu
kasuari kering diletakkan di atasnya, lalu batu dipanaskan hingga berganti
warna putih. Setelah itu batu dipindahkan dengan batang kayu yang dibelah
tengah menjadi penjempit ke dalam tungku. Di sanalah babi, betatas,
umbi-umbian, dan aneka sayur siap dibakar.
Laki-laki menunggu di sekeliling
tungku sambil mengisap pali, sebatang koteka mengacung hingga dada.
Muncul gemerincing bunyi akibat gesekan ujung koteka dengan kalung para lelaki.
Waita bersiap menari. Para pemusik
sudah siap di ujung perhelatan. Di saat itulah Waita menemukan sosok lelaki
yang begitu damai memetik tifa. Ewoyop tidak ubahnya lelaki Hobone lain, tapi
tatapan matanya menyiratkan binar berbeda. Waita harus menari. Diiringi musik
Ewoyop dan bebunyian dari mulut lelaki Hobone. Waita mengagumi bagaimana Ewoyop
memukul-mukul tifa secara konstan. Terutama betis Ewoyop tampak begitu kukuh
saat melompat-lompat mengatur tempo nyanyian para mama dan gerakan penari
hukune.
Alam Hobone mengajarkan mata
laki-laki bisa menembus segala hal, setajam ujung tombak saat berburu rusa di
tengah hutan. Adapun mata perempuan harus merunduk tak berani saling tumpu.
Mata perempuan hanya untuk mengurus betatas, ladang sagu, pakan babi, dan
menyusui para bayi. Tidak lebih dari itu. diam-diam Waita menerawangkan mata
hingga dua mata Ewoyop begitu berani merasuk ke tubuhnya.
Sebagaimana kehidupan lereng gunung
mengepung Hobone yang tumbuh tanpa komando, ada perasaan naluriah manusia yang
diam-diam tumbuh di dada Waita. Isyarat itu makin kentara ketika tiba-tiba
Ewoyop mengirim seikat betatas dan ubi jalar kepada Waita. Di Hobone jarang
terlihat lelaki dan perempuan berbicara. Mereka ragu. Namun keduanya meyakini
ada hal istimewa yang mereka rahasiakan. Hanya Waita dan Ewoyop yang tahu, yang
mendekap begitu rahasia begitu pribadi.
Namun perempuan Hobone tak punya
kuasa atas tubuhnya. Tetua adat dan para dukun rumah yowi memutuskan segalanya.
Bahwa Waita akan dinikahkan dengan Bone untuk meredam konflik antara dusun atas
dan dusun bawah.
***
“Cantik sekali kamu, Waita.”
Waita membalas dengan senyuman
hambar. Aneka riasan dan perhiasan dari kerang tertempel di tubuhnya. Bulu
cenderawasih dan kasuari tergantung di kepala. Sejak pagi Waita sudah melakukan
prosesi adat. Mandi di sungai untuk melunturkan semua kotoran. Kulit hitamnya
mengilat tertimpa sinar matahari. Halus. Bibirnya merah, perasan buah pandan
merah yang mengilatkan dan meronakan bibir.
“Mama, apa wanita tidak bisa memilih
di humia siapa akan tinggal?”
“Waita, tidakkah kamu tahu tetua dan
dukun rumah yowi sudah memutuskan semua? Semua harta adat sudah diterima. Dan
kamu bukan hanya menjadi istri Bone. Kamu adalah peredam konflik antara dusun
atas dan dusun bawah.” Waita menghela napas. Matanya tak hendak berkaca, tapi
ada sesuatu yang berguguran di dadanya.
“Katanya wanita dusun bawah harus
bekerja lebih keras daripada wanita dusun atas?”
“Maksudmu?”
Waita menggeleng, ingin menarik
semua ucapan yang mendadak keluar.
“Waita, semua penghuni humia harus
patuh pada suami.”
Sebelum upacara pernikahan dihelat,
aneka makanan disiapkan. Tungku untuk bakar batu, babi dan betatas tidak
tertinggal. Termasuk aneka musik tifa dan penari. Waita yakin Ewoyop termasuk
di dalamnya. Mantra dan dendang gembira disenandungkan oleh tetua adat dan
dukun rumah yowi. Selepas upacara, Waita diboyong ke humia Bone di Soroani.
***
Waita menatap atap humia. Dia tidur
telentang lebih dahulu di atas lambaran tikar pandan di lantai dua. Pintu yang
sempit sesekali membawa masuk hawa dingin, angin gunung masuk dan menggigilkan
tubuh Waita. Di lantai satu api unggun kecil berusaha menghangatkan humia.
Bone berdeham. Kemudian unggung
dipadamkan. Waita mulai gemetar. Bone naik melalui tangga dan mendekati Waita.
Humia gelap, tapi Waita bisa merasakan embusan napas Bone beraroma pali. Bone
merengkuh tubuh Waita. Bone menciumi tubuh Waita. Tapi semua ditanggapi dingin.
Bone mengunci betis Waita. Bone hendak menyenangkan diri atas tubuh Waita. Anak
panah Bone hendak dilepas ketika muncul suara halus terbawa angin masuk ke
humia.
“Siapa yang memainkan tifa
malam-malam begini?” ***