Guru Honorer Positive Thinker

Sepulang dari
sekolah, aku dihadiahi kue ulang tahun dari istri dan anak-anakku. Mereka
berkeliling di sekitarku dengan senyuman yang mengembang
"Selamat
ulang tahun Ayah, semoga panjang umur, sehat dan selalu berkah," Kata anak
sulungku, Dewi, la mengecup pipiku yang keringatnya belum kering. Senyumannya
membuat aku jatuh hati pada si sulung ini.
"Selamat
ulang tahun Ayah. Semoga tetap menjadi Ayah yang hebat," Lanjut istriku
dengan rangkulan yang penuh sayang.
Dalam rangkulan
yang menyejukkan itu, aku merasa yang paling bahagia. Anak sulung yang soleha
dengan IPK paling tinggi di kampusnya dulu, anak kedua yang selalu aktif di
sekolahnya dan mantan ketua OSIS, serta istri yang selalu mendampingi
dalam suka dan duka. Di usiaku yang ke lima puluh lima ini, aku merasa
menjadi suami dan ayah yang mendekati sempurna.
Namun,
kesempurnaanku bukan tanpa cacat. Sesungguhnya, kesempurnaaku tidak dibalut
dengan kegembiraan harta yang melimpah. Tidak ada gelimang materi di rumah,
apalagi kemewahan yang wah. Tidak sama sekali. Kesempurnaan ini hanya
diciptakan oleh pikiran dan perasaan kami masing-masing. Kesempurnaan kami
hanya karena kami bisa berdamai dengan keadaan, karena kalau dimensi duniawi
yang diukur, maka kami memiliki kecacatan yang maha, yakni kemiskinan.
Usia 55 tahun
dengan rumah sangat sempit ukuran 5X6 meter persegi. Hanya satu kamar tidur,
satu kamar mandi dan dapur serta ruang keluarga dengan TV tabung kecil 14 inci,
Anak-anak kami tidak memiliki kamar pribadi. Kamar kami one for all.
Untuk menyokong pekerjaanku sebagai guru honorer, aku pernah diberi pinjaman
uang untuk membeli motor bebek Astrea 800. Lumayan untuk sekedar mengurangi
biaya operasional transportasi dan untuk mengantar anak-anak ke kampus dan
sekolah. Motor itu pula yang mengantarkan dagangan istriku sesekali ke
warung-warung di sekitar rumah.
Aku tidak bisa
mampu berinvestasi di masa muda. Gaji guru honorer yang diterima hanya cukup
untuk makan dan biaya sehari-hari. Tanpa mencicil, kami tidak mungkin punya
rumah, motor atau perabotan yang sekarang sudah mulai berusia tua. Tidak ada
sawah, tidak ada kolam, tidak ada rumah layak, apalagi toko yang istriku
inginkan sejak dua puluh lima tahun yang lalu. Ya, inilah keadaan kami. Mau
tidak mau, suka tidak suka, inilah nasib sebagai guru honorer. Dalam
keseharianku yang sangat kekurangan, aku selalu berupaya untuk berpikir
positif. Gaji yang tidak seberapa, tidak aku dramatisir untuk menuduh nasib
yang malang, kondisi rumah yang kecil dan perabotan yang super sederhana, tidak
aku jadikan hidup yang merana dan nestapa. Aku hanya ingin membahagiakan hidupku
dan keluargaku. Itu saja pikiranku, untuk masalah kebahagiaan materi, aku
anggap semuanya relatif. Semoga suatu saat anak-anaku bisa meraihnya di masa
depan.
Kerja kerasku
tanpa pamrih membuat perutku tidak besar seperti teman-teman guruku dengan
status yang lebih baik. Tidak tertumpuknya gula darah dan lemak dalam badanku
membuat aku selalu sehat dan Alhamdulillah tidak pernah mengunjungi
dokter. Bila sakit pun hanya sekedar flu pilek dan masuk angin saja. Aku
bersyukur, dalam nihilnya rezeki, gaji yang super sedikit, tapi Allah berikan
rezeki kesehatan yang hebat bagi aku dan keluargaku.
"Teh, Ayah
tidak bisa memberimu kamar yang layak atas privasimu. Ayah tak bisa memberikan
kehidupan yang pantas seperti teman-temanmu. Ayah pun tak bisa memberikan
pendidikan yang hebat seperti kebanyakan orang. Tapi Ayah hanya punya do'a
untuk senantiasa mengiringi langkah Teh Dewi," ucapku suatu waktu ketika
Dewi turun dari motor bebekku untuk kuliah.
"lya Ayah.
Dewi tak menuntut apapun. Dewi ingin ayah sehat dan berbahagia. Dewi ingin
Mamah dan Ayah tidak meninggalkan ibadah yang Allah perintahkan. Itu saja yang
membuat Dewi bahagia," jawab Dewi, si anak sulung itu. Jleb. Kalimatnya mendinginkan
sanubari. la begitu dewasa dalam memandang kehidupan. Kesolehannya telah matang
untuk seorang anak berusia 23 tahun.
"Maafkan
Ayah yang belum memberimu apa yang kau inginkan. Laptop yang pernah kau
obrolkan, HP yang pernah kau tunjukan brosurnya, dan uang kuliah semester akhir
yang belum ayah bayarkan. Semoga engkau bisa mengerti," ungkapku pada anak
sulungku penuh permintaan maaf. Semoga Dewi bisa mengerti keadaan uang yang
tidak mampu untuk laptop dan HP yang ia inginkan. Untuk uang kuliah, pasti akan
diperjuangkan dengan sepenuh hati.
"Sudahlah
Yah, itu hanya oborolan Dewi, bukan keinginan Dewi. Ayah jangan sensitif, ah.
Uang kuliah nanti Dewi konsultasikan ke Prodi, Kan bisa nyicil, Yah. Aku
juga ada proyek buat makalah temen-temen. Lumayan untuk
nambah-nambah tabungan buat SPP kuliah," jawabnya sambil mengumbar senyum
merekah. la cium tanganku dengan lama sekali, Batinku berdoa semoga ia menjadi
orang yang tangguh dan memiliki rezeki yang lebih dari ayahnya.
Kerudung yang
agak kumal aku tatap dari kejauhan menuju gerbang kampus. Tas yang harganya 50
ribu hasil arisan mamahnya pun ditenteng dengan bangganya. Ia tak pernah
mengeluh atas apa yang dipakainya. Ia tak pernah merengek tentang kehebatan
temannya yang ber-gadget. Laptop yang sering ia inginkan selalu kandas
dengan keuanganku yang cekak. HP android yang jadi syarat gadis milenial kini,
tak kuasa aku hadirkan di tangannya. Tapi, ia begitu mengerti atas segala
kondisi keluarganya.
Tak cuma anak
pertamaku, anak keduaku Dani juga mirip dengan kakaknya. "Nak, maafkan
Ayah yang tidak memberikan uang jajan. Semoga sekolahnya lebih rajin dan
pertahankan ranking pertamamu," ucapku kepada Dani, ketika aku antar
la ke sekolahnya.
"Tidak apa
Yah. Aku tidak suka jajan di sekolah. Itu tidak menyehatkan. Nasi goreng yang
mamah masak lebih gurih dan sehat dari jajanan sekolah. Yah. Dani pasti lebih
rajin Yah. Dani ingin seperti Ayah yang gigih berjuang dan selalu memperhatikan
kita. Dani sayang Ayah. Ayah seorang pejuang hebat, bukan hanya untuk dunia,
tapi untuk akhirat," jawabnya.
Ya Allah, batin ini
terasa lapang. Tidak ada keraguan untuk kesolehan anak lelakiku itu, la tak
malu melihat ayahnya dengan bebek tua ini, la tak merasa marjinal di tengah
sekolah favorit yang anak-anaknya diantarkan oleh mobil dengan ayah yang
berdasi. la tak pernah merengek minta HP seperti kebanyakan anak muda sekarang.
Tidak ada uang untuk HP apalagi kuota yang menguras uang
"Ayah
bangga atasmu Nak. Tetap percaya diri. Terus pacu adrenalin prestasi belajarmu
dan keaktifan kegiatan OSIS-mu. Bapak hanya bisa berdoa selalu untuk
kesuksesanmu dan Dewi. Uang SPP bulan ini belum Ayah tunaikan. Nanti Ayah coba
minjam dulu ke sekolah," Lanjut motivasiku ke Dani.
"lya Ayah.
Jangan pikirkan uang SPP. Kata kepala sekolah, aku akan dapat beasiswa
prestasi, Yah. Semoga saja aku dapat. Doa Ayah yang paling utama untuk Dani.
Ayah jangan lupa salat yang khusu. Jangan terlalu memikirkan
duniawi dan lupa mengingat Allah. Yah. Itu sangat penting agar kita selalu
dirida-Nya," jawabnya. Jleb. Hatiku mencair.
Dunia terasa
terang benderang. Kalimat Dani si anak kedua membuat hatiku bahagia. Dengan
ciuman tangan yang begitu bersahaja, Dani berpamitan sambil merekahkan senyuman
yang mendamaikan. Langkah kaki Dani yang begitu optimis melewati gerbang
sekolah tidak lepas dari pandanganku. Celana abunya yang mulai lusuh dan
luntur, tasnya yang robek di bagian depannya, uang di sakunya yang nihil tidak
pernah menyurutkan semangat sekolahnya. Di sekolah yang favorit ini, ia tidak
pernah ngomel untuk merasa terhina dengan kondisinya. Ia tak pernah ingin
dibelikan ini dan itu untuk sekolahnya. Buku pelajaran pun tak pernah ia beli.
la hanya menggunakan keterampilan lobi dan komunikasinya kepada guru. "la
lelaki hebat," gumamku.
"Mah, ini
gaji Ayah bulan ini. Kata Bendahara sudah dipotong pinjaman bulan lalu. Ayah
belum menghitungnya," ucapku sambil aku sodorkan amplop putih dari sekolah
yang belum aku buka sedikitpun.
"lya Yah.
Terimakasih untuk uangnya Ayah. Semoga uang ini cukup untuk kebutuhan kita satu
bulan," jawab istriku sambil mengambil amplop dan kemudian mencium
tanganku.
Ada rasa salah
di hati karena sebenarnya ia sudah tahu jumlahnya tidak cukup. Ia hanya
menyembunyikan rasa sedihnya dengan senyum yang mengembang. "Ah. terlalu
sholeha istriku ini, semoga ia mendapatkan balasan setimpal dari Yang Maha
Kuasa," batinku.
"Maafkan
Ayah, Mah. Uangnya pasti tidak akan cukup. Ayah sudah berupaya dan berusaha
untuk bekerja. Ayah ikhlas untuk hasilnya. Ayah pasrah untuk uangnya. Semoga
Mamah bisa memaafkan Ayah yang tidak bisa membuat Mamah lebih leluasa untuk
belanja kebutuhan kita," ungkapku sambil menatap mata istriku yang
berbinar.
"Tidak
Yah. Uang ini lebih dari cukup untuk sebuah kehidupan kita. Kekurangannya bisa
kita lebihkan dengan ibadah kita. Mamah senang uang yang sedikit ini bisa
memberkahi kita. Tidak ada yang bisa membahagiakan Mamah kecuali Ayah ikhlas
dalam bekerja, tak pernah meninggalkan salat karena bekerja, tidak pernah
korupsi dan tidak pernah memberi rezeki haram untuk kami. Terimakasih
Ayah," jawab Istriku dengan senyuman yang merekah.
Aku tatap
matanya dengan bangga. Ada kebahagiaan yang mendalam dalam pola kehidupan ini.
Dua puluh lima tahun menikah bersamanya, uang tidak menjadi masalah serius bagi
kami. Status guru honorer aku pun tak pernah ia gugat. Gaji yang tak seberapa
pun tak pernah ia keluhkan. Matanya yang berbinar, kalimat yang meluncur di
mulutnya, selalu menjadikan hati ini tentram dan bahagia.
"Terimakasih
istriku, kau adalah harta paling berharga Ayah. Tidak mungkin Ayah bisa hidup
setenang dan sebahagia ini. Kau wanita paling berhak untuk mendapatkan pahala
yang Ayah kerjakan di sekolah. Kau adalah makhluk yang paling diinginkan masuk
surga-Nya. Ayah tak tahu, kepada siapa Ayah bisa meminta untuk membahagiakanmu
kecuali pada Allah, kepada siapa Ayah bisa meminta untuk membahagiakanmu
kecuali dengan doa yang Ayah panjatkan. Semoga engkau sehat, bahagia dan selalu
menjadi ibu yang hebat buat anak-anak kita," ucapku panjang sambil memeluk
istriku yang hebat ini.
Lamunanku
menjadi buyar ketika pelukan istriku semakin erat. Dalam latar ulang tahunku
yang ke-55 ini, istriku semakin erat memelukku. Entahlah, ia tak mau melepaskan
pelukan itu. Ada rasa yang membuncah atas kasih sayang mereka kepada diri ini.
Ada aroma kebahagiaan tak bertepi di lubuk hati ini.
"Ayah, aku
mencintaimu. Maafkan Mamah yang belum bisa menjadi istri yang membahagiakanmu,
menjadi ibu yang baik dari anak- anakmu." Ucapan itu meluncur percis di
depan telingaku.
"Iya
sayang. Ayah maafkan. Ayah juga minta maaf atas janji ayah yang belum
tertunaikan. Atas keinginanmu yang belum ayah penuhi. Atas kebutuhanmu yang
belum ayah berikan. Ayah sangat berbahagia hidup bersamamu. Usia 55 ini
setengahnya bersamamu. Pahala ayah adalah milikmu, kesedihan ayah adalah bagian
hidupmu, doa-doa ayah adalah selalu untukmu dan anak-anak kita." ucapku
sama percis di depan telinga kirinya.
Tak terasa,
basahnya air mata menetes di lenganku. Aku merasakah ada air mata yang mengalir
dari mata istriku yang mengharukan. Istriku tak mau melepaskan dan terus
mengalirkan air mata yang ia rindukan itu. Anak-anak yang mendampingi kami pun.
terlihat menundukkan kepala, ada beberapa tetes air mata yang lahir dari pipi
Dewi. Ada sesenggukan yang terdengar dari kerongkongan Dani. Aku tak tahu,
kenapa mereka membuat aku terharu. Kebahagiaan 55 tahunku dipenuhi air mata
yang sangat mengharu biru.
"Yah,
karena doamu, kami semua sehat. Karena doamu anak-anak soleh soleha. Karena
doamu, uang yang kau berikan berkah. Cukup untuk mengantarkan kehidupan kita
yang bahagia. Semoga kau rida kepada kami. Semoga kau tetap menjadi imam
kami," ungkap istriku sambil menatap mataku yang mulai memerah. Pegangan
tangannya di bahuku terasa mendamaikan.
Tidak ada kata
yang bisa aku katakan. Hanya anggukan yang bisa aku lakukan. Rasaku mendadak
sedih dan bahagia bercampur. Usia 55 tanpa investasi harta yang berlimpah tak
menyurutkan untuk terus bahagia. Investasiku adalah mereka, istri yang selalu
membahagiakan, anak-anak soleh yang sangat membanggakan. "Merekalah
investasi hari ini dan hari nanti batinku,"
Kue yang yang
sederhana itu mereka angkat bersama. Lilin dengan angka 55 disodorkan kepadaku
untuk ditiup. Aku menatap semua anggota keluargaku. Mata mereka merah dan
melelehkan air mata, tapi bibirnya mengumbarkan senyuman yang merekah. Ada
campur aduk perasaan yang tak bisa aku rangkaikan dalam kata-kata. Aku merasa
lelaki paling beruntung di dunia. Status guru honorerku tidak pernah mereka
gugat. Uang gajiku tak pernah mereka protes. Dua puluh lima tahun hekerja
dengan uang tak seberapa tidak pernah mereka masalahkan. Aku bangga menjadi
ayah mereka.
"Sebentar
Ayah, sebelum ditiup lilinnya, mamah mau ngasih kabar baik untuk mu tentang
anak-anakmu. Setelah lulus kuliah bulan kemarin, Dewi sekarang diterima sebagai
CPNS di Kementerian di Jakarta. Dani sudah diterima di PMDK di ITB dengan
beasiswa penuh dari LPDP Kemenken. Ini berkat perjuangan hebatmu dalam
ikhlasnya bekerja. Gajimu dibayar dengan kesolehan dan kehebatan anak-anak
kita. Selamat untukmu Ayah. Kau Ayah yang hebat," Ucap istriku sambil
meneteskan air matanya.
Aku terkejut.
Aku melayang. Aku Terbang. Aku hinggap. Aku melompat. Aku terjun. Aku hirup
udara. Dan "Hufffff" lilin itu mati menyisakan kebahagiaan yang tak
ternilai.