Kutemukan Makna Hidup

Kehidupan
merupakan perjalanan yang tidak singkat, penuh dengan rintangan, serta
kadang-kadang bisa jatuh apabila menjalankannya tidak benar berhati- hati. Aku
diberi nama oleh kedua orang tuaku yaitu Vina. Temanku-temanku sering
menganggap aku adalah seseorang yang pendiam, terutama di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), di mana kami sedang menempuh pendidikan. Aku sangat menikmati
masa-masa indah SMK-ku, meskipun aku tidak pernah memperoleh apa yang selama
ini aku inginkan. Ketika aku masih SMK, aku mempunyai beberapa teman-teman
akrab, seperti Fani dan Mela, yang merupakan temanku sewaktu menempuh
pendidikan Sekolah Menegah Pertama (SMP).
Ayahku telah
menghembuskan nafas terakhir sejak empat tahun yang lalu. Sejak ayahku telah
tiada, aku telah tinggal bersama budeku yang bernama Risa, ia merupakan kakak
kandung dari Ayahku. Ibu kamu dimana, Nak? Yah, Ibuku telah menghembuskan nafas
terakhirnya saat berusia dua tahun. Dia meninggal karena penyakit jantung yang
telah diidap selama satu setengah tahun.
Aku sekarang
ini tidak dapat merasakan kasih sayang dan pelukan yang hangat dari seorang
Ibu. Kadang-kadang perilaku aku bisa membuat warga-warga yang tinggal di
sekitarku itu marah-marah. Aku menyadari hal itu, yah tapi mau bagaimana lagi,
itulah aku.
Aku telah
membuang kesempatan serta menyia-nyiakan waktu dalam kehidupanku saat ini. Aku
selalu berpikir-pikir untuk kesenanganku sendiri dan memiliki sifat yang egois.
Aku tidak menyadari bahwa selamanya hidup itu tidak akan mungkin mendapatkan
kebahagiaan serta kesedihan yang kadang-kadang kutemukan telah masuk dalam
kisah hidupku. Ayah pernah menasihati aku "Hidup itu bagaikan sebatang
pohon". Aku berpendapat setiap istilah mungkin memiliki makna yang khusus
yang tidak dapat dijelaskan secara mendalam, namun aku lebih suka dengan
daun di pepohonan.
Ayah berkata
"Daun-Daun itu akan tumbuh, lalu berjatuhan serta berganti kembali dengan
daun yang baru, hal itu terkait dengan seseorang yang baru lahir, akan pergi
dan akan muncul kembali generasi-generasi yang baru". Dan disinilah, aku
telah menemukan makna dari kehidupan yang sesungguhnya.
Lonceng telah
berbunyi, kegiatan belajar mengajar akan segera dimulai, namun masih ada
beberapa siswa yang berkeliaran di luar sekolah, mereka sedang merapikan
pakaian, segera berlari menuju gerbang sekolah dikarenakan mereka terlambat
datang untuk dapat lolos dari pintu gerbang yang selalu ditutup pada pukul
07.00. Situasi ini sudah menjadi kebiasaan yang bisa aku lihat setiap hari. Aku
sempat senang dengan tempat yang saat ini kududuki karena setiap sudut tempat
dapat aku pandang.
Aku sangat
kaget pada saat tangannya Fani mendarat ke pundakku "Idih! serius amat
seh, lagi lihat apaan hayo...?" Fani menanyakan kepada aku lalu kujawab
"Tidak ada kok". Temanku yang bernama Fani itu sedang kebingungan
namun tetap dengan senyuman yang manis di bibirnya sering membuatku itu gemas.
Kemudian...Tuk....tuk....tuk.....suara
sepatu menginjak lantai itu hampir dekat di ruangan kelasku. Para siswa yang
sudah terbiasa dengan suara itu segera berhampuran menuju tempat duduknya
masing-masing. Walaupun mereka sedang menikmati di gasebo yang paling asyik
mereka sedang membicarakan seputar gosip selebritas yang terkenal dalam stasiun
televisi. Sejak tadi, suasana kelasku hampir mirip seperti pasar, kemudian saat
ini menjadi sepi seperti di tempat pemakaman.
Pada saat
kegiatan belajar berakhir semua siswa pada pulang menuju rumahnya
masing-masing, aku memutuskan untuk jalan sendiri menuju rumahku, dikarenakan
aku akan mencari tempat yang ingin kudatangi. "Eh, mau kemana Vin?"
Mela bertanya kepadaku "Cuma ingin ke toko sebentar," Aku menjawab
pertanyaan dari Mela. Disambung dengan Fani sahabatku "Lah.. Mel kamu kok
kaya tidak tahu aja aktivitas yang dilakukan Vina, lupa nin yah, hari ini
adalah Kamis."
Dilanjutkan
dengan perkataan Fani memberi saran kepadaku "Oh iya aku lupa, ya sudah
hati-hati dijalan Vina,". Aku hanya dapat membalaskan dengan menganggukan
kepalaku dan mereka telah tahu maksud dari anggukan kepalaku tadi.
Kemudian aku
disini, aku berdiri memandang langit yang hampir mendung. Angin yang berhembus
membuat pohon-pohon dan rumput-rumput yang berwarna hijau itu bergoyang, serta
daun-daun berserakan mengikuti alunan musik yang diiringi oleh angin. Aku
sangat menyenangi serta semua itu hanya dapat aku peroleh di dunia ini.
Di tepian
sungai yang dekat rumahku, bukan berarti di toko buku sewaktu yang kukatakan
kepada Fani dan Mela, aku duduk di bawah pohon mangga sambil melihat setiap
tempat yang sunyi hanya ada aku, beberapa pohon yang lainnya, rumput-rumput
hijau, serta daun-daun yang ada di sekitarku. Aku kadang-kadang heran kenapa
tempat yang bagus seperti ini tidak pernah terlihat oleh mereka yang ingin
mencari suatu hiburan untuk menghilangkan rasa stresnya seperti mereka pergi ke
mall, cafe, diskotik, dan tempat-tempat hiburan malam.
Yah, aku
menyadari bahwa setiap orang memiliki daya berpikir yang tidak sama. Aku telah
duduk disini hampir kurang lebih 45 menit, tidak ada yang berubah, hanyalah
daun-daun yang berjatuhan serta angina yang berhembus secara tidak lambat. Aku
capek, seandainya aku masih memiliki waktu yang banyak untuk duduk di tempat
ini, namun sayang di sayang waktu telah menunjukkan jam 14.45, aku cemas budhe
sangat khawatir dengan keadaanku.
Selama
perjalanan pulang, aku melalui beberapa toko dan rumah yang sama sekali kosong
atau tidak ada penghuninya sama sekali. Jalan ini sudah biasa kulewati selama
perjalanan pulang sekolah. Di depan rumah yang bermodel zaman dahulu, kakiku
telah berhenti melangkah, bangunan masih belum direnovasi sampai sekarang dan
masih kelihatan sangat asli seperti dahulu kala. Pemilik tidak pernah mengurus
rumah tersebut sehingga rumah itu tidak terlihat penghuni sama sekali. Aku
sangat penasaran ingin mencari informasi tentang rumah tua tersebut
namun...tiba-tiba ada seorang ibu yang berada di rumah tersebut kemudian aku
bertanya dengan hati yang sangat ragu-ragu
"Selamat
sore ibu, maaf apakah ibu yang punya rumah ini?" kemudian sang ibu itu
membalas pertanyaan itu.
"Selamat
sore juga, oh bukan, saya adalah anak yang punya rumah ini, apakah adik tinggal
dekat dengan rumah ini? Aku menjawab dengan nada yang tidak begitu kasar
"Oh saya kira ibu yang punya rumah ini, oh iya rumah saya sangat dekat
dengan rumah tua ini". Kemudian, aku memperkenalkan diri kepada sang ibu
itu dan sambil mengulurkan tanganku "Perkenalkan, nama saya Vina" ibu
tersebut merespon "Oh iya, nama saya Rini, adik cukup panggil saja dengan
tante Rini". Tante itu kelihatannya sangat baik, lalu aku telah
menghabiskan waktu yang lama untuk mengobrol dengan tante itu.
Tante itu
bercerita kepadaku tentang perjuangannya selama tiga tahun saat ini sembuh
dari penyakit kanker otak yang diidapnya. Suatu penyakit yang membuatnya
menjadi lebih menghargai hidup dan ia betapa pentingnya soal waktu. Aku jadi
teringat tentang Ayah yang dahulu berjuang melawan penyakit jantung yang
diidapnya pada waktu itu. Ia hampir putus asa sampai-sampai ingin nekad
mengakhirinya hidupnya dengan cara gantung diri. Namun, salah satu alasan yang
menyebabkan ia tidak melakukan niat tersebut dan tetap semangat menjalani hari
demi hari dengan penyakit yang diidapnya adalah aku yang sebagai anak
kesayangannya.
Tante Rini
mengatakan kepadaku "Ayah Vina merupakan orang yang sangat baik"
kemudian aku menjawabnya "Ya, ayahku adalah orang yang sangat baik di
dunia ini."
Kemudian tante
itu mengucapkan kepadaku kembali "Ayah kamu pastilah seorang pekerja
keras, apa benar adik?" Aku menjawab dengan cara mengangguk-anggukkan
kepalaku. Garis-garis halus yang ada pada wajah sang ayah menunjukkan bahwa ia
adalah seseorang orang tua yang sangat kuat serta rela berkorban apapun demi
membahagiakan keluarganya.
Tante Rini
mengatakan kepadaku lagi "Asalkan engkau tahu adik, di luar sana masih
banyak orang-orang yang sangat menginginkan keluarga yang bahagia, namun banyak
juga seseorang yang telah menyia-nyiakan waktunya dalam menjalankan kehidupan
itu," Penampilan wajahnya menunjukan rasa kecewa. Aku yakin bahwa apa yang
diucapkan oleh Ayahku sama dengan ucapan yang disampaikan oleh Tante Rini,
sehingga Ayahku sangat setuju dengan ucapan dari Tante Rini. Kemudian, Tante
Rini mengatakan lagi kepadaku "Namun Tante percaya sama Dek Vina, adik
tidak mungkin melakukan hal tersebut," Aku merespon dengan menampakkan
wajah yang penuh dengan senyuman.
Aku sampai
rumah mendapatkan oleh-oleh yaitu beberapa pertanyaan dari budhe, Aku mengerti
bahwa dia pasti cemas, seperti Ayah yang dulu pernah menanyakan aku bila aku
terlambat pulang. Sesampai di kamar, aku membuka kembali buku harian tentang
riwayat Ayah yang berisi sepatah kalimat-kalimat yang sangat indah. Buku
catatan yang telah menjadi saksi perjalanan hidup antara ayah dengan aku.
"Jangan
pernah menjadikan perbedaan itu sebagai alasan untuk saling menjauh, akan
tetapi jadikan perbedaan itu. sebagai penyebab bagi kita untuk saling mengenal
dan pondasi untuk membangun suatu hubungan telah ada" tanggal 9 November
1997. "Keberhasilan yang sesungguhnya tidak bisa ditemukan jalan yang
lurus, namun aka nada jalan yang menghadang kita serta beberapa jalan tikungan
yang tajam," 29 Juni 2002.
Saat ini apa
yang telah terjadi, apa yang telah kulihat, kudengar, serta kurasakan, aku
sudah mulai memahami makna tentang hidup. Hidup yang sebenarnya yaitu berjuang,
berjuang untuk meraih cita-cita yang diinginkan, entahlah apakah itu
kebahagiaan atau keberhasilan, dan pada saat ini aku tidak ingin membuat Ayah
dan Ibu kecewa, namun sebaliknya aku akan berusaha untuk dapat membahagiakan
kedua orang tuaku ini. Saat ini, entahlah mengapa aku sangat merindukan mereka.