Kutemukan Makna Hidup

1

Kehidupan merupakan perjalanan yang tidak singkat, penuh dengan rintangan, serta kadang-kadang bisa jatuh apabila menjalankannya tidak benar berhati- hati. Aku diberi nama oleh kedua orang tuaku yaitu Vina. Temanku-temanku sering menganggap aku adalah seseorang yang pendiam, terutama di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), di mana kami sedang menempuh pendidikan. Aku sangat menikmati masa-masa indah SMK-ku, meskipun aku tidak pernah memperoleh apa yang selama ini aku inginkan. Ketika aku masih SMK, aku mempunyai beberapa teman-teman akrab, seperti Fani dan Mela, yang merupakan temanku sewaktu menempuh pendidikan Sekolah Menegah Pertama (SMP).

Ayahku telah menghembuskan nafas terakhir sejak empat tahun yang lalu. Sejak ayahku telah tiada, aku telah tinggal bersama budeku yang bernama Risa, ia merupakan kakak kandung dari Ayahku. Ibu kamu dimana, Nak? Yah, Ibuku telah menghembuskan nafas terakhirnya saat berusia dua tahun. Dia meninggal karena penyakit jantung yang telah diidap selama satu setengah tahun.

Aku sekarang ini tidak dapat merasakan kasih sayang dan pelukan yang hangat dari seorang Ibu. Kadang-kadang perilaku aku bisa membuat warga-warga yang tinggal di sekitarku itu marah-marah. Aku menyadari hal itu, yah tapi mau bagaimana lagi, itulah aku.

Aku telah membuang kesempatan serta menyia-nyiakan waktu dalam kehidupanku saat ini. Aku selalu berpikir-pikir untuk kesenanganku sendiri dan memiliki sifat yang egois. Aku tidak menyadari bahwa selamanya hidup itu tidak akan mungkin mendapatkan kebahagiaan serta kesedihan yang kadang-kadang kutemukan telah masuk dalam kisah hidupku. Ayah pernah menasihati aku "Hidup itu bagaikan sebatang pohon". Aku berpendapat setiap istilah mungkin memiliki makna yang khusus yang tidak dapat dijelaskan secara mendalam, namun aku lebih suka dengan daun di pepohonan.

Ayah berkata "Daun-Daun itu akan tumbuh, lalu berjatuhan serta berganti kembali dengan daun yang baru, hal itu terkait dengan seseorang yang baru lahir, akan pergi dan akan muncul kembali generasi-generasi yang baru". Dan disinilah, aku telah menemukan makna dari kehidupan yang sesungguhnya.

Lonceng telah berbunyi, kegiatan belajar mengajar akan segera dimulai, namun masih ada beberapa siswa yang berkeliaran di luar sekolah, mereka sedang merapikan pakaian, segera berlari menuju gerbang sekolah dikarenakan mereka terlambat datang untuk dapat lolos dari pintu gerbang yang selalu ditutup pada pukul 07.00. Situasi ini sudah menjadi kebiasaan yang bisa aku lihat setiap hari. Aku sempat senang dengan tempat yang saat ini kududuki karena setiap sudut tempat dapat aku pandang.

Aku sangat kaget pada saat tangannya Fani mendarat ke pundakku "Idih! serius amat seh, lagi lihat apaan hayo...?" Fani menanyakan kepada aku lalu kujawab "Tidak ada kok". Temanku yang bernama Fani itu sedang kebingungan namun tetap dengan senyuman yang manis di bibirnya sering membuatku itu gemas.

Kemudian...Tuk....tuk....tuk.....suara sepatu menginjak lantai itu hampir dekat di ruangan kelasku. Para siswa yang sudah terbiasa dengan suara itu segera berhampuran menuju tempat duduknya masing-masing. Walaupun mereka sedang menikmati di gasebo yang paling asyik mereka sedang membicarakan seputar gosip selebritas yang terkenal dalam stasiun televisi. Sejak tadi, suasana kelasku hampir mirip seperti pasar, kemudian saat ini menjadi sepi seperti di tempat pemakaman.

Pada saat kegiatan belajar berakhir semua siswa pada pulang menuju rumahnya masing-masing, aku memutuskan untuk jalan sendiri menuju rumahku, dikarenakan aku akan mencari tempat yang ingin kudatangi. "Eh, mau kemana Vin?" Mela bertanya kepadaku "Cuma ingin ke toko sebentar," Aku menjawab pertanyaan dari Mela. Disambung dengan Fani sahabatku "Lah.. Mel kamu kok kaya tidak tahu aja aktivitas yang dilakukan Vina, lupa nin yah, hari ini adalah Kamis."

Dilanjutkan dengan perkataan Fani memberi saran kepadaku "Oh iya aku lupa, ya sudah hati-hati dijalan Vina,". Aku hanya dapat membalaskan dengan menganggukan kepalaku dan mereka telah tahu maksud dari anggukan kepalaku tadi.

Kemudian aku disini, aku berdiri memandang langit yang hampir mendung. Angin yang berhembus membuat pohon-pohon dan rumput-rumput yang berwarna hijau itu bergoyang, serta daun-daun berserakan mengikuti alunan musik yang diiringi oleh angin. Aku sangat menyenangi serta semua itu hanya dapat aku peroleh di dunia ini.

Di tepian sungai yang dekat rumahku, bukan berarti di toko buku sewaktu yang kukatakan kepada Fani dan Mela, aku duduk di bawah pohon mangga sambil melihat setiap tempat yang sunyi hanya ada aku, beberapa pohon yang lainnya, rumput-rumput hijau, serta daun-daun yang ada di sekitarku. Aku kadang-kadang heran kenapa tempat yang bagus seperti ini tidak pernah terlihat oleh mereka yang ingin mencari suatu hiburan untuk menghilangkan rasa stresnya seperti mereka pergi ke mall, cafe, diskotik, dan tempat-tempat hiburan malam.

Yah, aku menyadari bahwa setiap orang memiliki daya berpikir yang tidak sama. Aku telah duduk disini hampir kurang lebih 45 menit, tidak ada yang berubah, hanyalah daun-daun yang berjatuhan serta angina yang berhembus secara tidak lambat. Aku capek, seandainya aku masih memiliki waktu yang banyak untuk duduk di tempat ini, namun sayang di sayang waktu telah menunjukkan jam 14.45, aku cemas budhe sangat khawatir dengan keadaanku.

Selama perjalanan pulang, aku melalui beberapa toko dan rumah yang sama sekali kosong atau tidak ada penghuninya sama sekali. Jalan ini sudah biasa kulewati selama perjalanan pulang sekolah. Di depan rumah yang bermodel zaman dahulu, kakiku telah berhenti melangkah, bangunan masih belum direnovasi sampai sekarang dan masih kelihatan sangat asli seperti dahulu kala. Pemilik tidak pernah mengurus rumah tersebut sehingga rumah itu tidak terlihat penghuni sama sekali. Aku sangat penasaran ingin mencari informasi tentang rumah tua tersebut namun...tiba-tiba ada seorang ibu yang berada di rumah tersebut kemudian aku bertanya dengan hati yang sangat ragu-ragu 

"Selamat sore ibu, maaf apakah ibu yang punya rumah ini?" kemudian sang ibu itu membalas pertanyaan itu.

"Selamat sore juga, oh bukan, saya adalah anak yang punya rumah ini, apakah adik tinggal dekat dengan rumah ini? Aku menjawab dengan nada yang tidak begitu kasar "Oh saya kira ibu yang punya rumah ini, oh iya rumah saya sangat dekat dengan rumah tua ini". Kemudian, aku memperkenalkan diri kepada sang ibu itu dan sambil mengulurkan tanganku "Perkenalkan, nama saya Vina" ibu tersebut merespon "Oh iya, nama saya Rini, adik cukup panggil saja dengan tante Rini". Tante itu kelihatannya sangat baik, lalu aku telah menghabiskan waktu yang lama untuk mengobrol dengan tante itu.

Tante itu bercerita kepadaku tentang perjuangannya selama tiga tahun saat ini sembuh dari penyakit kanker otak yang diidapnya. Suatu penyakit yang membuatnya menjadi lebih menghargai hidup dan ia betapa pentingnya soal waktu. Aku jadi teringat tentang Ayah yang dahulu berjuang melawan penyakit jantung yang diidapnya pada waktu itu. Ia hampir putus asa sampai-sampai ingin nekad mengakhirinya hidupnya dengan cara gantung diri. Namun, salah satu alasan yang menyebabkan ia tidak melakukan niat tersebut dan tetap semangat menjalani hari demi hari dengan penyakit yang diidapnya adalah aku yang sebagai anak kesayangannya. 

Tante Rini mengatakan kepadaku "Ayah Vina merupakan orang yang sangat baik" kemudian aku menjawabnya "Ya, ayahku adalah orang yang sangat baik di dunia ini."

Kemudian tante itu mengucapkan kepadaku kembali "Ayah kamu pastilah seorang pekerja keras, apa benar adik?" Aku menjawab dengan cara mengangguk-anggukkan kepalaku. Garis-garis halus yang ada pada wajah sang ayah menunjukkan bahwa ia adalah seseorang orang tua yang sangat kuat serta rela berkorban apapun demi membahagiakan keluarganya.

Tante Rini mengatakan kepadaku lagi "Asalkan engkau tahu adik, di luar sana masih banyak orang-orang yang sangat menginginkan keluarga yang bahagia, namun banyak juga seseorang yang telah menyia-nyiakan waktunya dalam menjalankan kehidupan itu," Penampilan wajahnya menunjukan rasa kecewa. Aku yakin bahwa apa yang diucapkan oleh Ayahku sama dengan ucapan yang disampaikan oleh Tante Rini, sehingga Ayahku sangat setuju dengan ucapan dari Tante Rini. Kemudian, Tante Rini mengatakan lagi kepadaku "Namun Tante percaya sama Dek Vina, adik tidak mungkin melakukan hal tersebut," Aku merespon dengan menampakkan wajah yang penuh dengan senyuman.

Aku sampai rumah mendapatkan oleh-oleh yaitu beberapa pertanyaan dari budhe, Aku mengerti bahwa dia pasti cemas, seperti Ayah yang dulu pernah menanyakan aku bila aku terlambat pulang. Sesampai di kamar, aku membuka kembali buku harian tentang riwayat Ayah yang berisi sepatah kalimat-kalimat yang sangat indah. Buku catatan yang telah menjadi saksi perjalanan hidup antara ayah dengan aku.

"Jangan pernah menjadikan perbedaan itu sebagai alasan untuk saling menjauh, akan tetapi jadikan perbedaan itu. sebagai penyebab bagi kita untuk saling mengenal dan pondasi untuk membangun suatu hubungan telah ada" tanggal 9 November 1997. "Keberhasilan yang sesungguhnya tidak bisa ditemukan jalan yang lurus, namun aka nada jalan yang menghadang kita serta beberapa jalan tikungan yang tajam," 29 Juni 2002.

Saat ini apa yang telah terjadi, apa yang telah kulihat, kudengar, serta kurasakan, aku sudah mulai memahami makna tentang hidup. Hidup yang sebenarnya yaitu berjuang, berjuang untuk meraih cita-cita yang diinginkan, entahlah apakah itu kebahagiaan atau keberhasilan, dan pada saat ini aku tidak ingin membuat Ayah dan Ibu kecewa, namun sebaliknya aku akan berusaha untuk dapat membahagiakan kedua orang tuaku ini. Saat ini, entahlah mengapa aku sangat merindukan mereka.