Demonstrasi Massa
Akhir-akhir
ini demonstrasi kerap terjadi hampir setiap waktu dan terjadi di berbagai
tempat. Bahkan, demonstrasi sudah menjadi fenomena yang lumrah di tengah-tengah
masyarakat kita. Menanggapi fenomena tersebut, seorang kepala daerah menyatakan
bahwa penyebab demonstrasi dan anarkisme tidak lain adalah faktor laparnya
masyarakat. Lantas ia mencontohkan rakyat Malaysia dan Brunei yang adem ayem,
lantaran kesejahteraan mereka terpenuhi maka demonstrasi di negara-negara itu
jarang terjadi.
Tentu
saja komentar tersebut menyulut reaksi para mahasiswa. Mereka memprotes dan
meminta sang bupati mencabut kembali pernyataannya. Para mahasiswa tidak terima
dan tidak merasa memiliki motif serendah itu. Mereka berpendirian bahwa
demonstrasi yang biasa mereka lakukan murni untuk memperjuangkan kebenaran dan
melawan kemungkaran yang terjadi di hadapan mereka.
Demonstrasi
massa tidak selalu disebabkan oleh urusan perut, bahkan banyak peristiwa yang
sama sekali tidak didasari oleh motif itu. Dalam kaitannya dengan kebutuhan manusia,
Abraham Maslow membaginya ke dalam beberapa tingkatan. Kebutuhan yang paling
mendasar adalah makan dan minum. Sementara itu, yang paling puncak adalah
kebutuhan akan aktualisasi diri.
Namun
demikian, pada umumnya demonstrasi massa justru lebih didasari oleh kebutuhan
tingkatan akhir itu. Masyarakat berdemonstrasi karena membutuhkan pengakuan
dari pemerintah ataupun pihak-pihak lain agar hak-hak dan eksistensi mereka
diakui. Karena merasa dibiarkan, hak-haknya diingkari, bahkan dinistakan,
kemudian mereka berusaha untuk menunjukkan jati dirinya dengan cara
berdemonstrasi.
Banyak
fakta dapat membuktikannya. Demonstrasi massa pada awal reformasi di negeri ini
pada tahun 1997–1998, bukan dilakukan oleh rakyat miskin ataupun orang-orang
lapar. Justru hal itu dilakukan oleh warga dari kalangan menengah ke atas,
dalam hal ini adalah mahasiswa dan golongan intelektual. Belum lagi jika
merujuk pada kasus-kasus yang terjadi di luar negeri. Dalam beragam skala
(besar atau kecil), demonstrasi bukan hal aneh lagi bagi negara-negara Eropa.
Demonstrasi yang mereka lakukan sudah tentu tidak didorong oleh kondisi perut
yang lapar karena mereka pada umumnya dalam kondisi yang sangat makmur.
Dengan
fakta semacam itu, nyatalah bahwa kemiskinan bukanlah penyebab utama untuk
terjadinya gelombang demonstrasi. Akan tetapi, fenomena tersebut lebih
disebabkan oleh kemampuan berpikir kritis dari warga masyarakat. Mereka tahu
akan hak-haknya, mengerti pula bahwa di sekitarnya telah terjadi pelanggaran
dan kesewenang-wenangan. Mereka kemudian melakukan protes dan menyampaikan
sejumlah tuntutan. Apabila faktor-faktor itu tidak ada di dalam diri mereka,
apapun yang terjadi di sekitarnya, mereka akan seperti kerbau dicocok hidung:
manggut-manggut dan berkata “ya” pada apapun tindakan dari pimpinannya meskipun
menyimpang dan bahkan menzalimi mereka sendiri.