PERANG ACEH

Perang
Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873,
dimulai dari kedatangan Jenderal J.H.R Kohler dengan jumlah pasukan sebanyak
3.198, termasuk 168 perwira KNIL.
Setelah
melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah
yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan
pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut
Aceh. Bahkan, pada hari pertama perang berlangsung, 1 unit kapal perang
Belanda, Citadel van Antwerpen harus mengalami 12 tembakan meriam dari pasukan
Aceh.
Dr.
Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli yang berpura-pura masuk Islam dari
Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak
pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka
diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil.
Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur
Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Sultan
Muhammad Dawud Syah akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903
setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh
Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh pada tahun 1904. Saat itu, Ibu kota
Aceh telah sepenuhnya direbut Belanda. Namun perlawanan masih terus dilakukan
oleh Panglima-panglima di pedalaman dan oleh para Ulama Aceh sampai akhirnya
jepang masuk dan menggantikan peran belanda. Perang Aceh adalah perang yang
paling banyak merugikan pihak Belanda sepanjang sejarah penjajahan Nusantara.
(FN)