Kisah Nabi Muhammad Berdagang di Negeri Syam


Orang-orang Quraisy memiliki kebiasaan melakukan perjalanan dagang pada musim dingin dan musim panas. Saat musim dingin, mereka berangkat ke Yaman, sementara saat musim panas, mereka berdagang ke Syam.

Pada suatu hari di musim panas, Abu Thalib dan rombongan Quraisy bersiap untuk berangkat ke Syam. Ia menyiapkan tunggangan dan perbekalan yang akan dibawa dalam perjalanan jauh itu.

Ketika Muhammad mendengar bahwa Abu Thalib dan rombongan dagangnya akan berangkat ke Syam, ia sangat ingin ikut. Mendengar keinginan keponakan tersayangnya itu, Abu Thalib merasa luluh. Ia tidak tega meninggalkan Muhammad sendirian di Makkah.

“Demi Allah,” kata Abu Thalib kepada istrinya, Fathimah, “aku harus membawanya pergi bersamaku.”

Saat itu, usia Muhammad baru 12 tahun. Perjalanan ke Syam sangat jauh untuk anak seusianya, dan Fathimah pun merasa khawatir. Namun, ia tidak membantah keputusan suaminya, karena ia tahu betapa besar cinta Abu Thalib kepada Muhammad.

“Dia tidak boleh berpisah denganku,” kata Abu Thalib. “Dan aku tidak boleh berpisah dengannya untuk selama-lamanya.”

Akhirnya, rombongan dagang itu pun mulai meninggalkan Makkah. Setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang, mereka tiba di Bushra, sebuah kawasan yang termasuk dalam wilayah Syam. Rombongan itu memutuskan untuk beristirahat di sana.

Saat beristirahat, mereka melewati sebuah biara besar milik seorang pendeta Nasrani bernama Jirjis, yang lebih dikenal sebagai Buhaira. Pendeta Buhaira terkenal sebagai orang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama.

Rombongan berhenti di bawah pohon rindang, dan pendeta Buhaira memperhatikan mereka dari dalam biaranya. Ia melihat awan menaungi rombongan dagang dari Makkah itu, dan sepanjang perjalanan, ia menyaksikan pohon-pohon seolah turut memayungi mereka.

Pendeta Buhaira segera menyuruh pembantunya untuk menyiapkan makanan. Setelah itu, ia keluar dan menemui rombongan tersebut. Begitu melihat Muhammad, pendeta itu langsung menghampirinya dan memegang tangan Muhammad dengan lembut.

“Inilah penghulu para rasul. Inilah rasul utusan Tuhan alam semesta. Inilah orang yang diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam,” kata Pendeta Buhaira dengan penuh keyakinan.

“Dari mana engkau tahu?” tanya Abu Thalib, terkejut mendengar pernyataan itu.

“Sungguh,” jawab Pendeta Buhaira. “Ketika kalian mendekati Aqabah, semua batu dan pohon merunduk. Batu dan pohon tidak akan bersujud kecuali di situ ada seorang nabi.”

Pendeta Buhaira kemudian memperingatkan Abu Thalib agar segera membawa keponakannya kembali ke negeri asal mereka. “Jagalah ia dari kejahatan orang-orang Yahudi! Demi Allah, jika mereka melihat seperti yang aku lihat, niscaya mereka akan membunuhnya.”

Mendengar perkataan tersebut, Abu Thalib langsung mempercayainya. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Pendeta Buhaira, rombongan Abu Thalib segera bergegas pergi, meninggalkan biara Buhaira dengan hati yang penuh rasa syukur dan kewaspadaan.