Puasa dan Kebajikan Sosial

Syariat puasa diyakini dapat mengantarkan orang beriman pada tujuan agung dengan muara akhir menjadi insan bertakwa (QS. al-Baqarah 2: 183). Ibadah puasa adalah salah satu sarana penting untuk mencapai takwa, dan salah satu sebab mendapatkan ampunan dosa, pelipatgandaan kebaikan, dan pengangkatan derajat.

Rasulullah Saw dalam hadis qudsi: “Puasa itu untuk-Ku dan Aku langsung membalasnya. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh, bau mulut orang berpuasa lebih harum dari pada aroma kesturi.” (Hadits Muttafaq ‘Alaih). Pesan utama hadis, yakni setiap amalan manusia adalah untuknya (manusia) sendiri kecuali puasa.

Farid Wajdi (2019) mengatakan amalan puasa, Allah Swt khususkan untuk diri-Nya dan menyandarkan amalan tersebut untuk-Nya. Allah Swt langsung yang memberi imbalan atas perbuatan hamba-Nya itu. Adapun sebabnya, Pertama, karena ketika puasa seseorang meninggalkan berbagai kesenangan dan berbagai syahwat. Hal ini tidak didapati dalam amalan lain. Kesenangan yang ditinggalkan, dan semua itu karena Allah, padahal tidak ada yang memperhatikan apa yang dia lakukan tersebut selain Allah Swt sehingga ini menunjukkan kualitas iman orang yang berpuasa.

Puasa dengan kualitas demikian menunjukkan dirinya selalu menyadari dia berada dalam pengawasan Allah Swt meskipun dia sedang sendirian. Kedua, puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Sang Khalik. Tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Amalan puasa berasal dari niat batin yang hanya Allah Swt dan dirinya sendiri yang mengetahuinya. Puasa adalah perbuatan individual dengan dimensi vertikal (tauhid) yang sangat kuat.

Tiada yang tahu dengan pasti kualitas berpuasa seorang hamba. Orang berpuasa ibarat yang menari dengan lincah tanpa merasa sedang dilihat orang lain. Orang yang bekerja penuh ikhlas dengan harapan hasil terbaik tanpa merasa sedang diawasi majikannya.

Abd Wahib Syakour (2021) mengatakan karakteristik ibadah puasa sungguh unik. Puasa adalah ibadah yang pelakunya dituntut meninggalkan sesuatu (ibadah tarkiyyah/tarku al-syai`i), kontradiktif dengan ibadah lainnya yang justru diperintahkan untuk mengerjakan sesuatu (ibadah fi`liyah/fi`lu al-syai`i).

Di koridor itulah puasa didefinisikan sebagai ibadah dengan menahan diri dari segala hal yang membatalkan sejak fajar hingga matahari terbenam. Shalat, mengharuskan pelakunya mengerjakan syarat rukun, takbirat al-ihram, baca fatihah, ruku`, sujud, dan tahiyyat.

Orang berpuasa justru diperintahkan untuk meninggalkan di siang hari makan, minum, berhubungan suami istri serta berkata tak senonoh. Semua prosesi ibadah puasa adalah simbol dari nafsu yang harus dikendalikan. Puasa mendidik dan melatih manusia untuk dapat mengendalikan nafsunya agar tidak hidup bermewah-mewah dan suka menaruh dendam. Masalahnya, materi penting puasa ini masih sulit terealisasikan.

Secara ekonomi, selama bulan puasa, anggaran belanja rumah tangga umumnya membengkak efek penambahan variasi dan volume menu, yang mestinya bisa ditekan setengah dari hari-hari biasa. Siang hari memang berpuasa, tapi saat malam tiba, kebanyakan juga masih suka melampiaskan “dendam” dengan menghajar makanan konsumtif. Pantulan sikap demikian adalah indikasi target tujuan puasa belum efektif.

Bagi yang mau memaknainya banyak pelajaran dan hikmah puasa yang dapat dikonversi untuk dipraktikkan dalam kehidupan empirik. Di antaranya tuntutan gaya dan pola hidup sederhana. Sederhana itu berbeda dengan miskin. Sederhana adalah pola atau gaya hidup, sedang miskin itu suatu kondisi hidup. Ibadah puasa mengajarkan gaya dan pola hidup sederhana itu.

Masyithoh Chusnan (2021) berpendapat setidaknya ada empat keistimewaan bulan puasa. Pertama, yakni dengan ibadah puasa akan hancur segala yang haram dalam tubuh orang beriman. Kedua, orang yang berpuasa makin dekat dengan rahmat Allah Swt. Ketiga, Allah Swt akan memudahkan sakaratul maut orang yang puasa Ramadhan. Keempat, orang yang puasa Ramadhan akan dibebaskan dari api neraka (itqun minannaar).

Kebajikan Sosial

Zainun Nasihah Ghufron (2020) mengatakan kepedulian untuk berbuat kebajikan adalah sebuah sikap yang lahir dari panggilan etik yang bersumber dari dasar naluri kemanusiaan. Panggilan keberadaban ini menghapus sejumlah sikap arogansi, kultus individu, dan sikap sikap asosial, lalu menumbuhkan empati terhadap sesama penduduk bumi.

Naluri dasar kemanusiaan ini tidak pernah memilih warna kulit, perbedaan gender, agama dan perbedaan lainnya. Ia tumbuh mengalir menyapa setiap entitas tak ubahnya angin berembus tanpa bertanya ras dan golongan. Karena secara natural kepedulian merupakan tabiat yang dimiliki oleh manusia.

Imam Shamsi Ali (2023) dalam makna yang lebih luas di antara keunikan ajaran agama Islam adalah keseimbangan dan kesesuaian (appropriateness). Dalam segala hal keseimbangan dan kesesuaian menjadi pegangan dalam bersikap, bahkan dalam sikap beragama. Karakter keseimbangan (wasathiyah) sejatinya menggambarkan keduanya. Keseimbangan dan kesesuaian juga menjadi penekanan penting dalam menyikapi kehidupan dunia. Upaya keseimbangan dan kesesuaian inilah yang menjadikan dunia dalam dienul Islam, di satu sisi harus dibangun semakmur-makmurnya.

Namun di sisi lain diingatkan marabahaya yang dapat ditimbulkannya. Karenanya dunia diingatkan sebagai permainan yang melalaikan (la'ibun wa lahwun). Bahkan juga dikategorikan sebagai kesenangan yang menggoda (mataa' al-ghuruur). Sikap Islam ini, yang di satu sisi mendorong mencari dunia (wabtaghuu min fadhlilllah) dan di sisi lain mengingatkan konsekuensi buruknya. Itulah urgensi menyikapi dunia secara berimbang dan berkesesuaian.

Rasulullah Saw berpesan, "Kekayaan itu bukan banyaknya harta. Tapi kekayaan itu adalah kepuasan jiwa (ghina an-nafs)." Poin terpenting dari realitas ini adalah kekayaan itu banyak terkait dengan sikap batin (mentalitas) manusia. Karena itu seseorang yang memiliki harta yang banyak atau sebaliknya memiliki harta yang kurang, keduanya dapat merasakan kekayaan itu ketika memiliki batin atau mentalitas yang sehat.

Sehatnya mental seseorang itulah sejatinya yang  terekspresi dalam karakter dan perilakunya. Seseorang yang memilki mental yang sehat tidak akan banyak terpengaruh oleh keadaan dunianya (hedonis). Ketika miskin dia tidak akan merana dan rendah diri (hina). Ketika kaya dia tidak angkuh dan abusive dengan gaya hidup hedonis-konsumtif.

Dadang Kahmad (2013) mengatakan seorang manusia mesti mencapai dua tangga kemuliaan untuk menjadikan diri sebagai manusia bijak dan makhluk bajik. Pertama, dirinya harus terus-menerus berusaha mengenali hakikat diri, potensi, dan bakat dengan usaha pencarian yang tidak pernah berhenti. Dirinya harus piawai menggerakkan mata batinnya untuk memperoleh pencerahan diri. Kedua, ketika mampu mengenal sisi eksistensial kemanusiaannya, sekuat tenaga mempraktikkan pengetahuan untuk pengembangan diri dan orang lain.

Ibadah puasa yang dilaksanakan tidak hanya berkutat menahan diri dari rasa lapar dan dahaga semata; tetapi juga menahan diri untuk tidak serakah dengan berupaya mengenal hakikat kemanusiaannya. Ibadah puasa dijadikan sebagai prosesi aktif menemukan posisi eksistensi diri di tengah kehidupannya. Nilai kolektif dan kebajikan terbangun ketika mampu menangkap hakikat kemanusiaan dalam melaksanakan ibadah puasa. 

Praktik ibadah puasa sejatinya dapat menciptakan nilai-nilai etika, moral, dan kebajikan sosial. Dengan ibadah puasa yang dilaksanakan satu bulan penuh, jalinan relasi dinamis antar individu dalam kesatuan sosial terjalin kekuatan kolektivas-individualitas (qawm-nafs).

Setiap manusia mengoptimalkan potensi positif untuk melakukan kerja sama menuju perubahan lebih baik. Tidak ada egosentritas, individualitas, dan tidak ada lagi tempat bagi berkembangnya keserakahan diri.

Saifur Rohman (2023) mengatakan jika dilihat di media sosial, banyak sekali perilaku pamer (flexing) yang menjadi tren di tengah-tengah publik. Sejumlah sosok publik membuat tayangan yang berisi kepemilikan harta kekayaan yang jauh di atas normal. Ada pula tayangan hadiah kepada istri berupa mobil mewah supaya kaget ketika bangun tidur, pamer saldo di rekening, pemakaian jet pribadi, hingga gaya hidup sehari-hari dalam berbelanja di toko swalayan.

Tayangan semacam itu memicu dua hal. Pertama, menimbulkan persoalan sosial, seperti kecemburuan sosial, sesat logika, hingga kejahatan. Kedua, pelanggaran etika sosial. Dalam etika sosial terdapat norma perilaku pantas dan tidak pantas diperlihatkan di tengah publik. Salah satunya adalah nilai kepatutan yang memuat sikap rendah hati.

Kebajikan para leluhur ialah menghindari perilaku adigang (merasa berkuasa), adigung (merasa terbaik), dan adiguna (merasa pintar). Perilaku pamer bukan hanya tak pantas untuk pejabat publik, tetapi bagi siapa pun yang memang memiliki harta kekayaan berlimpah.

Ibadah puasa sepatutnya dapat mengingatkan sesama untuk tidak menyombongkan diri. Jika memiliki harta berlebih sebaiknya jaga dengan baik dan menyisihkan sebagian untuk orang membutuhkan. Apalagi masih banyak orang yang hidup dalam serba-kekurangan.

Berbagi pada bulan ramadan memiliki keistimewaan luar biasa. Anas bin Malik RA mengatakan: “Dari Anas dikatakan, ‘Wahai Rasulullah, sedekah apa yang nilainya paling utama?’ Rasulullah menjawab, ‘Sedekah di bulan ramadan’ (HR. At-Tirmidzi). Rasulullah bersabda: “Siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun juga”. (HR. Tirmidzi Nomor 807), Ibnu Majah Nomor 1746 dan Ahmad 5: 192).  

Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (ganjarannya) kepada mereka, dan bagi mereka pahala yang mulia.” (QS. Al Hadid, 57: 18).