Sudahkah kauajarkan kepadanya tentang wajah Kesedihan yang kelak datang kepadanya setelah dia selesai menciptakan Bumi dan isinya?

Sudahkah kauajarkan kepadanya tentang wajah Kesedihan yang kelak datang kepadanya setelah dia selesai menciptakan Bumi dan isinya?

(oleh Faisal Oddang)

Dia tidak mengenali Kesedihan itu
: Kesedihan tidak berwajah dan tak pernah diberi nama.

Dia akan pergi meninggalkan semua hal kecuali tubuhnya,
termasuk kau–seorang ibu yang tidak berani memandang cermin.
seorang ibu yang takut melihat rasa enggan berjejalan dan tertahan
seperti puluhan onak yang menancap di kerongkonganmu.

Suamimu benar-benar Tuhan yang tidak tahu diri
dia hanya menitip sejumput sirih yang dia kunyah dari cerana,
lalu menghadiahkan rupa-rupa hal yang tidak kaumengerti untuk apa
: sebilah pisau kecil, sebuah mahkota, sepasang cincin milikmu dan
miliknya–yang tidak pernah cukup untuk mengganti semua hal yang
telah kalian rebut dengan paksa dari Batara Guru.

Dia tidak mengenal Kesedihan itu, tetapi Kesedihan mengenalinya.

: dia yang membuat adonan gunung, menggali ceruk danau,
memahat sungai, membentangkan lautan, serta menata hutan.
Dia yang menciptakan Bumi dan isinya tetapi dia bukan Tuhan.
Siapakah Dia? Dia Batara Guru yang malang, anak yang telah
kalian korbankan atau kalian utus sebagai tunas di Bumi
seperti istilah suamimu untuk kehidupan yang asing dan jauh.

“Menyembahlah tiga kali kepadaku,” kata suamimu
dan katakan: Tuhanku, akulah hambamu. Katakan!”

Air mata Batara Guru jatuh bersama tubuhnya, dia berlutut.
Tuhan kembali berkata: “Sekarang kau manusia biasa, bukan Dewa.”

Sirih dikunyah dari sebuah cerana setelah itu, seorang budak sigap
menadah ludah Tuhan yang menatap anaknya sambil memejam
dan meniup ubun-ubunyya tiga kali, sebuah nyawa sempurna dicampakkan.
Batara Guru telah pergi, dia mati untuk hidup kembali.

Di dalam bambu betung, tubuh Batara Guru yang ringkih
menuju Bumi setelah sebuah pelangi dibentang sebagai jalan.

Kau di mana ketika anakmu pergi, o, Datu Palinge?

Rindu membangunkannya dari mati, dia menyadari takdir
telah menjadi kail untuk ikan yang dia pijahkan dalam dirinya
: dia mencampakkan umbai daun lontar dan menabur beras sangrai
untuk menciptakan rupa-rupa binatang. Dia telah mencampakkan hidupnya
pada saat yang sama dan mencampakkannya lagi beberapa saat kemudian
ketika dia tersedu dan air matanya tidak berubah jadi apa-apa.

“Aku tak memahami semua ini, Tuhanku: aku melihat petir bersabung,
aku melihat budak-budak yang datang dari langit, aku melihat
semuanya, tetapi di mana diriku yang kukenali dulu?”

Kau mendengar pertanyaan anakmu itu? Suamimu mendengarnya
tetapi baginya pertanyaan adalah doa yang tidak perlu dia jawab
sebagaimana doa yang tidak melulu butuh dikabulkan.