KESULTANAN ACEH

Kesultanan
Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudra Pasai yang runtuh pada akhir
abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatra dengan ibu kota
Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496–1903), Aceh
telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama
karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer,
komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang
teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan,
hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Gunongan
merupakan warisan sejarah Kesultanan Aceh yang didirikan oleh Sultan Iskandar
Muda untuk permaisuri beliau Putri Khamalia dari Kesultanan Pahang.
Aceh
Darussalam pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam
(Sultan Aceh ke 19), merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut
seorang penjelajah asal Prancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman
tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak.
Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat
pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan
Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16,
pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris)
dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di
Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada
tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania
menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim
bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871,
Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah
Prancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
(FN)