Home Visit Part 2

Kondisi yang diluar batas kewajaranlah yang membawa kami ke rumah peserta didik, berkali-kali kami ikhtiarkan hanya untuk sekolah, hanya untuk hadir ulangan, yang ujung-ujungnya hanya formalitas sebab nilai rapot harus sesuai KKM dan tidak bedanya yang malas dan rajin. Kadang guru-guru jenuh dengan keadaan ini namun undang-undang wajib belajar 9 tahun tidak bisa kita pelak. 

 Beberapa catatan selama kunjungan rumah (home visit) versi pribadi saya. Pertama, orang tua menaruh harapan yang terlalu besar pada sekolah, tanpa mempedulikan lagi hasil dari sekolah tersebut, hanya selembar ijasah dan kata lulus serta wisuda sudah membahagiakan. 

Pernah kami home visit pada beberapa peserta didik secara sekaligus dan random. Ketika kami utarakan pada salah satu orang tua murid, bahwa anaknya belum lancar membaca sedangkan sudah kelas 9 SMP, kami meminta perhatian untuk belajar di rumah. Jawabannya sangat memiris, "tidak apa-apa tidak bisa baca bu guru yang penting sekolah" Saya secara pribadi beberapa hari mencoba mencerna hal ini, pernyataan yang mematikan, yang apatis yang serba formalitas, bila semua orang tua punya persepsi seperti ini apa jadinya sebuah daerah sebuah bangsa akan hilang menjadi zaman sebelum kemerdekaan.

 Kedua, pola asuh orang tua yang sebatas memberikan makan dan minum tidak ada lagi evaluasi maupun pendidikan di rumah atau tambahan. Ada beberapa peserta didik kelas 9 sampai tamat tidak bisa membaca, kelu untuk sekedar menyebut al fatihah,hidup liar tanpa orang tua.

Ketiga, peserta didik yang hidup liar, besar dari lingkungan dan alam, ini karena orang tua broken home. Broken home banyak versinya tidak hanya kedua orang tua bercerai. Bahkan ada orang tua, tapi anak tidak merasakan ada orang tua.

 

Bersambung.

 

Penulis: Nurul Hikmah