Bung, Mengenangmu Gerimis Tempias di Sajadah
Bung,
Mengenangmu Gerimis Tempias di Sajadah
(Karya Sulaiman Juned)
Membuka lembaran dua puluhan
tetes darah masih hangat mewarnai sejarah
dalam segala warna-cuaca, pemuda berdiri
paling depan. Dada belia terbakar
membakar semangat berkobar
mengobarkan api dua puluh-api dua delapan-api empat lima
tumbanglah tatanan usang renyuh-runtuh-rubuh
o, betapa engkau di sambut dentuman
yang bukan mercon. Mengikhlaskan kesempatan
menyandang titel hidup gemerlapan.
Bung: apakah arti kemewahan di atas penderitaan
apakah arti hidup - bila tak berarti sama saja mati
sebelum mati. Hidup berjaya atau mati sebagai
bunga bangsa dan agama.
Bung: telah kau titip bangsa dan negara ini
pada Soeharto; ia menggergaji bumi - bangun
istana pribadi tak mampu menerjemahkan peradaban. Bagi
Habibie; ia memberi ruang oportunis
untuk bermain - meruntuhkan kesatuan bangsa. Bersama
Gusdur; menyaksikan nusantara mengalirkan
darah dari saluran tak henti atas-nama kekuasaan. Tjoet Nyak
Mega; mengumbar janji seperti biduan. Sementara
teroris mengerat negeri.
Bung! Bangsa yang besar
adalah bangsa yang pandai menghargai sejarah
tanpa pamrih - terlepas dari kurang dan lebih. Baca;
Aceh-Sriwijaya-Majapahit: Teuku Umar, Teungku Chik Di Tiro
Sisingamangaraja, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Patimura, Daoed Beureueh
Bung Karno, Hatta, Syahril dan sejarah yang hanya tercatat di kepala
betapa setiap jengkal tanah
adalah ajang juang
adalah makam pahlawan
bercermin kami berbuat
tak ada kata jera dalam perjuangan
(mengenangmu: pilu-luka-nyeri tumpah di sajadah).