Puisi-Puisi Tanpa Judul
Puisi-Puisi Tanpa Judul
(oleh Avianti Armand)
1.
Di antara lembar-lembar buku itu ia temukan kerangka daun
yang sudah putih, kelopak-kelopak bunga — kering dan rapuh,
dan kupu-kupu mati yang segera jadi abu bila disentuh. Di
lembar-lembar berikut terselip jalan-jalan di kota berkanal
yang airnya hijau, kamar-kamar hotel murah setua debu, dan
bau mawar liar di jendela. Sesekali terdengar kepak sayap
dari merpati yang berebut jagung di piazza kota dan dingin
musim gugur yang tak pernah menyakitkan. Di lembar lain
terjepit tawa yang seringan bulu dari anak-anak yang berlari
menerbangkan layang-layang. Derum mobil tak tersimpan
di situ. Juga hujan yang membikin tanah jadi becek dan udara
berjamur.
Di antara lembar-lembar buku itu hanya ada memori yang
membasahi mata. Dan di halaman terakhir: perempuan itu.
2.
Bolehkah kusimpan pecahan cermin ini?
Untuk apa?
Untuk mengingatkanku pada satu saat di sebuah kampung
yang jalannya berbatu-batu dan batunya berbau kopi.
Untuk membawaku kembali pada sudut kecil
tempat sepotong bagel dihidangkan
dengan segelas anggur yang asamnya tak lekas hilang.
Untuk membuka pintu ke stasiun di mana kau
tinggalkan karcis
lusuh terserak di antara langkah orang-orang yang bergegas.
Lebih sederhana lagi–
untuk memanggilmu kembali.
Aku?
Kamu. Di cermin yang hanya sepotong ini
aku hanya bisa melihat:
Mataku.
3.
Ruang menyusut, meninggalkan kamu di dalam, dan aku
di luar. Matahari lisut. Tapi angin bernapas begitu keras,
menerbangkan daun-daun ke laut dan menarik-narik anak-
anak rambutku. Ke mana? Tanyamu. Aku terlanjur terbang,
sebelum sempat menjawab dan mengikat rambut.
Mungkin di satu hari baik nanti, kau akan temukan aku
tersangkut di cecabang kamboja yang dulu kau tanam di
sisa petak depan rumahmu yang tak pernah jadi.
4.
Mimpi pergi, ketika asap bakaran sampah mendesak masuk
ke kamar lewat kisi-kisi kayu yang rapat namun ompong
di sana-sini. Besok, tak akan ada lagi kerat roti yang kau olesi
mentega asin di piring. Kakimu tak lagi bisa mengusik debu
di depan pintu yang biasanya terbuka pada ketok ketiga.
Tak bakal kulihat kepul kopi susu menyaputi sebelah susumu
yang separuh terbuka.
Sungguh, aku tak kehilangan apa-apa.
5.
Kemarin kamu bilang: Jangan tinggalkan aku. Aku bisa mati.
Tapi mungkinkah pernah kamu serukan kalimat yang sama
pada perdu di samping rumah, kolam hijau pekat yang
dasarnya tak pernah kita lihat, kumpulan ketilang, juga pagi
yang malas?
Mereka berbisik sekarang.