Pembangunan Indonesia Era Soekarno


Awal kemerdekaan, Soekarno sebagai Presiden Indonesia harus menghadapi berbagai macam kesulitan dan hambatan. Di bidang kesehatan, Indonesia harus mampu mengembangkan dan menerapkan kebijakan kesehatan di seluruh wilayahnya bahkan sampai ke pulau-pulau terpencil.

Pada tahun 1950, Indonesia baru mewarisi sistem kesehatan yang hancur setelah pendudukan Jepang. Hal ini berdampak pada ketidakmampuan memerangi wabah penyakit. Bukan hanya kekurangan dokter saja, akan tetapi Indonesia mengalami kelangkaan obat-obatan. Selain itu, Indonesia belum mampu mengatasi tantangan hidup sehari-hari, yaitu kebutuhan hidup penduduknya.

Soekarno menyatatakan bahwa dokter tidak hanya memiliki kewajiban untuk menyembuhkan pasien yang sakit, tetapi juga membentuk masyarakat yang kuat, sehat serta bebas dari penyakit. Slogan ini digunakan sebagai bentuk propaganda kesehatan masyarakat selama tahun 1950-an untuk mewujudkan hubungan antara kesehatan dan pembangunan bangsa. Kesehatan menjadi komponen penting untuk membangun Indonesia yang merdeka.

Era Soekarno dicirikan oleh idealisme tinggi dan rencana-rencana yang berani, tetapi banyak yang tidak terwujud, karena gejolak politik dan ekonomi pada akhir 1950-an dan paruh pertama era 1960-an. Bandung Plan yang berfungsi sebagai cetak biru kebijakan negara tidak dapat dijalankan untuk melaksanakan program kesehatan darurat atau pengembangan infrastruktur program kesehatan.

Soekarno berusaha untuk mempromosikan manfaat ilmu pengetahuan dan kedokteran Barat tanpa bantuan eksternal sebagai alternatif bagi Indonesia agar mencapai modernitas. Selama era 1950-an, para dokter Indonesia menggambarkan kampanye melawan penyakit sebagai pertempuran yang akan mengarah pada kemenangan bangsa dan selanjutnya akan melawan kemiskinan dan buta huruf. Penyakit malaria, tuberkulosis, lepra dan frambusia dikategorikan sebagai penyakit endemik “Empat Besar” yang memengaruhi vitalitas seluruh penduduk.

Selama perang digin, AS mendukung pemberantasan penyakit di negara-negara berkembang. Dari segi politik, hal ini menjadi langkah awal untuk membendung penyebaran paham komunis serta mengarahkan negara berkembang ke model pembangunan Barat. Namun, Indonesia tetap berpedoman pada Bandung Plan yang mengarahkan kebijakan luar negeri Non-Blok atau tidak memihak pada upaya intervensi dari negara-negara Adidaya.

Kebijakan luar negeri ini juga menekankan solidaritas antarnegara yang baru saja merdeka dalam posisi ekonomi yang setara. Rekomendasi dari WHO dikaji ulang agar sesuai dengan keragaman kondisi demografi dan epidemiologi di negara kepulauan ini.

Pemerintah Indonesia diharapkan dapat mengisi peluang dalam komunitas ilmiah internasional serta berkontribusi pada pertumbuhan ilmu terapan agar mandiri dalam urusan ekonomi. Para dokter mendominasi pembentukan lembaga ilmiah Indonesia, karena kemampuan mereka untuk mengaitkan kesehatan dan penyakit dengan ideologi pembangunan bangsa ala Soekarno.

Penelitian pediatri dan gizi yang secara simbolis terkait dengan pidato Soekarno tentang Revolusi Nasional Indonesia sebagai investasi dalam sumber daya manusia menerima dukungan cukup besar dari negara. Indonesia belum dapat melaksanakan pembangunan ekonomi secara utuh karena sedang mempertahankan kemerdekaan hingga tahun 1949.

Pada tahun berikutnya, Indonesia menitikberatkan pada pembangunan politik karena situasi politik di Indonesia belum stabil. Baru pada tahun 1950 Indonesia mulai bisa melaksanakan pembangunan ekonomi.

Produksi pangan mengalami kenaikan, namun belum mampu mengimbangi pertumbuhan penduduk. Produksi beras pada tahun 1956 adalah 26% lebih tinggi dari produksi pada tahun 1950, tetapi impor beras masih diperlukan. Perusahaan-perusahaan asing pada tahun 1950-an mulai masuk ke Indonesia seperti Shell, Stanvac, dan Caltec. Perusahaan-perusahaan itu mendapatkan posisi yang kuat di bidang industri minyak.

Sebagian besar pelayaran antarpulau dipegang oleh pelayaran Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM Belanda). Perbankan didominasi oleh perusahaan-perusahaan Belanda, Inggris, dan Cina.

Pada tahun 1949 menteri Keuangan Sjafrudin Prawiranegara melakukan “Gunting Sjafrudin” atau shanerring yang bertujuan menghapus inflasi. Rakyat diwajibkan menggunakan uang pecahan lima rupiah ke atas dan dipotong menjadi dua potong, dengan ketentuan sebelah kanan masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah tetapi nilainya tinggal setengah, sedangkan sebelah kiri harus diserahkan kepada pemerintah untuk diganti oleh obligasi negara, yaitu tanda hutang negara.

Dalam rangka mengendalikan inflasi, pada tanggal 25 Agustus 1959 mata uang Rupiah didevaluasikan sebesar 75%. Dari sisi moneter, semua nilai uang kertas Rp500,00 dan Rp1.000,00 diturunkan menjadi sepersepuluh dari nilai nominalnya dan deposito-deposito bank dalam jumlah besar juga dibekukan.

Tindakan ini untuk mengurangi jumlah uang beredar dari Rp34 miliar menjadi Rp21 miliar. Krisis likuiditas menjadikan pemerintah terpaksa memperbolehkan utang dan dalam waktu enam bulan persediaan uang telah kembali ke tingkat sebelumnya dan inflasi kembali stabil.

(FN)