Karir Militer Soeharto


Sebelum memulai karir politiknya, Soeharto menjadi anggota dari lembaga ketentaraan yaitu TNI (Tentara Nasional Indonesia). Soeharto diangkat menjadi anggota TNI pada tanggal 5 Oktober 1945.

Saat menjadi anggota TNI, Soeharto diberikan tugas memimpin pasukan untuk melawan aksi-aksi militer Belanda yang berusaha untuk kembali menjajah Indonesia.

Pada tanggal 1 Maret 1949, nama Soeharto semakin dikenal oleh banyak orang karena ia berperan penting dalam serangan untuk menguasai kota Yogyakarta.

Kesuksesannya dalam menguasai Yogyakarta tidak bisa lepas dari peran dan perjuangan masyarakat Indonesia dalam melawan pihak Belanda. Meskipun yang memimpin serangan ini Soeharto, tetapi penggagas dari serangan ini sebenarnya adalah Raja Yogyakarta, Gubernur, Militer, dan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Soeharto berhasil menjadi seorang tentara dengan pangkat Brigadir Jenderal dan memimpin Komando Mandala yang bertugas untuk merebut kembali Irian Barat. Komando Mandala dilaksanakan pada tahun 1961, dan dari Komando Mandala ini Soeharto mendapatkan pengalaman yang sangat berharga yaitu ia bisa berkenalan dengan Mayor Ali Moertopo, Kapten L.B Moerdani, dan Kolonel Laut Sudomo. Ketiga orang itu merupakan orang-orang yang memiliki peran penting dan strategis.

Soeharto mendapatkan kenaikan pangkat setelah selesai menjalankan tugas di Irian Barat dan kembali dari Indonesia Timur. Pangkat yang diperoleh Soeharto adalah Mayor Jenderal dan oleh Jenderal A.H. Nasution, ia ditarik ke markas besar ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Bukan hanya itu, pada tahun 1962, Soeharto mendapatkan kenaikan menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

ABRI khususnya Angkatan Darat di tahun 1965 mengalami perpecahan atau konflik internal. Konflik internal ini disebabkan adanya paham Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) yang digagas oleh Soekarno sehingga membuat TNI AD terpecah menjadi dua kubu, pertama, kubu sayap kiri, dan kedua, kubu sayap kanan.

Pada dini hari 1 Oktober 1965, terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap enam orang Jenderal. Kelompok yang menculik dan membunuh enam Jenderal itu mengaku sebagai kelompok Gerakan 30 September (G30S).

Semua kejadian itu terjadi begitu cepat hingga muncul Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang berisi tentang pemberian kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil dan menentukan segala tindakan supaya permasalahan ini terselesaikan dan dapat memulihkan keamanan dan ketertiban.

Sejak dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) oleh Soekarno, jabatan Panglima Komando Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dipegang oleh Soeharto.
Pada tanggal 27 Maret 1968, Soeharto dilantik oleh MPRS untuk menjadi Presiden Republik Indonesia. Dengan pelantikan ini maka menjadi tanda lahirnya masa pemerintahan Orde Baru.

(FN)