Waktu Yang Berharga Bersama Ayah

Tak seperti ayah pada umumnya, aku hanya bisa bertemu ayah satu bulan satu kali. Kalau pun bertemu waktunya sangat singkat, bisa tiga atau empat hari. Paling lama mungkin sekitar satu minggu ayah bisa diam di rumah.
Ayahku adalah seorang pelaut yang waktunya dihabiskan di tengah samudra.
Ketika masih kecil aku tidak mengerti, kenapa ayah tidak bisa pulang setiap hari seperti ayah teman-temanku.
Namun lambat laun, aku kini paham jika pekerjaan seorang pelaut memaksa ayah untuk tidak pulang setiap hari.
Setiap momen kedatangan ayah pulang, aku sangat senang dan menyambutnya dengan sukacita.
Aku bisa dibawa ayah bermain mengelilingi kompleks perumahan subsidi atau pergi ke pusat perbelanjaan menghabiskan waktu.
Di sisi lain, waktu menjelang ayah pergi untuk melaut menjadi momen paling berat.
Sebab di waktu itulah ayah pergi bekerja berbulan-bulan, terkadang tak bisa memberi kabar.
Terkadang aku marah dan mengunci kamar setiap kali ayah hendak pergi lagi bekerja.
Ayah dan ibu pun mencoba membujuk aku untuk keluar supaya bisa berpamitan.
Egoku masih tinggi sehingga aku tak mau keluar, justru menangis karena tak mau ayah pergi.
Tetapi kebiasaan buruk itu lambat laun sudah mulai hilang. Aku sudah agak dewasa dan mencoba tegar untuk melihat ayah pergi melaut kembali.
“Sabar ya nak, ayah mungkin tak lama lagi bekerja di kapal. Ayah tak mau meninggalkan keluarga lama-lama,” ungkap Ayah.
Ucapan di atas beberapa bulan terakhir sering ia lontarkan ketika hendak pergi bekerja. Tampaknya ayah pun mulai bosan dan tak tenang meninggalkan keluarga lama-lama. Selain karena aku yang mulai tumbuh dewasa, ibu pun butuh perhatian lebih.
Aku pun hanya mengangguk seraya berharap keinginan ayah bisa terkabul secepatnya.
Sore itu, aku berada di teras untuk melepas ayah pergi.
Bersama ibu, aku melihat ayah naik mobil untuk bekerja di laut demi anak istrinya.
Kembali aku berharap, semoga ayah bisa pulang secepatnya dan benar-benar bisa terus dekat dengan keluarganya.
(FN)