Untuk Luka yang Akan Sembuh

Cerpen Karangan: 
Kategori: Cerpen KeluargaCerpen Ramadhan
Lolos moderasi pada: 11 June 2023

Ramadhan pertamaku di desa nenek, aku diperlihatkan semuanya.

Dimulai saat fajar, nenek menyiapkan nasi hangat dan lauk pauk dalam besek, mengajakku makan sahur sambil berbincang. Pagi buta membuka sahur dengan menu sederhana, hari-hari itu terus berulang, kadang-kadang aku juga menanggapi nenek yang berkisah tentang alur sinetron semalam, sampai senyumnya manis menggurat di tiap keriput wajahnya.

Siang hari bersekolah, akrab mengobrol dan belajar bersama teman, melupakan lapar-dahaga untuk sesaat. Walau pun sepulang dari sekolah, aku pasti kelaparan lagi, dipanggang terik siang, digoda dahaga. Kendati sudah berwudhu dan melaksanakan sholat Dhuhur, tetap saja hal itu masih kuat hendak mengguncangkan tekad. Dan setiap kali nenek melihatku hampir goyah, beliau menyuruhku pergi tidur siang.

Menjelang sore aku membantu nenek menyiapkan menu berbuka, anak-anak kecil memakai baju muslim, menggendong ransel berisi kitab suci Al Qur’an, bercengkerama riang melewati pinggiran sawah, sampai mereka lenyap di musholla yang menggemakan lantunan ayat-ayat suci.

Saat azan Maghrib digaungkan, aku dan nenek berbuka dengan es sirup dan gorengan lalu dilanjutkan dengan makanan berat. Sesekali kami mengajak anak-anak kecil yang baru pulang mengaji dan berbuka bersama di beranda rumah, kami sering mengganti menu karena para tetangga juga sering bagi-bagi takjil berbuka.

Musholla akan penuh saat tiba waktu sholat Tarawih, 20 rakaat dilaksanakan berjamaah, bersambung pada 3 rakaat sholat witir. Seusai sholat, anak-anak melanjutkannya dengan tadarus. Beberapa warung kembali buka usai petang berlalu, jadi anak-anak itu seringkali kulihat menikmati jajanan murah sambil menunggu giliran membaca Al Qur’an.

Gema lantunan ayat suci masih terdengar meski bulan telah mengabuk langit, orang-orang lelap, tapi sekumpulan bapak-bapak masih melanjutkan tadarus dari sesi anak-anak yang berakhir pukul sembilan malam.

Itulah kilas Ramadhan pertamaku di desa nenek.

Desa dengan pemandangan gunung menjulang yang malu dibalik kabut, desa dengan hamparan hijau penghasil butir beras, yang tiap paginya selalu beraroma asri. Bersih, jernih, selayaknya embun.

Desa ini adalah tempat paling baik di dunia.

Sebuah tempat dimana “selamat datang” selalu menunggu, dari anak-istri yang menanti kepala keluarga pulang bekerja, dari saudara yang menanti terkirimnya surat dari keluarga di hiruk pikuk kota, dan dari umat beriman yang menanti bulan mulia.

Desa ini mempertemukanku, pada bulan Ramadhan yang tak pernah kumaknai sebelumnya.

Aku, ayah, dan ibu. Sebuah keluarga di perumahan sepi saat orang-orang memilih tak saling mengenal dibalik pagar rumah tinggi.

Aku, milik pasangan yang selalu sibuk bekerja. Namun kala mereka pulang larut malam, aku harus terbangun dari tidur. Hanya untuk mengunci pintu kamar, dan menumpuk lebih banyak bantal di telinga.

“Aku benci padamu!”
“Kamu pikir aku juga betah bersamamu?!”

Padahal kata guru Pendidikan Agama Islam di sekolahku, bulan Ramadhan adalah saat ketika pahala berlipat ganda, setan telah dibelenggu, dan pintu surga dibuka.

Tapi di rumahku yang sunyi bertetangga dengan orang-orang tak peduli. Aku hanya merasakan terbukanya pintu kesengsaraan.

Ayah dan ibu tidak pernah menganggap Ramadhan sebagai hal yang istimewa. Karena di bulan yang katanya menakjubkan ini, mereka malah mengisinya dengan saling bertengkar, membentak, tak mengalah … Lalu berpisah.

Luka itu terbuka lebar padaku tahun lalu, perih sekali! Lalu dengan dalih untuk menyembuhkannya, mereka berdua mengalihkanku ke rumah nenek.

Itulah Ramadhan pertamaku di desa nenek, itulah Ramadhan pertamaku tanpa mereka.

Sampai momen Ramadhan pertama itu berlalu. Aku menyadari telah melihat perubahan, berupa hadirnya keinginan untuk memaknai bulan itu dengan menyambutnya sambil bersukacita, sekali pun aku masih dinaungi bayang-bayang kelam masa lalu.

Tapi seperti apa? Realisasi dari keinginan itu?

Dulu aku hanya tau bangun untuk makan sahur, bersekolah dan mengalihkan lapar-dahaga dengan tidur siang, berbuka dan sholat Tarawih.
Tapi bahkan sehari saja, aku tak merasakan itu sebagai nikmat yang dijanjikan.
Karena kami bukan keluarga di iklan-iklan makanan edisi Ramadhan. Yang sahur dan berbuka sambil mengobrol penuh senyum, lalu mengagungkan nama-Nya bersama-sama.
Aku selalu melalui itu sendirian. Hingga aku hampir tak percaya kalau Ramadhan adalah bentuk cahaya setahun.

Jadi bagaimana? Saat aku harus menyambutnya kembali?

Ramadhan keduaku akan dimulai dalam beberapa hari dari sekarang. Dan rupanya tak hanya aku, nenek dengan segala hangat hati, cinta, dan kasihnya, telah menyadari lukaku yang belum kering.

Beliau menemuiku pada satu malam, membawakan irisan apel kupas saat aku mempelajari materi ulangan harian untuk besok.

“Untuk sahur pertama di bulan Ramadhan nanti, nenek akan masak semur, kamu mau?” Ucap nenek, aku menutup buku dan membersamainya duduk di pinggir kasur.
“Aku pasti kekenyangan” Aku tertawa kecil, “Tapi boleh saja, aku mau yang pedas”

Nenek membelai lembut kepalaku, aku tersenyum. Tapi hampir setahun aku tinggal bersama nenek, tampaknya sudah jadi kebiasaan aku membuang pandang sesaat untuk merahasiakan suatu hal.

“Apa persiapanmu untuk Ramadhan ini?” Tanyanya kembali.
“Persiapan?”
“Tanpa ayah dan ibumu, nenek tau persiapanmu selalu unik, itu sebabnya … Apakah kali ini persiapanmu juga sama?”

Aku terdiam cukup lama. Tak mengerti apa yang coba nenek sampaikan, yang ku tau hanya beliau sedang menyinggungku tentang getirnya kenangan menyambut Ramadhan. Tapi ‘persiapan’ itu? Aku harus mengulang pertanyaan.

“Nenek … Aku terluka di Ramadhan sebelumnya, karena ayah dan ibu, dan karena kedamaian desa ini yang tak pernah terpikir akan ada”
“Disini kita saling membersamai, jadi takkan ada yang tertinggal untuk merasa nyaman. Dan kamu takkan temukan kedamaian itu sebelum menjumpai Ramadhan”

“Lalu apa maksudnya dengan persiapan?”
“Ramadhan tak selalu disambut oleh sukacita. Tapi jika seperti itu, maka bawalah hati yang patah, jiwa yang retak, dan air mata yang deras. Berikan itu pada Ramadhan, maka berkahnya akan menyembuhkanmu, memberimu nikmat yang sejatinya ada”

Lantas aku pun memikirkan kata-kata nenek. Menyimpulkan ‘persiapan’ yang akhirnya ku mengerti.
Bahwa siap atau tidak diriku ini untuk pulih dari luka, hal itu takkan menghentikan atau menunda kedatangan bulan Ramadhan.

Akulah yang harus mulai berubah. Bahkan jika peristiwa lama membuatku menyambut Ramadhan dengan tangis dan kecewa, aku tetap tak boleh terguncang.
Demi berkah yang tersemat, demi melambungnya ampunan dan pahala, demi penghambaan yang paling fadil, dan demi kebahagiaan untuk dipercaya.

“Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.”
(Q.S Ali ‘Imran : 139)

Ramadhan keduaku akan dimulai, keseharian yang guyub akan kembali kurasakan. “Sampai nanti” untuk masa lalu penuh kesedihan, dan “selamat datang” untuk luka yang akan sembuh.

Sumber: https://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/untuk-luka-yang-akan-sembuh.html