Seperti Seteguk Air yang Dingin
Bagi anak rantau hiperbola seperti saya, kampung halaman adalah tempat ternyaman saat hiruk pikuk Ramadhan tiba. Bagaimana tidak? Coba bayangkan kolak pisang berteriak dari Sabang sampai Merauke? Begitu juga es buah bu Martini yang menggoda, juga siomay pak Baharudin yang trenyuh. Dan yang lebih cetar dan membahana adalah tanakan nasi ibu saya, yang tak ada duanya.
Namun tragisnya, hal-hal di atas akan menjadi ekspektasi semata. Realitanya, hiruk pikuk Ramadhan saya di Negeri Paman Sam, diawali dengan segudang pertanyaan yang menyambar bak saya adalah seorang anggota perkumpulan ulama yang pandai berdiplomasi.
"Mengapa berpuasa? Tidak makan satu hari bukankah itu sebuah penyiksaan?"
Pertanyaan seperti ini sudah beribu kali tersembur di telinga saya. Jika saya menjelaskan tentang sunah dan hadis pun mereka tak akan paham. Jadi sebisa mungkin saya jelaskan menurut logika setara otak manusia.
"Sesuatu yang hilang baru akan terasa berharga jika dia sudah pergi, benar?" Kulihat ia mengangguk, "Kita berpuasa seperti semua kemewahan hilang begitu saja, lalu saat kita kembali mendapatkan kemewahan itu, kita akan merasa lebih menghargai apa yang kita miliki selama ini ternyata sudah cukup"
Orang itu kembali mengangguk mengerti. Senang rasanya melihat kepuasan terpancar dari wajah-wajah yang haus akan pengetahuan Islam. Karna pertanyaan sepele yang sering dilontarkan kepada saya seperti, "Pada musim panas ada Negara yang berpuasa selama 23 atau bahkan 24 jam, apakah itu manusiawi?" pertanyaan itu kembali membuat saya berusaha berdiplomasi sebagus mungkin, "Ada sebuah anjuran yang menyatakan negara yang waktu berpuasanya sangat lama dapat mengikuti waktu puasa pada negara terdekat lainnya yang waktu puasanya lebih sedikit"
Tak sampai di sana, ia kembali bertanya, "Apakah Islam membahas itu dengan detail, di mana saya dapat menemukan landasan itu semua?"
Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang menguras pengetahuan saya yang tak seberapa ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang membuat saya rajin-rajin mempelajari agama saya sendiri di sebuah negara asing ini. Saya berusaha membaca sebanyak mungkin buku tentang Islam, agar ketika ada yang meminta penjelasan tentang jihad, saya dapat meluruskan pandangan mereka tentang Islam yang bukan teroris.
Di negara yang adikuasa ini, rasanya suara adzan tampak seperti makanan yang sangat mewah bagi saya. Ketika terbangun dari tidur dan menjalankan ibadah sholat shubuh, tak afdol rasanya tanpa mendengarkan adzan. Walaupun begitu, masyarakat di sini sangat toleran tentang kebebasan beragama. Tak seperti yang saya takutkan, toh nyatanya saya tidak ada kesulitan untuk melaksanakan wudhu, sholat lima waktu, dan herannya di sini saya lebih sering membaca Al-Quran.
Selain itu, saya terkejut bahwa setiap kali hari menjelang berbuka puasa, saya justru menanti-nantikan untuk berkumpul dengan teman- teman komunitas muslim, dan itu adalah hal yang tak pernah saya lakukan di kampung halaman saya. Boro-boro ikut komunitas muslim, perkumpulan pemuda kampung saja saya tak pernah hadir.
Namun di sini, semuanya tampak sangat bertolak belakang dengan kebiasaan saya di kampung halaman. Saya akan begitu antusias sekali ketika teman-teman di sini sekedar berbagi cerita tentang kesehariannya, dan kami merasa seperti teman senasib.
Seperti halnya ketika saya berpapasan dengan Bu Murtini di warung es buahnya di Indonesia, saya akan merasa itu tampak biasa saja. Namun bayangkan ketika berjumpa dengannya di Amerika, bahkan hanya menyapa saja tak akan cukup untuk melampiaskan perasaan bahagia kita berjumpa dengan sesama orang Indonesia. Saya tak perlu berbicara dengan logat yu an ai lagi, dia juga tak akan menanyai saya dengan pertanyaan agama tingkat tinggi, begitulah rasanya mempunyai teman senasib.
Saya jadi teringat dengan sebuah kutipan kalimat dari Imam Syafi'i. Bahwa, ketika kita jauh dari rumah, kita akan mendapatkan rumah itu sendiri. Ketika kita jauh dari keluarga, kita akan mendapatkan kehangatan keluarga itu sendiri. Hal itu nyatanya benar. Tidak ada yang tahu saya bahkan lebih memahami agama saya sendiri di sebuah negara di mana Islam adalah kaum minoritas. Tidak ada yang tahu bahwa selama ini sepatutnya saya bersyukur dapat menikmati masakan berbuka puasa bersama keluarga di sebuah rumah yang hangat dengan azan magrib yang berkumandang bebas, seakan selalu mengingatkan kita untuk beribadah kepada-Nya.
Namun, saya sangat bahagia dapat berada ditempat ini. Saya beruntung dapat menyadari nikmat-nikmat yang saya sia-siakan selama ini, agar saya lebih bisa bersyukur. Saya juga belajar menghargai setiap waktu kebersamaan, yang dulu lebih saya habiskan dengan menyemarakkan dinding media sosial.
Menurut saya, Ramadhan di negeri orang tampak seperti seteguk air yang dingin: Menyadarkan saya betapa besarnya nikmat yang kita sia-siakan selama ini. Lebih dari wine mahal dan anggur merah, orang- orang tetap tak dapat bertahan hidup tanpa seteguk air saja. Seteguk air yang dingin, karena saya sadar bahwa kehangatannya telah menguap selama ini. Namun tak apa, selagi air itu masih di sana. Seteguk air yang dingin, hanya sesederhana itu.
Sumber: Bagi anak rantau hiperbola seperti saya, kampung halaman adalah tempat ternyaman saat hiruk pikuk Ramadhan tiba. Bagaimana tidak? Coba bayangkan kolak pisang berteriak dari Sabang sampai Merauke? Begitu juga es buah bu Martini yang menggoda, juga siomay pak Baharudin yang trenyuh. Dan yang lebih cetar dan membahana adalah tanakan nasi ibu saya, yang tak ada duanya.
Namun tragisnya, hal-hal di atas akan menjadi ekspektasi semata. Realitanya, hiruk pikuk Ramadhan saya di Negeri Paman Sam, diawali dengan segudang pertanyaan yang menyambar bak saya adalah seorang anggota perkumpulan ulama yang pandai berdiplomasi.
"Mengapa berpuasa? Tidak makan satu hari bukankah itu sebuah penyiksaan?"
Pertanyaan seperti ini sudah beribu kali tersembur di telinga saya. Jika saya menjelaskan tentang sunah dan hadis pun mereka tak akan paham. Jadi sebisa mungkin saya jelaskan menurut logika setara otak manusia.
"Sesuatu yang hilang baru akan terasa berharga jika dia sudah pergi, benar?" Kulihat ia mengangguk, "Kita berpuasa seperti semua kemewahan hilang begitu saja, lalu saat kita kembali mendapatkan kemewahan itu, kita akan merasa lebih menghargai apa yang kita miliki selama ini ternyata sudah cukup"
Orang itu kembali mengangguk mengerti. Senang rasanya melihat kepuasan terpancar dari wajah-wajah yang haus akan pengetahuan Islam. Karna pertanyaan sepele yang sering dilontarkan kepada saya seperti, "Pada musim panas ada Negara yang berpuasa selama 23 atau bahkan 24 jam, apakah itu manusiawi?" pertanyaan itu kembali membuat saya berusaha berdiplomasi sebagus mungkin, "Ada sebuah anjuran yang menyatakan negara yang waktu berpuasanya sangat lama dapat mengikuti waktu puasa pada negara terdekat lainnya yang waktu puasanya lebih sedikit"
Tak sampai di sana, ia kembali bertanya, "Apakah Islam membahas itu dengan detail, di mana saya dapat menemukan landasan itu semua?"
Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang menguras pengetahuan saya yang tak seberapa ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang membuat saya rajin-rajin mempelajari agama saya sendiri di sebuah negara asing ini. Saya berusaha membaca sebanyak mungkin buku tentang Islam, agar ketika ada yang meminta penjelasan tentang jihad, saya dapat meluruskan pandangan mereka tentang Islam yang bukan teroris.
Di negara yang adikuasa ini, rasanya suara adzan tampak seperti makanan yang sangat mewah bagi saya. Ketika terbangun dari tidur dan menjalankan ibadah sholat shubuh, tak afdol rasanya tanpa mendengarkan adzan. Walaupun begitu, masyarakat di sini sangat toleran tentang kebebasan beragama. Tak seperti yang saya takutkan, toh nyatanya saya tidak ada kesulitan untuk melaksanakan wudhu, sholat lima waktu, dan herannya di sini saya lebih sering membaca Al-Quran.
Selain itu, saya terkejut bahwa setiap kali hari menjelang berbuka puasa, saya justru menanti-nantikan untuk berkumpul dengan teman- teman komunitas muslim, dan itu adalah hal yang tak pernah saya lakukan di kampung halaman saya. Boro-boro ikut komunitas muslim, perkumpulan pemuda kampung saja saya tak pernah hadir.
Namun di sini, semuanya tampak sangat bertolak belakang dengan kebiasaan saya di kampung halaman. Saya akan begitu antusias sekali ketika teman-teman di sini sekedar berbagi cerita tentang kesehariannya, dan kami merasa seperti teman senasib.
Seperti halnya ketika saya berpapasan dengan Bu Murtini di warung es buahnya di Indonesia, saya akan merasa itu tampak biasa saja. Namun bayangkan ketika berjumpa dengannya di Amerika, bahkan hanya menyapa saja tak akan cukup untuk melampiaskan perasaan bahagia kita berjumpa dengan sesama orang Indonesia. Saya tak perlu berbicara dengan logat yu an ai lagi, dia juga tak akan menanyai saya dengan pertanyaan agama tingkat tinggi, begitulah rasanya mempunyai teman senasib.
Saya jadi teringat dengan sebuah kutipan kalimat dari Imam Syafi'i. Bahwa, ketika kita jauh dari rumah, kita akan mendapatkan rumah itu sendiri. Ketika kita jauh dari keluarga, kita akan mendapatkan kehangatan keluarga itu sendiri. Hal itu nyatanya benar. Tidak ada yang tahu saya bahkan lebih memahami agama saya sendiri di sebuah negara di mana Islam adalah kaum minoritas. Tidak ada yang tahu bahwa selama ini sepatutnya saya bersyukur dapat menikmati masakan berbuka puasa bersama keluarga di sebuah rumah yang hangat dengan azan magrib yang berkumandang bebas, seakan selalu mengingatkan kita untuk beribadah kepada-Nya.
Namun, saya sangat bahagia dapat berada ditempat ini. Saya beruntung dapat menyadari nikmat-nikmat yang saya sia-siakan selama ini, agar saya lebih bisa bersyukur. Saya juga belajar menghargai setiap waktu kebersamaan, yang dulu lebih saya habiskan dengan menyemarakkan dinding media sosial.
Menurut saya, Ramadhan di negeri orang tampak seperti seteguk air yang dingin: Menyadarkan saya betapa besarnya nikmat yang kita sia-siakan selama ini. Lebih dari wine mahal dan anggur merah, orang- orang tetap tak dapat bertahan hidup tanpa seteguk air saja. Seteguk air yang dingin, karena saya sadar bahwa kehangatannya telah menguap selama ini. Namun tak apa, selagi air itu masih di sana. Seteguk air yang dingin, hanya sesederhana itu.
Baca artikel detikjateng, "10 Contoh Cerita Bertemakan Ramadhan yang Inspiratif, Cocok Jadi Tugas Sekolah" selengkapnya https://www.detik.com/jateng/berita/d-7248123/10-contoh-cerita-bertemakan-ramadhan-yang-inspiratif-cocok-jadi-tugas-sekolah.
Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/